Mencari Air Jernih, Mungkinkah?

Sumber:Suara Pembaruan - 18 Mei 2005
Kategori:Air Minum
SAAT memperingati Hari Bumi ke-35 pada tanggal 22 April 2005, sekelompok lembaga swadaya masyarakat lingkungan yang tergabung dalam Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) mengampanyekan perlunya pemenuhan hak warga negara atas air bersih dan sehat, serta kebutuhan air lainnya, tanpa perlu menggunakan perhitungan-perhitungan bisnis.

Belakangan ini, permasalahan yang berkaitan dengan air mencuat ke permukaan, dari banjir hingga air yang tidak layak konsumsi. Air menjadi unsur utama bagi semua kehidupan di muka bumi, maka permasalahan air adalah permasalahan kita semua.

Komisi Pembangunan Berkelanjutan PBB pun melakukan pertemuan yang dihadiri lebih dari 80 menteri dari berbagai negara untuk membahas strategi pengelolaan perumahan, air bersih. dan sanitasi.

Para menteri itu bersidang selama dua minggu di markas PBB, New York, Amerika Serikat, sejak 11 April 2005 untuk mengonsepkan penyediaan rumah, air bersih, dan sanitasi, kepada seluruh warga di masing-masing negara.

Pertemuan ini menjadi penting karena diperkirakan masih ada 1,5 miliar orang sedunia yang masih membutuhkan akses mendapatkan air bersih pada tahun 2015 mendatang. Selain itu sebanyak 1,9 miliar orang masih membutuhkan sanitasi yang layak di sekitar lingkungan mereka.

Untuk membangun sistem sanitasi, perumahan, dan air bersih di seluruh dunia diperkirakan membutuhkan dana antara Rp 285 triliun hingga Rp 380 triliun per tahun.

Secara sederhana, munculnya permasalahan air akibat siklus air terganggu. Air hujan seharusnya ditampung di hutan-hutan, tetapi ketika hutan-hutan tidak lagi memiliki pohon, air hanya numpang lewat dan terus ke sungai.

Banjir pun kemudian melanda daerah-daerah aliran sungai, selain itu pada musim kemarau, air sangat susah ditemui. Sejumlah daerah mengalami kerawanan pangan akibat produksi makanan terganggu dengan musim kemarau.

Departemen Kehutanan mengeluarkan pernyataan bahwa ada 62 daerah aliran sungai (DAS) se-Indonesia yang sudah kritis, daerah aliran sungai yang sudah tidak lagi berfungsi sebagai konservasi air dan tidak lagi memiliki daya dukung lingkungan untuk dihuni oleh manusia.

Masalah seperti banjir, kekeringan, sulitnya mendapatkan air bersih dan layak, akan lebih sering ditemui oleh masyarakat di sekitar DAS yang kritis. Pemerintah yang memiliki kewenangan mengatur pun kemudian menerbitkan peraturan tentang masalah ini.

Namun pemerintah dan DPR mengeluarkan UU No 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (SDA) yang ditengarai akan menimbulkan masalah dalam pengelolaan air karena dapat menimbulkan privatisasi.

Sejumlah LSM lingkungan menggugat peraturan tersebut karena tidak sejalan dengan UUD 1945, khususnya pasal 33 ayat (2) dan (3). Kedua ayat tersebut mengharamkan privatisasi atas sumber-sumber yang menguasai hajat hidup orang banyak.

Dalam peraturan yang kemudian diminta untuk di-review kembali oleh Mahkamah Konstistusi, memungkinkan terjadinya penguasaan sumber air oleh perorangan atau lembaga swasta, sehingga pada akhirnya mereka yang tidak memiliki sumber air harus memberikan kompensasi dengan perhitungan bisnis.

Hal yang sama pun dinyatakan oleh Nila Ardhanie dalam suatu diskusi di Jakarta beberapa waktu lalu. Nila aktivis dari Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air mengatakan bahwa peraturan itu harus dibatalkan karena memungkinkan terjadinya privatisasi air. Padahal masyarakat banyak masih membutuhkan air untuk kehidupan mereka.

Menurutnya pemerintah bertanggung jawab atas pemenuhan hak rakyat terhadap air, bukan melemparkan tanggung jawab itu kepada pihak swasta. Saat ini dari seluruh penduduk Indonesia hanya 25 persen saja yang mendapatkan pemenuhan akses air bersih.

Deputi Infrastruktur dan Fasilitas, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Suyono Dikun mengatakan bahwa semua infrastruktur pendukung konservasi air mengalami penurunan yang sangat dahsyat.

"Pengairan banyak yang rusak, kemudian biaya (yang dikeluarkan) juga sangat kecil untuk memperbaiki hal itu. Jadi kondisinya memang sangat kritis, dan perlu ada kebijakan yang sangat luar biasa untuk mengubah kondisi yang ada," jelasnya.

Krisis air yang terjadi di daerah-daerah di Indonesia adalah konservasi air yang tidak berfungsi. Selain itu masyarakat Indonesia belum memiliki sense of crisis terhadap masalah air.

Mengenai hal ini, pemerintah mengalami kesulitan untuk memperbaiki masalah yang ada. "Masalahnya sudah sangat kompleks, seperti masalah pengadaan air minum, masalah irigasi. Pengadaan air minum saja bermasalah besar. Banyak Perusahaan Daerah Air Minum(PDAM) kita yang bermasalah, seperti finansial dan sebagainya. Jadi memang perlu ada langkah yang bagus," ujarnya.

"Untuk perbaikan infrastruktur diperlukan dana yang cukup besar. Seluruh pembangunan dan perbaikan infrastruktur dibutuhkan dana antara Rp 500 triliun hingga Rp 600 triliun, sedangkan untuk pembangunan infrastruktur air kira-kira dibutuhkan 25 persen dari jumlah itu," tambah Suyono Dikun.

Pemerintah tidak memiliki dana sebesar itu untuk membangun infrastruktur. "Tetapi dengan melepas langsung kepada pihak lain juga akan menjadikan masalah yang baru. Jadi memang harus disiapkan mekanismenya," jelasnya.

Konservasi air bisa menjadi jawaban atas masalah-masalah yang muncul belakangan ini. Namun rupanya hal ini belum terlihat dari berbagai upaya yang dilakukan oleh pemerintah atau pihak lain.

Konservasi air yang bisa dilakukan dengan konservasi hutan dan konservasi daerah-daerah aliran sungai. Tetapi kebijakan yang dimiliki oleh pemerintah pun belum terlihat menguat ke arah sana. Kondisi hutan Indonesia terus menurun. Departemen Kehutanan menyatakan bahwa 43 juta hektare hutan rusak pada tahun 2004.

Hampir seluruh taman nasional yang dimiliki mengalami kemunduran fungsi ekologisnya, akibat kebakar-an hutan ataupun pembalakan liar. Belum lagi kondisi sungai dan lahan basah yang juga terus merosot, sehingga air tidak lagi memiliki shelter-nya.

Sejumlah pihak pun mengedepankan solusi krisis air melalui pembangunan akses-akses mendapatkan air, baik untuk irigasi pertanian ataupun air bersih, tetapi cenderung melupakan masalah konservasinya. Padahal tanpa adanya konservasi, akses-akses mendapatkan air bersih akan semakin mahal harganya.

Dana yang dikeluarkan pemerintah untuk pembangunan dan perbaikan taman nasional sebesar Rp 12 miliar, sedangkan dana untuk membuat infrastruktur akses air mencapai puluhan triliun rupiah. Biaya mahal yang harus ditanggung bersama harus dipersiapkan sejak sekarang. Masalah air pun menjadi masalah bersama. Hak atas air dan tanggung jawab atas air adalah hak dan tanggung jawab bersama. Jadi, mencari air yang jernih, mungkinkah?

PEMBARUAN/KURNIADI

Post Date : 18 Mei 2005