Mencari Solusi di TPST Bojong

Sumber:Kompas - 16 Maret 2005
Kategori:Sampah Luar Jakarta
LIMA bulan sudah kerusuhan di Tempat Pengolahan Sampah Terpadu Bojong berlalu. Tujuh belas warga Bojong yang terlibat dalam perusakan telah diputus bersalah oleh pengadilan. Demikian juga aparat kepolisian yang menembaki warga pengunjuk rasa sudah ditindak. Namun, pihak pengelola TPST yang dituding sebagai sumber masalah justru tidak mendapat sanksi apa pun. Malah, sekarang sudah ada lampu hijau dari Pemerintah Kabupaten Bogor agar uji coba TPST kembali dilakukan.

INFORMASI mengenai rencana uji coba itu tentu saja kembali mendapat reaksi dari masyarakat. Mereka sudah bertekad bulat untuk menentang uji coba itu. Kalau demikian halnya, pastilah akan kembali terjadi bentrok fisik yang bisa saja diikuti jatuhnya korban jiwa.

Berkaitan dengan itu, beberapa waktu lalu Kompas kembali menengok lokasi TPST alias tempat pengolahan sampah terpadu yang dikelola PT Wira Guna Sejahtera (WGS) itu dan berbicara dengan sejumlah warga di sekitarnya.

Sampai dengan hari Minggu (6/3) lalu, TPST Bojong boleh dikatakan masih di bawah pengawasan polisi. Pita kuning bertuliskan police line masih melintang di gerbang masuk TPST. Sementara itu, situasi umum di Desa Bojong terlihat lengang. Tidak ada kegiatan warga yang mencolok. Hanya ada beberapa pemuda yang meminta sumbangan uang kepada para pengendara yang melintas di Jalan Raya Bojong.

Rumah Taing, yang dijadikan tempat pos komando pertama bagi pergerakan warga menolak TPST Bojong, juga terlihat lengang. Tidak terlihat seorang aktivis Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) pun, yang selama ini mendampingi warga Bojong penolak TPST, di sana. Ny Inni, istri Taing, pun tidak ada di rumah.

"Kakak saya ke sawah," kata Ny Ani, adik Inni. Ketika ditanya soal putusan majelis hakim Pengadilan Negeri Cibinong yang menghukum Taing delapan bulan penjara potong masa tahanan, ia terlihat gusar. "Kan yang merusak TPST banyak. Kenapa enggak ditangkap semua," katanya.

Apakah keputusan pengadilan yang menghukum belasan warga Bojong itu membuat perjuangan mereka menentang TPST surut? Ani menjawab tegas, "Tidak."

Menurut dia, tekad sebagian warga Bojong sudah bulat. Kalau nantinya truk sampah masuk ke desa mereka, kaum perempuan Desa Bojong akan menghadangnya. "Kalau perlu mereka akan telanjang. Coba, apa yang akan dilakukan pemerintah. Kami ingin tahu," tuturnya.

Sejumlah warga yang ditemui juga menegaskan sikap mereka menentang uji coba TPST. "Kalau menerima, kenapa enggak dari dulu saja. Sekarang sudah ada yang ditembak, dipenjara, kenapa harus takut. Besok-besok TPST uji coba lagi, pasti akan ada demo warga yang lebih besar. Kami bertekad TPST Bojong harus tutup. Teman-teman saya yang sekarang di dalam (LP Pledang) bilang akan ikut demo lagi kalau uji coba. Kami enggak takut mati. Yang penting, desa kami tidak dijadikan tempat sampah," kata Junaedi.

Ny Rully pun memastikan, kalau pemerintah berani mengizinkan TPST Bojong uji coba, pasti akan ada rusuh lagi. "Warga di sini sudah jelas menolak TPST Bojong. Kami tidak mau ada sampah masuk sini. Kami berharap Presiden SBY mau datang ke sini, mendengarkan langsung tuntutan kami ini," ujarnya.

Ibu satu anak ini menegaskan, walaupun nantinya tidak ada lagi lembaga swadaya masyarakat yang mendampingi warga Bojong, mereka penolak TPST tetap akan melakukan perjuangannya. "Dari awal kami berjuang sendiri. Di pertengahannya saja baru Walhi datang mendampingi kami. Kalau nanti Walhi pergi, kami tetap akan berjuang. Dari dulu juga kami berjuang sendiri. Pemerintah saja yang ngotot TPST ada. Kami tetap menuntut TPST tutup," tutur Rully.

"Jangan salahkan masyarakat kalau nanti kami berdemo lagi. Mau kami sudah jelas, TPST tutup. Kok, pemerintah tidak mengerti juga," kata Ny Hendra.

Ny Rr juga sangat yakin bahwa TPST Bojong harus ditutup, apa pun risiko yang harus dihadapi warga Bojong. "Kami tidak boleh menyerah. Kalau menyerah, percuma perjuangan kami selama ini," katanya. Jnd, seorang pemuda warga setempat, dengan emosional mengatakan, kalau perlu mesin-mesin TPST itu dibakar lagi kalau berani-berani uji coba.

Hati warga Bojong penolak TPST ini tampaknya seperti sudah membeku dan tertutup untuk kemungkinan sekadar uji coba mesin sekalipun. Hal itu juga terbukti dengan ungkapan keresahan mereka akan adanya undangan-undangan informal atau undangan-undangan resmi yang disampaikan aparat pemerintah daerah setempat. Mereka jadi paranoid, khawatir undangan itu dijadikan sarana bagi aparat setempat mengambil tanda tangan yang nantinya dijadikan sebagai bukti bahwa mereka setuju TPST Bojong beroperasi

Para penolak berkeyakinan TPST Bojong akan mencemari lingkungan, apa pun teknologi yang diterapkan untuk mengolahnya. Kejadian longsor sampah di Leuwigajah, yang terletak di antara Kabupaten Bandung dan Kota Cimahi, makin mengokohkan sikap menolak TPST. Mereka tidak mau tahu bahwa penanganan sampah di TPST Bojong dan Leuwigajah itu berbeda.

SUASANA di lokasi TPST Bojong sendiri juga lengang. Sembilan anggota Kepolisian Resor Bogor yang bertugas menjaga TPST juga tampak santai. Belasan karyawan TPST hanya duduk-duduk mengobrol, setelah mereka memperbaiki pintu sebuah mobil operasional karyawan.

Henry Endro, Factory Manager PT WGS, mengungkapkan, perusahaannya baru saja menerima surat dari Pemerintah Kabupaten Bogor yang ditandatangani Bupati Agus Utara Effendi. Isinya, PT WGS diminta segera melakukan uji coba pengoperasian mesin-mesin.

"Kami memang mengajukan surat kepada Pemkab untuk minta kepastian hukum. Bagi kami, TPST ditutup, dipindahkan, atau dioperasikan tidak jadi masalah asal ada kepastian hukum. Tentunya putusan apa pun yang diambil akan mengandung konsekuensi hukum juga," tuturnya.

Dengan adanya surat perintah uji coba tersebut, lanjut Henry, PT WGS pun akan bersiap-siap untuk memperbaiki dan menata kembali TPST, yang rusak dan berantakan dalam aksi unjuk rasa yang berakhir rusuh bulan Oktober lalu. "Kalau police line sudah dicabut, kami akan bekerja," ucapnya.

SEPERTI pada berbagai kasus penolakan atas sebuah kebijakan, sebenarnya masyarakat selalu menanggapinya secara mendua. Ada yang mendukung kebijakan, ada juga yang kontra atau menolak. Akan tetapi, yang sering mencuat dan mendapat pemberitaan luas adalah sikap menolak, sedangkan sikap mereka yang menyetujui kebijakan pada umumnya tidak mencuat ke permukaan. Demikian juga dengan kehadiran TPST Bojong.

Namun, terlepas dari pro-kontra di kalangan masyarakat, pemerintah selayaknya mencarikan solusi terbaik agar uji coba pengoperasian TPST bisa berjalan tanpa harus jatuh korban. Sebuah usulan yang mungkin bisa dipertimbangkan adalah dengan menghadirkan tim independen dari kalangan akademisi yang bisa menilai layak tidaknya TPST diuji coba. Untuk itu, tidak ada jeleknya melibatkan masyarakat untuk mencari tim independen itu agar apa pun hasilnya bisa dipercaya.

Sebab, persoalan utama yang memicu penolakan TPST Bojong itu adalah ketidakpercayaan masyarakat pada operasional sehari-hari oleh pihak pengelola TPST maupun pengiriman sampah yang sampai sekarang masih sembarangan. Kalau sudah begitu, apa pun teknologi yang akan diterapkan, apa pun janji-janji pihak pengelola, masyarakat tidak percaya.

Sikap terburu-buru Pemerintah Kabupaten Bogor mengizinkan uji coba tentulah bukan sikap bijaksana di tengah kemarahan masyarakat pascavonis hakim Pengadilan Negeri Cibinong yang memenjarakan belasan warga Bojong. Pemerintah Kabupaten Bogor mestinya bisa meminta Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sebagai pihak yang akan menggunakan TPST Bojong untuk meyakinkan masyarakat bahwa pengiriman sampah ke tempat pembuangan akhir sampah di Bantar Gebang, Bekasi, tidak lagi sembarangan.

Dengan demikian, warga Bojong yang tinggal tidak jauh dari Bantar Gebang melihat keseriusan DKI untuk tidak akan mencemari lingkungan mereka. Tanpa itu, sangat sulit membayangkan warga Bojong akan menerima TPST.

Penjelasan soal kehebatan teknologi pengolahan di TPST semata tanpa dibarengi upaya meyakinkan warga, bahwa apa yang dijanjikan itu benar-benar akan terealisasi, sungguh sesuatu yang tidak masuk akal. Sebab, mereka akan mencibir. Mengurus pengiriman sampah saja tidak bisa, bagaimana akan mengurus teknologi tinggi?

Langkah yang lebih serius adalah adanya kontrak politik yang ditandatangani hitam di atas putih oleh pihak-pihak terkait, bahwa jika TPST Bojong ternyata mencemari lingkungan, maka PT WGS harus menutup TPST dan memberikan kompensasi ganti rugi yang selayak-layaknya kepada masyarakat, khususnya kepada warga Bojong.

Yang tidak kalah penting, seret semua aparat pemerintah atau negara yang terlibat dalam pemberian izin TPST Bojong ke muka persidangan. Karena kenyataannya, sejak awal, proses perizinan pendirian TPST Bojong sudah bermasalah.... (Ratih P Sudarsono)

Post Date : 16 Maret 2005