Meneliti Kualitas Air

Sumber:Suara Pembaruan - 27 September 2006
Kategori:Air Minum
Tiada hari tanpa jalan-jalan bagi Prigi Arisandi. Entah ke pantai, menyusuri sungai, ke hutan mangrove, atau ke kawasan komunitas burung. Tetapi, jalan-jalan yang dilakukannya itu bukan jalan-jalan biasa. Bukan perjalanan wisata. Perjalanannya untuk mengetahui kualitas lingkungan.

Sesekali, Prigi Arisandi, Direktur Eksekutif Ecoton, Lembaga Kajian Ekologi dan Perlindungan Lahan Basah itu, pergi bersama siswa-siswa SMP dan SMA. Mereka menyusuri Sungai Kali Mas dan hutan mangrove di Pantai Timur Surabaya, untuk mengamati lingkungan.

Walau masih SMP atau SMA, mereka dibekali pengetahuan melihat kualitas air yang sehat dan mengandung limbah serta pengetahuan tentang manfaat hutan mangrove bagi warga Surabaya maupun habitat hewan laut. "Jika mereka kelak menjadi pengambil kebijakan publik, bisa menentukan pilihan terbaik dalam mengelola lingkungan," kata Prigi, di tengah-tengah kesibukan melakukan "investigasi" di Kali Porong, setelah menjadi tempat pembuangan air dan lumpur Lapindo Brantas Inc.

Ketekunannya meneliti dan mengamati ekologi, membawa alumnus Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA) Universitas Airlangga (Unair) Surabaya ini mendapatkan penghargaan dari Ashoka AS (2004). Salah satu yang menarik perhatiannya adalah buruknya kualitas air Sungai Surabaya yang tidak layak menjadi bahan baku air PDAM Surya, Surabaya.

"Banyak lahan di bantaran Kali Surabaya berubah fungsi menjadi perumahan dan tempat usaha. Padahal, sudah ada larangan membangun di bantaran Kali Surabaya," katanya. Pada waktu-waktu tertentu, pada malam hari, ia bersama relawan Posko Hijau di kawasan Bambe menunggui "'pantat"' industri yang membuang air limbah tanpa diolah ke badan Kali Surabaya.

Prigi sangat lancar menceritakan kualitas air Sungai Surabaya sebelum 1970-an. Anak-anak di kawasan Waru Gunung, Karangpilang, Driorejo, pada kurun waktu itu masih bisa mandi di sungai. "Sekarang hanya tinggal kenangan, karena airnya pekat akibat limbah industri, bukan tempat yang sehat," katanya.

Buku

Walau aktif bergiat di bidang lingkungan sejak mahasiswa, Prigi yang masuk Unair 1994 bisa menyelesaikan studinya tepat waktu, 1999. Kegiatannya itu menyita tiga hari dalam seminggu. Ia berkesempatan mengikuti pelatihan manajemen bagi lembaga swadaya masyarakat di Jepang, pada 2002.

Bukan hanya bergiat di lapangan, Prigi pun mengirimkan tulisan hasil pengamatannya mengenai ekologi perairan, sungai, hutan bakau itu ke berbagai media massa. Hingga kini ia masih menyimpan keinginan untuk melanjutkan studi kajian lingkungan atau studi tentang manajemen pengelolaan air di Indonesia.

Aktivitas Ecoton juga tidak lepas dari dukungan istrinya, Daru Setyo Rini SSi, MSi, Dipl EM (Environmental Management) dan sejumlah staf peneliti. Istrinya itu menempuh program pendidikan S1 Biologi Unair, S2 Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia (2002), diploma manajemen lingkungan Maastrich School Of Management dengan beasiswa dari NEC Belanda (2005).

Bapak dari dua putri, Sofi Azilan Aini (lahir 2 Agustus 2000), Thara Bening Sandrina (lahir 16 Oktober 2002) itu, sudah menerbitkan buku Kali Surabaya Sudah Mati. Isinya kumpulan artikel ekologi di surat kabar periode (1999-2005).

Kini, di sela-sela kesibukannya, ia terus membuat poster tentang lingkungan. "Poster untuk mengajak orang ikut menyelamatkan Kali Surabaya dan lingkungan hidup pada umumnya," katanya. Selain itu rajin membuat kliping tentang masalah lingkungan, terutama yang menyangkut masalah kebijakan.

Pada masa libur, ia membawa anggota keluarganya berenang di alam bebas. "Mandi di hulu Kali Surabaya seperti di Mlirip Mojokerto, atau di kaki Gunung Penanggungan, dan sumber-sumber air Kali Surabaya. Itu menjadi ritual kami, agar anak-anak saya memiliki kenangan yang indah tentang air, atau lingkungan, dan membuat mereka peka pada lingkungan dan ciptaan Tuhan lainnya," katanya.

Ia pun menerima penghargaan For Nature Conservation dari Rufford Foundation, lembaga nonpemerintah di Inggris. Rufford Small Grants For Nature Conservation memberi dukungan Ecoton menyelamatkan Kali Surabaya sejak 2002 sampai sekarang. Dukungan itu untuk melatih kader-kader lingkungan seperti Relawan Kali Surabaya sebagai upaya pemberdayaan masyarakat mengelola Kali Surabaya.

Ecoton juga menerima penghargaan The Focused NGO On Water Pollution Issue dari Komunitas Jurnalis Peduli Lingkungan pada 2006 atas aktivitas menjadi nara sumber kasus pencemaran air di media massa pada 2005. Sekitar 80 persen berita lingkungan di empat koran Jatim adalah berita pencemaran air, yang sekitar 50 persen di antaranya sumber beritanya Ecoton.

Situs Ecoton

Bergelut di lembaga swadaya, bagi Prigi cukup untuk hidup. "Saya harus bersyukur dengan kehidupan saya. Masih banyak warga yang miskin. Kepuasan saya bukan semata-mata uang, tetapi kualitas lingkungan yang lebih baik," ujarnya.

Yang juga membuatnya gembira, situs Ecoton diakses sekitar 500 sampai 1.000 orang per bulan. Umumnya mahasiswa yang sedang mengerjakan skripsi, atau wartawan yang tertarik isu tentang pencemaran air.

Kasus luapan lumpur Lapido mau tak mau juga menarik perhatiannya. Jika penanganan pembuangan lumpur dengan skenario ketiga, yakni relief well, tidak berhasil menyumbat pusat semburan, ia berpendapat untuk menimbun saja di tepi pantai. "Dengan syarat membuat bendungan permanen yang kokoh agar lumpur tidak meluber ke Selat Madura. Meskipun lumpur panas tidak mengandung bahan berbahaya, tetapi jika dibuang ke laut akan mengakibatkan pendangkalan," ujarnya.

Lumpur panas itu tidak berbahaya karena berasal dari perut bumi pada kedalaman 9.297 kaki atau sekitar 3 km di bawah permukaan tanah. Tetapi, kadar garam (salinitas) lumpur sangat tinggi dapat membunuh biota air tawar jika dibuang ke sungai dan merusak kesuburan lahan pertanian produktif. Serangga air sebagai biota sungai yang memiliki peran penting dalam menjaga keseimbangan rantai makanan ekosistem sungai dan menjaga kelestarian fungsi sungai.

Prigi mencontohkan pengalaman Jepang melokalisir lumpur terkontaminasi merkuri di Teluk Minamata dengan membuat lokasi landfill seluas 200 ha di Teluk Minamata (1986-1988). "Cara itu membutuhkan investasi lebih besar tapi aman bagi pengelolaan lingkungan, baik itu untuk manusia maupun ikan. Bandingkan dengan membuang air lumpur ke Kali Porong dan Selat Madura yang murah tapi tidak ramah lingkungan," katanya.

Penelitian Ecoton terhadap pembuangan air lumpur ke Kali Porong menunjukkan hasil telah menurunkan kandungan oksigen terlarut dalam air dan meningkatkan bahan terlarut, peningkatan salinitas dan terlarutnya bahan pencemar dari daratan yang tergenang luapan lumpur. Keadaan itu sangat berpengaruh terhadap kehidupan biota untuk proses penguraian bahan pencemar organik di perairan.

"Pembuangan lumpur ke Kali Porong adalah skenario murah meriah dengan mengorbankan lingkungan, setelah menggunakan suara warga Mindi, Besuki, dan Babadan, yang rumahnya terendam air dan meminta agar air luapan dibuang di Kali Porong," tutur Prigi. [Pembaruan/Edi Soetedjo]

Post Date : 27 September 2006