Mengatasi Krisis Air

Sumber:Suara Pembaruan - 24 September 2004
Kategori:Air Minum
PERNYATAAN Menteri Negara Lingkungan Hidup (LH) Nabiel Makarim, akhir pekan (18/9) lalu bahwa Jakarta dan Bandung akan mengalami krisis air lima tahun mendatang bukanlah hal baru. Pernyataan serupa sudah sering dikemukakan pengelola sumber air, pemerhati lingkungan, dan pejabat-pejabat yang sadar bahwa air yang merupakan kebutuhan primer manusia semakin tipis sumbernya. Selama ini Jakarta lebih bergantung pada pasokan air asal Bendungan Jatiluhur, dan sebagian kecil dari Sungai Cisadane di barat Jakarta yang juga merupakan sumber air baku Tangerang.

Pasokan air untuk Bandung selama ini diambil dari sumber Citarum, Cimalaya dan sungai di sekitarnya. Andaikan kondisi Citarum dan sumber-sumber pegunungan lainnya tetap lestari dan tidak tercemar, pasokan air untuk ibu kota Jawa Barat masih memadai. Masalahnya kondisi sungai-sungai di Jabar dan yang mengalir ke DKI Jakarta sudah tercemar berat dengan berbagai limbah rumah tangga dan industri. Kondisi Bandung di musim hujan tak berbeda dengan Jakarta, selalu tergenang dan terancam banjir akibat hutan yang gundul dan tidak tersedianya daerah resapan air. Banyak bantaran kali dan sabuk-sabuk hijau yang rusak dan beralih fungsi menjadi mal, perkantoran, jalan dan lainnya.

DALAM konteks kepentingan warga Jakarta yang berjumlah 10 juta ditambah berbagai kebutuhan industri, PAM Jakarta dengan dua investor asing tidak mungkin tetap mengandalkan air baku Jatiluhur. Mestinya sebagian dari 13 sungai yang ada atau beberapa sumber di Debotabek (Depok, Bogor, Tangerang dan Bekasi) masih bisa dipurifikasi untuk menambah kekurangan pasokan air baku tersebut. Andaikan benar rumus kebutuhan air satu liter per detik untuk 1.000 keluarga (mirip dengan satu liter per detik per hektare sawah), keperluan air baku Jatiluhur harus sebesar 10.000 liter per detik.

Ironis sebab sebenarnya kita memiliki sumber air baku yang besar dan melimpah, namun dalam pengelolaan kota dan wilayah pegunungan (hutan) pemerintah lebih condong mengabaikan kelestarian hutan dan sumber daya airnya. Intervensi perumahan di Bopuncur (Bogor, Puncak dan Cianjur) sebagai daerah wisata, termasuk wilayah-wilayah utara Bandung tak mungkin menolong. Ribuan perusahaan juga telah melakukan pelanggaran terhadap aturan amdal, karena tidak memiliki atau memfungsikan daur ulang limbah (water treatment).

PENERTIBAN seharusnya sejak di hulu, di saat perusahaan dan industri mengajukan izin dan beroperasi. Jadi bukan seperti sekarang, ratusan industri di Tangerang dan Jakarta dilaporkan untuk ditindak karena mencemarkan lingkungan. Atau cara Menneg LH membuat peringkat perusahaan terbaik tidak mencemari dan mereka yang melanggar. Pemberian surat pernyataan kali bersih (Super Kasih) pun model pe-nyelesaian di hilir karena sebelumnya jelas mencemari lingkungan atau penuh limbah. Masalahnya terpulang kepada pemerintah. Penegakan hukum demi pelestarian wilayah hulu jarang diperhatikan. Pembelaan diri dengan mengajukan rumusan pertumbuhan ekonomi demi kesejahteraan fisik, namun akibatnya menghancurkan atau mengabaikan sumber-sumber daya air, wilayah resapan dan hutan di darah hulu.

Post Date : 24 September 2004