Mengenang Situ Aksan

Sumber:Pikiran Rakyat - 05 Juni 2007
Kategori:Air Minum
NAPAS Sumanto (70) tersengal-sengal mendorong gerobak berisi air bersih yang dikemas dalam 10 jeriken berukuran 10 liter. Air bersih yang ia gunakan untuk kebutuhan hidup sehari-hari bersama keluarganya. Ia mengeluarkan uang setidaknya Rp 6.000,00 sampai Rp 14.000,00 untuk membeli air dari tetangganya yang memiliki sumur bor.

Jika ia membeli air sebanyak itu dua hari sekali saja, Sumanto harus merogoh koceknya sekitar Rp 90.000,00 hingga Rp 210.000,00 yang berarti hampir setengahnya dari penghasilan dia sebagai penjaga gedung di salah satu sekolah dasar. "Dulu tahun 1970-an mah gak sampai kayak gini untuk dapet air. Sekarang susah sekali dapat air bersih," ujar kakek yang juga akrab disapa Pak Jangkung itu ketika ditemui di sekitar tempat tinggalnya di Jln. Suryani Dalam III, Kel. Warungmuncang, Kec. Bandung Kulon, Kota Bandung.

Pak Jangkung tiba di Kota Bandung pada tahun 1970. Ia memilih wilayah yang berdekatan dengan Situ Aksan (di Jln. Jend. Sudirman sekarang-red.). Pada saat itu, kenang dia, wilayah tersebut masih merupakan daerah asri. Situ Aksan seluas 3 hektare dikelilingi pepohonan rindang adalah daya tarik tersendiri bagi Jangkung yang asli Purbalingga itu.

Salah satu pesona lain dari Situ Aksan yang masih menancap di benak Jangkung adalah perahu-perahu kecil yang kerap dinaiki para sejoli yang sedang memadu kasih. Ya, memang Situ Aksan pada waktu itu juga difungsikan menjadi tempat wisata hutan dalam kota yang asri.

Pada waktu itu, lanjut Pak Jangkung, hanya dengan menggali sumur sedalam 10 meter, air bersih melimpah. Perlahan, keadaan itu lenyap. Kini, orang harus menggali hingga lebih dari seratus meter dulu baru bisa memperoleh air bersih. Sedemikian buruknya persediaan air tanah di wilayah tempat tinggal Pak Jangkung.

Lingkungan yang kian tak ramah seperti yang dirasakan Pak Jangkung juga dirasakan Ai (45). Ibu paruh baya yang mengaku turun-temurun tinggal di wilayah itu kian merasa tidak nyaman. Selain sulit memperoleh air bersih, hujan yang turun sedikit saja kerap membuat rumahnya kebanjiran.

Hujan turun tak begitu deras ketika "PR" bertandang ke rumahnya di Gg. Nawawi RT 05 RW 10 No. 171, Kel. Sukahaji, Kec. Babakan Ciparay, Kota Bandung. Akan tetapi, dalam waktu sekejap saja, lantai rumahnya tergenang air hujan. "Selalu seperti ini kalau turun hujan," ujarnya.

Pada kesempatan itu, Ai menunjukkan lantai rumahnya yang tiba-tiba menyembul setinggi sekitar 30 sentimeter hingga membuat tegelnya berantakan. Dari sembulan itu, muncul air kotor yang menggenangi rumahnya. Kini, tegelnya sudah diperbaiki, tetapi retakan di tegelnya tidak pernah bisa hilang. Air selalu keluar dari sela-sela retakan tegelnya itu hingga kini.

Seingat Pak Jangkung dan Ai, keadaan itu mulai terasa seiring dengan hilangnya Situ Aksan dan hutan kecil di sekitarnya pada tahun 1976. Wilayah situ seluas 5,5 hektare itu diratakan untuk pembangunan kawasan pemukiman mewah dan pabrik-pabrik.

Seolah kehilangan daerah penangkapnya, air hujan yang turun itu membabi buta memasuki pemukiman warga yang tidak dilengkapi fondasi beton yang kuat seperti pabrik dan rumah mewah di sekitarnya.

Menurut keterangan yang berhasil dihimpun "PR", Situ Aksan adalah situ buatan yang diperkirakan dibuat sebelum Revolusi 17 Agustus 1945. Semula, situ sedalam 70 sentimeter sampai 1,5 meter itu adalah bekas galian tanah untuk keperluan membuat bata merah.

Luasnya meliputi wilayah yang digunakan sebagai perumahan Situ Aksan dan Permata Hijau sampai Pasar Cangkring sekarang. Tersohor, karena Situ Aksan sering digunakan muda-mudi sejoli memadu kasih. "Didieu sok diangge lalayaran nganggo parahu, salian ti eta, seueur oge nu mancing da laukna gampang dipancing (Di sini sering digunakan untuk berperahu, selain itu juga banyak yang memancing karena ikannya mudah didapat)," ujar warga Jln. Suryani Dalam III RT 03 RW 02, Kel. Warungmuncang, Kec. Bandung Kulon, Tarwa (56), mengenang.

Seingat Tarwa, Situ Aksan diubah menjadi pemukiman pada tahun 1975. Pohon-pohon yang menjulang tinggi di sekitar situ pun ditebang habis. Dampaknya ia rasakan beberapa tahun kemudian, berupa kesulitan memperoleh air. "Sekarang, tanam pipa sedalam 18 meter juga, tidak bisa memperoleh air," katanya. Kini, ia dan warga lainnya terpaksa membeli air bersih untuk minum.

Menurut salah satu mantan penjaga pintu masuk menuju Situ Aksan ketika masih menjadi tempat wisata, Masri Sambas (73), sang pemilik lahan, Alm. Haji Aksan, mengubahnya menjadi situ dengan memanfaatkan aliran air dari Sungai Cikapundung yang melintasi Cibadak hingga wilayah Husein Sastranegara.

Menurut Masri, di selatan situ, terdapat curug (air terjun) yang kini berubah menjadi Masjid Al Jihad, menambah situasi lengkap sebagai hutan kota. Kemarau datang tak membuat air situ menjadi surut sehingga hasil tangkapan ikan bisa mencapai lebih dari satu ton per bulannya. Situ Aksan dijual pada tahun 1974 pada masa kepemimpinan Gubernur Jabar, Aang Kunaefi.

Selain itu, di dekat situ terdapat panggung hiburan. Deretan artis ternama yang pernah bertandang ke Situ Aksan Masri sebut satu per satu. Artis nasional seperti Benyamin S., Titik Sandora, Tantowi Yahya, Rachmat Hidayat, disebut Masri pernah "manggung" di sana. Tidak ketinggalan, seni tradisional masih mendominasi pagelaran, di antaranya seni calung oleh Darso cs. "Kang Ibing komo paling remen didieu," ujarnya.

Kolam peninggalan situ hingga saat ini memang masih ada. Masyarakat sekitar melestarikannya sebagai penanda bahwa wilayah tersebut semula adalah sebuah situ. Kolam yang kini ditembok itu berukuran sekitar 7 x 14 meter, berbentuk angka delapan. Kolam peninggalan tersebut tampak tak terawat karena digenangi air hujan dan lumut hijau. "Ayeuna sesa situ aya keneh dijantenkeun kolam renang di Kompleks Permata Hijau supados ulah ical (Sekarang sisa-sisa situ masih ada, dibangun kolam renang di Kompleks Permata Hijau supaya tidak hilang)," ujarnya.

Dalam buku Gids Van Bandoeng en Middn Priyangan yang diterbitkan tahun 1927, setidaknya terdapat lima buah situ yang ada di wilayah administratif Kota Bandung saat ini, yakni Situ Garunggang, Situ Cibitung, Situ Aras, Situ Saeur, dan Situ Gunting. Situ Aksan tidak disebutkan dalam buku tersebut kemungkinan besar karena belum dibuat, mengingat Situ Aksan adalah situ buatan.

Situ Aras terletak di daerah Karasak sekarang, Situ Saeur yang kini menjadi Rumah Sakit Immanuel, Situ Gunting terletak di antara Jln. Babakan Ciparay dan Jln. Peta, Situ Garunggang terletak di wilayah Cihampelas dan empang di Cipaganti. Sementara itu, Situ Cibitung tidak diketahui kini menjadi apa dan di wilayah mana.

Buku yang ditulis oleh S.A. Reitsma dan W.A. Hoogland itu berisi panduan wisata di Bandung pada saat itu. Para bangsawan Eropa sangat membanggakan situ-situ sebagai ciri khas daerah tropis yang sangat tidak mungkin dinikmati di daratan Eropa.

Alih fungsi situ, kolam, dan empang terus berlanjut di Kota Bandung. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik Kota Bandung, luas kolam dan empang pada tahun 2005 hanya 0,38% dari total luas lahan kota atau sekitar 63 hektare. Menurun dari semula 69 hektare pada tahun 2001.

Padahal, menurut staf ahli Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Kelautan (PPPGL), Ir. Tjoek Azis Soeprapto, M.Sc., fungsi situ, kolam, maupun empang, di antaranya sebagai penyimpan cadangan air. Menurut dia, alih fungsi situ menjadi pemukiman dan daerah industri ikut berkontribusi dalam penurunan volume air tanah, arah arus air tanah, bahkan kelembapan udara. (Lina Nursanty/"PR")



Post Date : 05 Juni 2007