Menggugat Infrastruktur

Sumber:Kompas - 25 Mei 2010
Kategori:Lingkungan

Pada Maret 2010, Kabupaten Karawang, Jawa Barat, diterjang banjir Sungai Citarum. Pertanyaan demi pertanyaan bermunculan. Bukankah di sepanjang aliran Sungai Citarum (270 kilometer) ada tiga bendungan besar? Di mana bendungan-bendungan itu saat harus bertugas mengendalikan banjir?

Infrastruktur bendungan di Sungai Citarum telah dipikirkan sejak awal abad XIX. Ahli pengairan Belanda, WJ van Blommestein, mengulasnya dalam pertemuan Persatuan Insinyur Kerajaan Belanda bertajuk ”Een Federaal Welvaartsplan voor het Westelijk Gedeelte van Java”.

Lantas, dibangunlah Bendungan Jatiluhur (1967), Saguling (1985), dan Cirata (1988). Sebelumnya, pemerintah Hindia Belanda membangun Bendungan Walahar (1925) untuk mengairi persawahan seluas 87.000 hektar di Karawang.

Kini, puluhan tahun berselang, infrastruktur di Citarum terus dibangun. Balai Besar Wilayah Sungai Citarum Kementerian Pekerjaan Umum masih merencanakan membangun tanggul dan bendungan di Bandung selatan.

Minimal dibutuhkan Rp 500 miliar bagi pengendalian banjir di cekungan Bandung. Ada lagi rencana proyek lain di hilir Citarum. Pertanyaannya, apakah hanya infrastruktur satu-satunya cara menangani sungai dan mencegah banjir?

Slamet Budi Santoso, Kepala Subdirektorat Sungai, Danau, dan Waduk Direktorat Jenderal Sumber Daya Air Kementerian Pekerjaan Umum, mengakui, paradigma dunia dalam pengelolaan sungai berubah. ”Kuno bila hanya mengandalkan infrastruktur,” ujarnya.

Menolak proyek

River Eman Catchment Management Association (disingkat CMA), lembaga swadaya masyarakat yang mengurusi Sungai Eman di Swedia selatan, berbagi pengalaman. ”Dulu kami banyak bangun proyek infrastruktur dan kini lebih selektif, bila perlu tidak bangun infrastruktur,” kata Bosse Troedsson, pemimpin CMA.

Bo menjelaskan, lebih baik membiarkan air sungai mengalir alami dan membuat perubahan dengan mengatur manusia. ”Andai petani membangun tanggul di pertengahan sungai, mungkin malah berpengaruh untuk warga hilir. Mengapa? Karena arus sungai lebih kencang,” katanya.

CMA memang bukan instansi pemerintah. Berbentuk LSM menjadikannya bertindak sesuai kesepakatan anggota, mulai petani, industri, pemancing, pebisnis wisata, perusahaan air minum, perusahaan kayu, hingga pemerintah daerah.

Mungkin aneh di Indonesia ada LSM mengelola sungai, tetapi itulah faktanya di Swedia. CMA bahkan dipercaya mengurus 220 kilometer sungai. Lebih pendek 50 kilometer dari panjang Sungai Citarum!

Hubungan CMA dengan pemda setempat (municipality) sangat baik, di mana municipality menjadi bagian komite CMA. Bahkan, CMA mendapat dana dari municipality dan mampu ”menggerakkan” satgas bencana.

Seminggu bersama Bo memperlihatkan hidupnya seolah untuk Sungai Eman. Tak seperti ”birokrat sungai” Indonesia, yang malah banyak berdiam di kantor, jarang melongok dan merasakan arus sungai. ”Bagian tersulit, tentu saja menghadapi masyarakat,” ujar Bo.

Karena CMA ”tumbuh dalam masyarakat”, ”perlakuan” terhadap sungai tak selalu infrastruktur. Bila kawasan terendam, warga dibujuk pindah. Bila debit air sungai surut, petani patuh tak banyak menanam.

”Ada juga warga yang bandel. Karena keluarga mereka sudah tinggal puluhan hingga ratusan tahun, mereka enggan direlokasi,” ujar Bo. Lantas bagaimana? CMA dan municipality berupaya memastikan satgas bencana siap mengevakuasi. Sederhana.

Lebih lanjut, CMA juga mengajarkan bahwa tata ruang sungai, yang dirancang berdasarkan masukan dari masyarakat, adalah kunci keberhasilan pengelolaan sebuah sungai. ”Pengelolaan sungai dan air hanya dapat berhasil bila ada keterlibatan kuat dari warga di tepian sungai,” kata Claus Pedersen dari perusahaan konsultan Ramboll Natura.

Infrastruktur memang tak boleh selalu menjadi ujung tombak pengendalian banjir. Apalagi bila dialihbahasakan, Direktorat Jenderal Sumber Daya Air adalah Water Resources. Ringkasnya, kerja pemerintah harus diperluas untuk mengelola sumber daya air, bukan ”infrastruktur”-nya.

Sayangnya, rakyat sulit memahami keterbatasan uang negara untuk infrastruktur. Padahal, selalu ada tarik-menarik antara infrastruktur jalan dan air. Payahnya lagi, karena proyek infrastruktur air tak terlalu bersifat komersial, sulit mengundang kemitraan pemerintah-swasta.

Saat ini, kita benar-benar membutuhkan pemecahan terbaik dan tercepat untuk berbagai persoalan di sungai dan pengelolaan air.

Terlebih lagi, dibutuhkan Rp 5.320 triliun untuk menangani sungai utama di Indonesia. Padahal, per tahun, dana yang ada tak sampai Rp 5 triliun. Berarti berita sedih soal sungai dan buruknya pengelolaan air selalu muncul. Jadi, pemerintah dan warga harus bersatu.... HARYO DAMARDONO



Post Date : 25 Mei 2010