Mengolah Sampah Organik Jadi Duit

Sumber:Majalah Gatra - 22 Desember 2010
Kategori:Sampah Jakarta

Sigit Agus Himawan berhasil menggalang kemitraan dengan pemulung, pemda, investor, dan petani untuk maju sejahtera bersama. Dimulai dengan mengolah sampah menjadi kompos granular. Sempat mendapat cibiran.

Sampah dengan bau kurang sedap tak harus dijauhi. Sebaliknya, sampah mesti didekati lantaran dapat diolah menjadi produk yang bermanfaat. Itulah yang dilakukan Sigit Agus Himawan. Lewat usaha kompos granularnya, pria 45 tahun ini sukses.

Setahun lebih ia hidup di tengah timbunan sampah dan bau tak sedap Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bantar Gebang, Bekasi, Jawa Barat. Di situlah ia mendapatkan momen paling bernilai. "Di sana, saya menjadi tahu karakter sampah yang sebenarnya," kata bapak tiga anak itu.

Sehari-hari, ia menempati rumah bedeng ukuran 2 x 3 meter dari papan, seng, dan kardus. Di sana, Sigit tidak sekadar mengais barang bekas. Ia juga membuat pupuk dari sampah, berupa kompos granular, karena berwujud butiran.

Kompos granularlah yang melambungkan usaha Sigit. Berkat olahan sampah, ia kini sibuk dengan berbagai proyek. Kini, Sigit menggarap proyek pabrik kompos granular di Metro, Lampung, dengan investasi senilai Rp 2,5 milyar. Proyek itu banyak membantu beberapa pemerintah daerah (pemda) dalam menanggulangi sampah. Hasilnya, Sigit mampu menarik tenaga kerja di sekitar TPA hingga 200 orang lebih, dengan penghasilan per orang rata-rata Rp 1,5 juta setiap bulan.

Pupuk produksi PT Coretin Kompos Indonesia milik Sigit tidak hanya beredar di Pulau Jawa, melainkan juga Bali, Nusa Tenggara, Sumatera, dan Kalimantan. Agar rantai distribusi, sosialisasi, riset-pengembangan, dan kemitraan lancar, Sigit mempekerjakan 12 sarjana baru di bawah bendera PT Alfa Omega Miracle.

Keberhasilan Sigit itu tentu melalui proses yang panjang. Setelah lulus dari Jurusan Teknik Perkapalan Institut Teknologi Sepuluh November, Surabaya, pada 1992, ia bekerja di salah satu perusahaan rekanan PLN. Pekerjaannya hanya menyurvei pembelian kabel di Ansai Steel, Cina. Di negara yang beribu kota Beijing itu, Sigit melihat fenomena menakjubkan: industri rumahan tumbuh subur.

"Saya belajar dari seorang anggota Partai Komunis Cina bagaimana membangkitkan jiwa wiraswasta dan memulai usaha," katanya. Sedangkan si anggota politbiro banyak menggali ajaran presiden pertama Indonesia, Soekarno, dari Sigit. Mereka barter pengetahuan.

Sekembali ke Tanah Air, Sigit tidak sabar lagi untuk mulai membangun usaha kecil-kecilan di rumahnya. Ia mulai membuat produk berupa pembersih lantai, sabun, lulur mandi, hingga cat tembok. Kurang lebih ada 30 formula yang diciptakannya. Produknya dijajakan langsung kepada masyarakat. Ia menjalani usaha ini selama lima tahun.

Suatu ketika, Sigit ditantang Untung Wiyono, yang kemudian menjadi Bupati Sragen, untuk menuntaskan masalah sampah. Tantangan ini diterima. Sejak itulah, Sigit mulai melakukan riset sampah. Sampah plastik, logam, dan kaca perlu didaur ulang. Sedangkan sampah organik bisa dibuat kompos. Sejak itu pula Sigit memulai petualangan sampah dengan cara memulung.

Selama ia menjadi "pemulung", keluarganya di Mojokerto, Jawa Timur, tidak tahu profesi Sigit sebenarnya. Mereka mengira Sigit kerja kantoran. Beberapa kerabat yang akhirnya tahu menilai Sigit gendeng (tidak berakal sehat). Mereka menyayangkan pilihan Sigit itu. Bergelar sarjana, tapi kok mencari duit dengan memulung.

Toh, cibiran itu tidak menyurutkan niatnya. Ia mencoba mengolah sampah menjadi kompos. Ongkos uji coba diambil dari sebagian hasil menjual barang bekas Rp 3,5 juta per bulan. Berbagai jenis kompos hasil produksinya diuji coba di dua tempat terpisah: Cipatat (Bandung) dan Mojokerto. "Saya coba di dua tanah kritis dan tandus dengan karakter berbeda," tutur Sigit.

Hasilnya lumayan. Tanah jadi subur. Petani di dua tempat itu puas dan meminta agar pasokan tidak dihentikan. Banyak petani yang selama ini memakai pupuk kimia abal-abal beralih ke kompos granular. Sejak itulah, Sigit mantap untuk membuat pabrik kompos granular.

Agar kompos bisa diproduksi lebih banyak, ia mencoba membuat tangki kompos sebagai media reaksi dengan mikrobiologi hasil riset laboratorium sendiri. "Setengah tahun percobaan tidak ada hasilnya," ia mengenang.

Sigit mengaku tidak bekerja sendirian. Siswayati, istrinya yang seorang apoteker, menjadi mitranya dalam menghasilkan temuan mikrobiologi. Ia membantu mencaritahu bagaimana mempercepat proses dan reaksi pelepasan kompos. Usahanya membuahkan hasil. Ramuan mikrobiologi itulah yang menjadi rahasia dan kekuatan Rabog, merek kompos granular hasil karya Sigit.

Ketika merintis pembuatan formula granular Rabog, Sigit punya pengalaman berharga. Karyanya dijiplak sejumlah produsen pupuk. "Saya kapok karena spesimen buatan saya dalam proses uji coba diambil dan digandakan tanpa memberitahu," katanya. Padahal, mereka cuma memberi kucuran dana uji coba tidak lebih dari Rp 2 juta. Tapi mereka tidak bisa menjiplak dengan persis. Rahasia ramuan itu ada pada inokulasi mikroba untuk dicampurkan ke sampah yang telah terfermentasi.

Uji coba dilakukan di laboratorium rumah Sigit di Mojokerto. Pada waktu itu, ia mendirikan PT Coretin Kompos Indonesia sebagai wadah untuk memproduksi hasil riset. Hasil temuannya itu pernah diikutkan dalam lomba riset dan teknologi yang diselenggarakan enam departemen. Dalam forum terapan riset dan hasil teknologi pada 2004, karyanya berhasil menyingkirkan 276 peserta dan menjadi juara pertama. Ia mendapat hadiah Rp 20 juta dan sebuah laptop.

Uang itu dipakai sebagai modal untuk menyewa bekas pabrik teh di Bojong, Purwakarta, Jawa Barat, yang disulap menjadi pabrik kompos granular. Di Bojong, ia bekerja sama dengan seorang pengusaha asal Sukabumi. Untuk pabrik di Purwakarta, ia mengaku sempat membuat nota kesepahaman dengan Petrokimia dalam rangka pengembangan pupuk organik. Namun kerja sama itu terhenti karena perbedaan konsep.

Sigit terus terang menyatakan tidak berniat membuat pupuk organik berbasis kotoran hewan. "Pasalnya, itu sudah menjadi hak petani dan nanti bisa merebut jatah rezeki petani dan peternak," ujarnya. Sigit berpandangan, status sampah berbeda karena telah dibuang dan tidak dipakai lagi. Bahkan sampah menjadi masalah besar bagi manusia. Ribuan ton sampah organik dibuang setiap hari, dan banyak pemda yang dipusingkan dalam mengelolanya.

Belakangan Sigit berubah pikiran. Ia menyetujui kerja sama dengan seorang petani jamur tiram di Mojokerto dan peternak 10.000 ekor sapi di Bojonegoro. Mereka kewalahan mengurus limbahnya. Ia tergerak membantu membuat granular dengan bahan non-sampah limbah keluarga. Pada 2005, Pemda Karawang tertarik pada ide Sigit. Ia diminta membuat pabrik kompos granular di Karawang. Kapasitasnya, 15 ton kompos per hari.

Tidak hanya Karawang yang tertarik. Pemda Jember pun jatuh hati pada ide Sigit. Maka, pada 2008, sebuah pabrik kompos dibuat, bermitra dengan distributor swasta setempat. Melihat keberhasilan Sigit mengurangi timbunan sampah organik, Pemda Sragen dan Bondowoso pun tidak mau ketinggalan.

Pada awal dan pertengahan tahun lalu, kedua pemda itu meminta Sigit membuat pabrik kompos granular dengan kapasitas produksi masing-masing 50 ton per hari. Investasinya Rp 1 milyar dan sudah balik modal dalam waktu tidak lebih dari setahun. Pasalnya, pemda memberi dukungan penuh, termasuk menyediakan bahan baku. Sebagai timbal balik, pemda mendapat hasil berupa pendapatan asli daerah Rp 300 juta-Rp 400 juta per tahun.

Ribuan pemulung, sejumlah pemda, distributor, dan para petani telah menjadi mitranya. Toh, Sigit belum puas. Ia merasa masih terobsesi untuk terus menyosialisaikan teknik-teknik mengembalikan kesuburan tanah dengan kompos granular dan mikroba.

Tanah, bagi Sigit, adalah kunci kesuburan, swasembada pangan, penanggulangan kelaparan, dan kekurangan gizi. "Kunci kesuksesan pertanian dan perikanan darat adalah tanah subur melalui pembenah tanah organik, bukan pupuk kimia," katanya. G.A. Guritno



Post Date : 22 Desember 2010