Mengubah Kebiasaan Sanitasi dan Air Bersih

Sumber:Kompas - 03 April 2007
Kategori:Sanitasi
Siliaro Lawl hanya tersenyum dan tak mau menjawab saat ditanya apakah dulu ikut-ikutan warga dusun lainnya menyamun di pinggir hutan batas kampung. Namun, ia bisa bertutur rinci ihwal kebiasaan sebagian warga dusun merampok pendatang yang mencoba masuk kampungnya.

Menurut dia, tak jarang perampok ini bertindak keji. Kalau niatnya membunuh, para perampok tetap membunuh korbannya kendati orang itu sudah memberi apa yang diminta.

Akan tetapi, itu cerita dua tahun lewat. Sekarang penduduk dusun mengubur kenangan akan pekerjaan keji mereka. Gempa bumi yang mengguncang Pulau Nias, 28 Maret 2005, menjadi titik balik. Banyak warga dusun yang dulunya perampok atau penyamun sekarang bertobat. "Dari anak-anak sampai orang tua, semuanya takut. Mereka ke gereja lagi," tutur Siliaro.

Siliaro, warga Dusun Tannikoo, Desa Lauri, Kecamatan Gid, Kabupaten Nias. Dusun ini terletak tak jauh dari Jalan Raya Gunungsitoli-Teluk Dalam, urat nadi di Nias.

Untuk mencapainya butuh perjuangan ekstra keras. Jalan yang bisa dilewati kendaraan roda empat hanya sampai ke Dusun Lauri (warga menyebutnya Dusun I), 1 kilometer dari Jalan Raya Gunungsitoli-Teluk Dalam di ruas Kecamatan Gid. Dari Dusun Lauri perjalanan dilanjutkan dengan berjalan kaki menyeberangi Sungai Lauri, melewati perbukitan, kebun karet, dan kelapa milik warga.

Sungai Lauri membatasi Dusun Tannikoo dengan Dusun Lauri. Di musim hujan, sungai ini biasa meluap yang membuat Dusun Tannikoo terisolasi. Anak-anak Dusun Tannikoo terpaksa tak bersekolah di musim hujan karena letak sekolah mereka cukup jauh dari rumah dan hanya bisa ditempuh dengan berjalan kaki serta menyeberangi Sungai Lauri.

Dusun Tannikoo (Dusun II di Desa Lauri) terletak di kemiringan bukit yang mencapai 40 derajat. Perjalanan cukup melelahkan meski jaraknya hanya sekitar 5 kilometer.

Seperti dituturkan Siliaro, mereka biasa memeras dan meminta uang kepada pendatang atau siapa pun yang masuk ke dusun mereka, atau merampok rumah-rumah warga di malam hari. Bagi penduduk di pedalaman Nias, merampok dianggap biasa sebab dilakukan oleh warga dusun mana pun.

Lalu, datanglah keajaiban yang mengubah kebiasaan mereka. Gempa dianggap hukuman Tuhan atas perbuatan keji mereka di masa lalu. Satu demi satu perampok mau bertani kembali.

Sebagian di antara mereka ada yang ditangkap polisi, sebagian lainnya tak diketahui lagi keberadaannya.

Diare dan malaria

Di luar tabiat buruk sebagian warganya, Dusun Tannikoo sebelum gempa merupakan daerah endemis diarewarga menyebutnya dengan muntah mencretdan malaria. Menurut Kepala Desa Lauri Idaman Jaya Zendrat, setiap musim hujan selalu ada warga Dusun Tannikoo, terutama anak-anak, yang meninggal karena diare. Belum lagi ancaman malaria yang juga sering merenggut nyawa warga.

Wabah diare, menurut Idaman, akibat buruknya sanitasi. Mereka punya kebiasaan membuang kotoran seenaknya. Asal berupa ladang, kotoran manusia bisa dibuang di sana. Padahal, untuk kebutuhan air minum, warga mengambil air dari Sungai Lauri yang belum tentu bersih. Ada juga warga yang mengambil air minum di sumur yang keruh. Sumur-sumur ini umumnya terletak di belakang rumah, tempat warga membuang kotoran/memelihara babi.

Swadaya warga

Warga diajak membangun saluran air bersih dari mata air dan bak penampungannya di Bukit Hiligodo. Mereka juga diajak mendirikan bak penampungan air dan jamban atau WC umum. Pekerjaan dilakukan swadaya oleh penduduk di sela rutinitas bertani dan berladang. Oxfam, lembaga swadaya masyarakat asal Inggris, hanya membantu menyediakan material, seperti pipa, kayu, dan semen.

Menurut Public Health Promotion Oxfam Ibena Hulu, awalnya sangat sulit mengubah kebiasaan warga dalam buang kotoran yang seenaknya. Ibena mengakui, awalnya program air bersih dan sanitasi hanya ditawarkan ke Dusun I atau Dusun Lauri yang mudah terjangkau.

Menurut Ibena, dia dan kawan-kawan sempat ciut saat menawarkan program sanitasi dan air bersih ke warga Dusun Tannikoo. Bukan apa-apa, cerita soal pendatang yang dirampok dan dengan mudah dibunuh mengecilkan nyali mereka.

Program itu hanya berani ditawarkan di Dusun I yang lebih terbuka letaknya. Warga Dusun I juga dianggap "lebih beradab" karena lebih sering berinteraksi dengan orang Gunungsitoli yang dianggap orang kota. Akhir tahun 2005 di Dusun I mulai dibangun WC umum dan fasilitas air bersih lainnya.

"Setelah ada perubahan dengan kebiasaan warga Dusun I dalam hal sanitasi dan air bersih, beberapa warga Dusun Tannikoo mulai bertanya bagaimana mereka bisa mendapatkan air bersih dan sanitasi yang layak. Tetapi, kami tidak bisa langsung masuk ke Tannikoo. Kami awalnya membentuk kader kesehatan dari warga dusun itu, baru memulai pekerjaan sanitasi dan air bersih ini," tutur Ibena.

Sedikit demi sedikit, warga dusun yang jadi kader kesehatan menjadi penyambung lidah untuk warga lainnya terkait program sanitasi dan air bersih. Oktober 2006 dilakukan assessment (pembebanan) terhadap warga tentang keinginan mereka hidup bersih dan terbebas dari diare.

Sekarang petugas Oxfam tak lagi takut saat membaur dengan warga Dusun Tannikoo. Selain mereka yang asli Nias, petugas Oxfam yang pendatang pun ikut berbaur, seperti dialami Public Health Engineer Oxfam Bagus Asharyanto. (khaerudin)



Post Date : 03 April 2007