Mengurangi Ancaman Banjir Jakarta

Sumber:Majalah Gatra - 03 Februari 2010
Kategori:Banjir di Jakarta

Proyek pembangunan Kanal Banjir Timur yang menelan biaya Rp 4,9 trilyun hanya sanggup mengurangi 30% banjir Ibu Kota. Ada sejumlah faktor yang mengakibatkan Jakarta selalu terancam banjir.

Bruk! Dua tanggul kokoh itu jebol. Air pun mengalir deras ke arah laut. Pembobolan tanggul di kawasan Pintu Air Marunda, Jakarta Utara, 31 Desember lalu, itu menjadi pertanda tembusnya proyek pembangunan Kanal Banjir Timur.

"Akhirnya air mengalir jauh ke laut. Proyek Kanal Timur sudah bisa digunakan sesuai dengan jadwal yang ditentukan, awal 2010," kata Gubernur DKI Jakarta, Fauzi Bowo, yang punya "panggilan dinas" Bang Foke itu. Ia dan sebagian besar pejabat teras DKI Jakarta patut menghela napas lega. Betapa tidak, inilah salah satu proyek nasional berumur panjang: memerlukan hampir empat dasarwarsa untuk diselesaikan.

Proyek Kanal Banjir Timur dicanangkan sejak 1973, mengacu pada masterplan buatan Netherlands Engineering Consultants (Nedeco). Rancangan ini didetailkan lagi lewat desain Nippon Koei dan Japan International Corporation Agency pada 1997. Namun penggalian kanal pertama kali baru dimulai pada 2003.

Ketika Fauzi Bowo memegang tampuk pimpinan, proyek Kanal Banjir Timur pun dikebut. Apalagi, ketika melakukan kampanye pemilihan Gubernur DKI dulu, Fauzi pernah melempar janji: "Serahkan masalah banjir pada ahlinya". Menjelang pergantian tahun, Kanal Banjir Timur memang telah mencapai laut.

Total biaya yang dihabiskan, sejauh ini, mencapai Rp 4,9 trilyun. Umumnya digunakan untuk biaya konstruksi dan pembebasan lahan. Kanal sepanjang 23,5 kilometer itu dimulai di Kelurahan Cipinang Besar, membelah kawasan timur Jakarta ke arah utara, hingga berakhir ke laut di kawasan Kelurahan Marunda, Jakarta Utara.

Toh, Fauzi mengaku, proyek antisipasi banjir itu memang jauh dari sempurna. Masih ada sejumlah titik di sepanjang jalur Kanal Banjir Timur yang belum sempurna. Misalnya, target lebar badan kanal yang seharusnya 75 meter belum tercapai. "Memang belum optimal karena masih ada yang dalam tahap pekerjaan. Namun dipastikan selesai dalam waktu dekat," kata Pitoyo Subandrio, Kepala Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung-Cisadane.

Kanal Banjir Timur, menurut Pitoyo, akan menjadi pelengkap berbagai proyek pencegah banjir yang telah ada. Maklum, bicara soal banjir, Jakarta memang menjadi biangnya sejak dahulu kala. Banjir bandang Jakarta direkam sejarah terjadi sejak 1614. "Kemudian banjir datang lagi ketika terjadi perubahan lahan. Belanda mengubah lahan kebun karet di kawasan Puncak dengan perkebunan teh pada 1920-an," tutur Pitoyo.

Untuk mencegah banjir, ketika itu pemerintah kolonial Belanda membangun kanal yang kelak dikenal sebagai Kanal Banjir Barat. Saluran banjir ini membentang dari Kelurahan Manggarai hingga kawasan Muara Angke sepanjang 18,5 kilometer. Sebelumnya, Kanal Banjir Barat itulah yang selama ini bersusah payah meredam banjir bandang Jakarta. Toh, kemampuannya terbatas karena hanya bisa menaklukkan air bah sampai 370 meter kubik per detik.

Nah, Kanal Banjir Barat dan Kanal Banjir Timur akan berpasangan, bahu-membahu mencegah banjir tahunan Jakarta. Kanal Banjir Timur didesain untuk menjaga lima daerah aliran sungai yang mengalir di Jakarta. Yakni Sungai Cipinang, Sunter, Buaran, Jatikramat, dan Cakung. "Jadi, lima aliran sungai yang dulunya bermuara di laut, sekarang ditampung semua di Kanal Timur," kata Pitoyo.

Dibandingkan dengan Kanal Banjir Barat, Kanal Banjir Timur memang mempunyai daya tampung lebih besar, dengan debit air hingga 390 meter kubik per detik. Selain itu, Kanal Banjir Timur juga dilengkapi dengan sistem kolam sedimen berukuran 300 x 350 meter di kawasan Ujung Menteng. "Ini berguna untuk menangkap sedimen agar badan kanal tetap leluasa," kata Pitoyo.

Dengan kehadiran Kanal Banjir Timur, apakah persoalan banjir bandang di Ibu Kota tuntas? Belum tentu. Sebab, menurut Pitoyo, banjir di kawasan yang dilewati Kanal Banjir Timur memang akan berkurang, tapi hanya 25%-30%.

Misalnya, kalau dulu banjir hingga mencapai dada, sekarang hanya sebatas mata kaki. Sekarang banjirnya juga hanya sebentar, tak sampai sehari atau dua hari. "Tetapi ini tak berarti sama sekali bebas banjir. Soalnya, banjir yang datang bisa lebih dari daya tampung Kanal Banjir Timur," ujar Pitoyo.

Contohnya, Kanal Banjir Timur belum tentu dapat mengusir banjir secara optimal di lingkungan Bidara Cina dan Kampung Melayu, Jakarta Timur. "Soalnya, sistem air di sana tidak terkait dengan Kanal Timur, tetapi berhubungan langsung dengan Sungai Ciliwung," tutur Pitoyo.

Bahkan kadang-kadang, tak ada angin tak ada hujan, air bah tetap rajin datang berkunjung. Itu gara-gara sistem pelimpasan air yang amburadul, sehingga banyak air yang menggenang. Apalagi, sejumlah wilayah di Jakarta berada lebih rendah dari ketinggian permukaan air laut.

Karena itulah, Pitoyo melanjutkan, mencegah datangnya banjir bisa identik dengan mengelola suatu negara. Soalnya, banyak kepentingan yang terlibat. "Karena ada batas daerah, penduduk, kondisi sosial, dan lingkungan. Ada undang-undang dan peraturan yang harus ditaati," katanya.

Pakar lingkungan dan drainase dari Universitas Indonesia, Elkhobar M. Nazech, setuju dengan pendapat itu. Proyek Kanal Banjir Timur bisa jadi tak banyak gunanya jika kebijakan penanggulangannya hanya sebagian dan masyarakat tetap tak peduli lingkungan. Salah satunya, ya, soal drainase perkotaan tadi. Berdasarkan pantauan Elkhohar, masih banyak saluran air yang mampet dan tidak terpelihara.

Padahal, salah satu syarat bebas banjir adalah sistem saluran air dan penggunaan lahan yang baik. Menurut Elkhobar, banjir Jakarta terjadi karena tiga hal. Pertama, meluapnya sungai-sungai yang melintasi Ibu Kota. "Setidaknya ada 13 sungai di Jakarta yang harus dipelihara agar tetap baik. Jika badannya semakin sempit, tak dapat menampung air yang masuk," ujarnya kepada Lufti Avianto dari Gatra.

Penyebab kedua, dalam kondisi tertentu, air pasang laut dapat merambah sebagian wilayah Jakarta karena memang berada di bawah permukaan laut. Ketiga, sistem drainase perkotaan yang buruk, sehingga pada saat curah hujan tinggi, air meluap.

Perawatan sistem drainase memang rutin dilakukan. Terakhir kali, Pemda DKI melakukan rehabilitasi dan berhasil mengangkat 1,5 juta kubik endapan lumpur dari 64 saluran air dan anak sungai di lima wilayah Jakarta. Biaya yang dihabiskan mencapai Rp 195 milyar. Tapi sedimen dan perambahan lahan bantaran sungai seakan tak pernah habis.

Jika kondisi itu dibiarkan, ujung-ujungnya sumber air bersih semakin menyusut. "Pada saat ini, Jakarta sudah miskin air bersih. Dari Sungai Ciliwung saja tinggal 2,5 kubik per detik. Sumber air bersih dari Sungai Cipinang, Sunter, dan yang lainnya lebih banyak bercampur dengan limbah kamar mandi dan dapur," kata Pitoyo. Bersyukurlah, Jakarta masih memiliki Waduk Jatiluhur sebagai sumber air bersih.

Ampuh atau tidaknya Kanal Banjir Timur nanti bakal terlihat ketika banjir melanda. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMG), bersama Dirjen Sumber Daya Air Departemen Pekerjaan Umum, serta Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional, meramalkan bahwa ancaman banjir menguat sejak Desember lalu hingga Februari mendatang.

Lihat saja hasil pengamatan Kepala Laboratorium Sistem Kebumian dan Mitigasi Bencana BPPT, Fadli Syamsudin. Menurut Fadli, pada saat ini terdapat gumpalan massa atau awan dingin (cold surge) yang berada di laut Cina Selatan. "Cold surge ini merupakan massa udara dingin yang terbawa oleh sirkulasi angin utara-selatan (meredional)," kata Fadli.

Itu terjadi karena perbedaan tekanan udara di kawasan Siberia, yang kemudian mengalir ke arah khatulistiwa. "Tepatnya, ia akan berarak ke selatan melalui pesisir utara Pulau Jawa," kata Fadli lagi.

Kenapa awan dingin ini menjadi penting? Menurut Fadli, gumpalan ini menjadi salah satu biang terjadinya banjir bandang di Jakarta. "Waktu banjir besar di Jakarta pada 2007, cold surge itu juga terdeteksi," katanya.

Selain awan dingin, masih ada tiga faktor lainnya yang ikut berpengaruh, yakni fenomena El Nino dan La Nina, kondisi cuaca lokal Jakarta, serta fenomena "Madden-Julian Oscillation". Ini gangguan atmosfer dalam bentuk osilasi gelombang yang mengalir dari barat ke timur dalam periode 30-50 hari.

Faktor El Nino dan La Nina, kata Fadli, memang kurang berpengaruh. "Tetapi faktor lainnya sangat berpengaruh," katanya. Memang masih ada masalah "banjir kiriman" dari kawasan Bogor dan sekitarnya. "Faktor kiriman ini memang ada, tetapi pengaruhnya kira-kira 40% saja," tuturnya. Selebihnya karena empat faktor tadi, termasuk kehadiran awan dingin.

Pertanyaannya kemudian, sejauh mana peluang awan dingin itu menyerbu kawasan Nusantara? Menurut Fadli, perilaku mereka bisa dilihat dari kondisi cuaca di kawasan Asia, seperti di Hong Kong atau Taiwan. "Melihat pengalaman banjir bandang 2007, sepekan sebelumnya awan dingin itu berada di Hong Kong dan menurunkan hujan salju di sana," katanya. Namun Fadli mengaku memerlukan waktu sepekan atau dua pekan lagi untuk menentukan apakah awan dingin itu telah mendekati wilayah Indonesia.

Menurut pantauan Kepala Sub-Bidang Peringatan Cuaca Dini Ekstrem BMG, Kukuh Ribudiyanto, kondisi awan dingin memang masih lemah. "Jadi. bisa dibilang, hingga pekan ini ada jeda. Hanya wilayah tengah dan timur Indonesia yang relatif banyak hujan," ujar Kukuh.

Tetapi, baik Kukuh maupun Fadli tetap yakin, banjir masih tetap mengancam Jakarta. "Saya tidak bisa bilang ancamannya kongkret karena ini kan cuaca. Istilah yang tepat adalah 'ancamannya makin meningkat'," kata Fadli.

Bagi Kukuh, proses jeda pada saat ini bisa jadi mengulang pola kejadian banjir 2007. "Dulu banjir 2007 juga begini. Hujan berhenti sebentar, cuma hujan rintik-rintik, lalu besoknya mak jeder, banjir bandang," ungkap Kukuh.

Profil Kanal Banjir Timur

Kanal Banjir Timur melintasi 13 kelurahan di Jakarta. Meliputi Kelurahan Cipinang Besar, Cipinang Muara, Pondok Bambu, Duren Sawit, Malaka Jaya, Malaka Sari, Pondok Kelapa, Pondok Kopi, Pulogebang, Ujung Menteng, Cakung Timur, Rorotan, dan Marunda, dengan panjang mencapai 23,5 kilometer.

Kanal Banjir Timur juga menampung aliran Sungai Cipinang, Sunter, Buaran, Jatikramat, dan Cakung, dengan lebar kanal rata-rata mencapai 70 meter, serta mampu mengalirkan debit air 390 meter kubik per detik. Total biaya pembangunannya Rp 4,9 trilyun. Terdiri dari biaya pembebasan tanah Rp 2,4 trilyun dari APBD DKIJakarta dan biaya konstruksi Rp 2,5 trilyun dari APBN Departemen Pekerjaan Umum.

Diharapkan, kanal ini dapat mengurangi banjir di Jakarta hingga 25%-30% serta melindungi fasilitas permukiman, industri, dan pergudangan di bagian timur Jakarta. Kanal Banjir Timur nantinya juga dimaksudkan untuk prasarana konservasi air tanah dan sumber air baku, bahkan transportasi air.

Daerah tangkapan air (catchment area)-nya mencakup luas lebih kurang 207 kilometer persegi atau sekitar 20.700 hektare.

Kawasan Ancaman Banjir

Kini Jakarta punya Kanal Banjir Timur dan Kanal Banjir Barat. Keduanya diharapkan dapat menjaga Ibu Kota dari serangan banjir. Namun sejumlah prasarana masih diperbaiki. Karena itu, potensi banjir pun tetap mengancam. Catatan Dinas Pekerjaan Umum Pemda DKI dan BMG menunjukkan sejumlah tempat yang paling potensial diterjang banjir:

Jakarta Selatan Ancaman banjir muncul di Sungai Pesanggrahan. Perbaikan Waduk Situ Gintung belum selesai. Volume air Sungai Pesanggrahan dapat membubung tinggi pada puncak musim hujan sehingga dapat menyebabkan banjir di kawasan ini.

Jakarta Timur Sungai Ciliwung masih menjadi ancaman banjir di Kecamatan Jatinegara. Banjir di Kampung Pulo hampir dipastikan kembali terulang pada puncak musim hujan Januari sampai Februari 2010.

Jakarta Utara Banjir juga diperkirakan masih akan terjadi di wilayah ini, meskipun pompa di Waduk Pluit sudah diperbaiki. Selain banjir dari sungai, luapan air laut pada saat pasang dapat terjadi pula, karena tanggul di Pelabuhan Muara Baru belum ditinggikan. Nur Hidayat, Mukhlison S. Widodo, dan Basfin Siregar



Post Date : 03 Februari 2010