Menjadi Tuan di Negeri Sendiri

Sumber:Majalah Air Minum - 01 Januari 2008
Kategori:Air Minum

Hingga saat ini sejumlah besar PDAM masih kewalahan membayar utangnya kepada pemerintah yang nilainya mencapai Rp. 6,1 trilyun. PDAM pun masih terseok-seok mengajak investor untuk membiayai proyek-proyek mereka yang rata-rata bersifat jangka panjang. Sementara investor rata-rata menghendaki proyek jangka pendek agar cepat menuai untung. Rentang yang lama untuk mendapatkan break even point (BEP) dalam proyek air minum tak jarang merepotkan PDAM. Sistem pendanaan PDAM terdiri dari dana sendiri (equity) yang bisanya 30% dari pembiayaan dan utang (70%) yang saat ini menjerat PDAM. Utang tersebut bisa melalui mekanisme Sub Loan Agreement, Rekening Dana Investasi (RDI), atau pinjam ke bank. Jika sudah seperti itu, apa salahnya menengok alternatif-alternatif pembiayaan lain, contohnya dengan menerbitkan obligasi.

Untuk mengetahui bagaimana alternatif pembiayaan dengan obligasi ini menguntungkan bagi PDAM atau malah memperkeruh karena ketidaksiapan PDAM, Tim Redaksi mewawancari Sekretaris Badan Pendukung Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum (BPP SPAM) Departemen Pekerjaan Umum, UkiAshardijatno.

Sumber pendanaan pengembangan infrastruktur dapat berasal dari domestik maupun luar negeri. Sumber dana dalam negeri misalnya asuransi, dana pensiun, dan reksadana. Sedangkan dana luar negeri contohnya pinjaman dari World Bank, ADB, pemerintah luar negeri dan lainnya. Pinjaman dari luar negeri ini biasanya bersifat channeling atau two step loan dengan pemerintah pusat sebagai penjamin. Saat ini dalam perkembangannya donor menuntut persyaratan atau jaminan dari Pemerintah Daerah. Prosesnya pun cukup memakan waktu lama, yaitu antara 3-4 tahun untuk pengaturan. Dengan sistem ini, PDAM harus mengeluarkan 30% biaya proyek dari kantung sendiri.

Dengan model pembiayaan obligasi, dana tidak langsung masuk ke PDAM, melainkan melalui PT. Danareksa sebagai fund manager. PDAM yang berminat kemudian mengajukan proposal ke PT. Danareksa dan jika dinilai layak akan diterbitkan obligasi yang diperdagangkan di pasar modal. Masyarakat kemudian membeli obligasi tersebut dalam bentuk kupon.

Kelebihan dan kekurangan

Menurut mantan Direktur Utama PDAM Kabupaten Badung-Bali ini, pembiayaan melalui pinjaman ke bank dengan pembiayaan obligasi memiliki perbedaan karakter. Misalnya, obligasi memiliki kelebihan antara lain jangka waktu tempo lebih panjang, syarat pembayaran yang lebih fleksibel, penentuan harga yang lebih transparan, dan pembiayaan dengan tingkat bunga tetap. Sedangkan kekurangannya yaitu pengaturannya lebih mahal ketimbang pinjaman bank dan pasar obligasi menuntut persyaratan utang yang lebih tinggi.

Sedangkan pada pendekatannya, obligasi memiliki nilai kupon yang tetap sepanjang umur obligasi. Sementara pendekatan pada pembiayaan bank adalah berbentuk pinjaman berbunga dan mengembang serta tingkat bunga disesuaikan per periode (umumnya per 3 bulan). Jika pada perbankan dikenal istilah kreditur, tingkat bunga dan debitur, maka dalam pasar obligasi dikenal istilah emiten (PDAM), kupon, dan pemegang obligasi.

Menurut Uki, dalam penerbitan obligasi PDAM harus memiliki FS yang dibuat oleh konsultan sebagai pihak yang independen. "Pembiayaan melalui obligasi bisa disebut agak lebih papas karena tingkat bunganya lebih keras. Bedanya dengan pembiayaan melalui pinjaman bank yang jika ingin mengambil dana memerlukan invoice, pada pembiayaan obligasi uangnya akan langsung diterima oleh PDAM. Resikonya, jika tidak pintar mengaturnya, dikhawatirkan akan terjadi penyalahgunaan," ujar Uki. Dia mencontohkan, obligasi yang saat ini banyak dicari misalnya ORI (Obligasi Republik Indonesia) yang tingkat bunganya saat ini 8,2%.

Saat ini Departemen Pekerjaan Umum (Dit. Bina Program, Ditjen Cipta Karya) sedang memproses pinjaman dari Pemerintah Jerman melalui KFW. Pinjaman tersebut bersifat two step loan ini antara Pemerintah Jerman dan Pemerintah Indonesia melalui Departemen Keuangan yang selanjutnya akan meneruskan dana tersebuf pada BUMN (dalam hal ini sudah diusulkan PT. Danareksa). PT. Danareksa memberikan jaminan dengan membuat opsi pembiayaan yang kemudian diteruspinjamkan kepada PDAM berupa obligasi. Akuntan publik yang menilai kewajaran bisnis air minum di PDAM akan diaudit oleh akuntan publik yang terdaftar di BAPEPAM dan Bursa Efek Indonesia (BEI). Sebagai penjamin dana-dana jangka panjang tersebut biasanya berasal dari dana-dana pensiun dan asuransi yang bermain dalam pasar modal.

Prospek obligasi
 
Para pembeli obligasi akan mencari jenis bisnis yang mapan. Bisnis air minum di Amerika dianggap mapan karena setiap orang mengkonsumsi air. Di Amerika, revenue bond (obligasi penerimaan) sudah menjadi opsi pembiayaan agar masyarakat sebagai user juga mendapat dampak positif dengan adanya kenaikan tarif karena bisa mengambil keuntungan dari pembelian obligasi tersebut.

Saat ini baru 10 PDAM yang menyatakan minat dalam pembiayaan obligasi. Sepuluh PDAM tersebut antara lain PDAM Kab. Subang, PDAM Kota Cirebon, PDAM Kota Waringin Timur, PDAM Kota Surakarta, PDAM Kab. Bandung, PDAM Kab. Serang, PDAM Kab. Mataram, PDAM Kab. Sidoarjo, dan PDAM Kab. Sibolga. Dari jumlah itu akan diteliti kelayakan dan komitmennya oleh tenaga ahli. Selama ini kendala PDAM mendapatkan pinjaman dari luar negeri masih tersandung utang mereka. Oleh karena itu PDAM mau tidak mau harus mencari dana lain, contohnya penerbitan obligasi.

"BPP SPAM mengharapkan Departemen Keuangan memberikan opsi-opsi kepada PDAM yang selama ini terbelit utang dengan melihat kinerja mereka. Jika kinerja mereka baik harapannya mendapat keringanan dari Departemen Keuangan," harap Uki.

PDAM idealnya mempunyai bussines plan (corporate plan) seperti Rencana Program dan Investasi Jangka Menengah (RPIJM). Dari rencana tersebut harus diatur mana yang memakai uang panas, uang hangat, dan uang dingin. Dikatakan uang dingin karena tidak mempunyai efek dengan bunga. Tapi PDAM tak bisa hidup dengan mengandalkan kondisi keungan internal mereka, sehingga untuk mengembangkan perusahaannya harus mencari investasi.

Uki mengatakan, studijuga perlu dilakukan agar kesalahan perencanaan selama ini tidak terulang, misalnya membangun jaringan di suatu daerah tapi masyarakat tak mau menggunakan karena kualitas airnya sama dengan yang bisa mereka dapatkan dari air tanah. Dengan demikian sia-sia saja PDAM memasang aset berharga (pipa) ke daerah tersebut.

"Kalau boleh dikatakan, PDAM yang mendapatkan dana dari obligasi seharusnya merupakan PDAM yang memiliki market masyarakat high income atau masyarakat industri. Jangan sampai berinvestasi tidak bisa kembali modal karena masyarakatnya tak sanggup membeli," tutur Uki.

Saat ditanya minat masyarakat membeli kupon obligasi PDAM, Uki menilai faktor keterbukaan informasi menjadi kunci. Dari keterbukaan tersebut masyarakat bisa menilai layak tidaknya proyek tersebut didukung. Karena ada beberapa proyek yang secara ekonomis layak namun tidak layak secara bankable (layak secara financial) karena sifatnya jangka panjang. PDAM yang layak mengikuti model obligasi ini harusnya yang memiliki rating minimal triple B. Jika dari triple B ke A plus akan mendapatkan keuntungan dengan turunnya tingkat bunga karena dianggap resikonya lebih kecil.

Pembelajaran

Model pembiayaan obligasi juga memberikan pembelajaran kepada PDAM. Mereka tidak lagi sebagai PDAM biasa karena sudah menjadi perusahaan daerah milik publik. Jika perusahaan terbuka menjual sahamnya, maka dengan obligasi sebetulnya PDAM mendapatkan utang dari masyarkat yang membeli kupon obligasi PDAM melalui pasar modal dan suatu saat masyarakat bisa memantau perkembangan indeks obligasi melalui media massa.

"Jika PDAM mendapatkan dana dari obligasi, manajemen PDAM harus yakin bahwa uang yang dia dapat dari masyarakat dimanfaatkan dengan baik. Dengan demikian mereka harus siap dibedah dan terbuka kepada masyarakat, lebih proefsional dan menghilangkan praktek KKN," ucap Uki.

Jika dengan pembiayaan obligasi berhasil, investor yang biasa menanamkan modalnya untuk pengembangan air minum bisa saja meniru untuk menerbitkan obligasi. Investor bisa menerbitkan jenis obligasi proyek untuk membangun instalasi maupun pengembangan jaringan yang dia kontrak selama kurun waktu tertentu.

"Proyek air minum bisa dikatakan sangat menjanjikan karena bersifat monopoli, tidak ada pesaingnya kecuali perusahaan air mineral yang bisa diantisipasi oleh PDAM dengan menjaga kualitas, kuantitas, dan kontinuitas," tekan Uki.

Uki menambahkan, apabila ada PDAM yang sukses memakai obligasi sebagai alternatif pembiayaan, tidak tertutup kemungkinan akan direplikasikan ke PDAM lain. Namun sekali lagi perlu ditegaskan pentingnya komitmen dari pemilik maupun stakeholder. Contoh yang bisa diambil pelajaran misalnya PDAM Kota Bogor yang sudah merancang pembiayaan melalui penerbitan obligasi. Sampai saat ini proses yang dilakukan PDAM Kota Bogormasih berlarut-larut karena masih ada perbedaan pandangan antar manajemen.

Legislasi dari DPRD mutlak diperlukan misalnya dalam penentuan tarif. Jika proses pengembangan dengan modal obligasi sudah sampai pada pelayanan mau tidak mau akan berhadapan dengan masalah yang sensitif, yakni penentuan tarif. Dengan dukungan DPRD, gesekan dengan masyarakat bisa diminimalisir. Selain itu, pergantian pimpinan/kepala daerah juga menentukan kebijakan BUMD yang dimilikinya. Tak jarang kebijakan dan langkah PDAM terhenti karena kepala daerah diganti.

Komitmen manajemen

Disinggung optimisme Uki tentang obligasi yang ditawarkan pada PDAM, untuk saat ini dia optimistis PDAM Kota Surabaya dan PDAM Kota Bogor bisa melakukannya. Menurutnya, di Kota Bogor banyak pelanggan dari perumahanperumahan kelas menengah ke atas. Sedangkan pelanggan di Kota Surabaya variatif dari mulai industri, niaga, perhotelan, sampai perumahan. Tidak dapat dipungkiri, PDAM memang masih melakukan deskriminasi pelayanan kepada pelanggannya. Diharapkan dengan pengembangan dari pembiyaan obligasi tersebut, daerah-daerah pelayanan lainnya dapat diuntungkan. Namun tidak semua kegiatan PDAM menggunakan uang dari oblogasi, misalnya untuk daerah pelayanan Masyarakat Berpenghasilan Rendah, atau kawasan kumuh nelayan. PDAM menerapkan corporate social responsibility untuk memenuhi daerah pelayanan MBR, serta prasarana umum seperti Rusun.

Proses penerbitan obligasi menempuh waktu yang cukup lama, dimulai dari penyusunan proposal dan audit PDAM oleh akuntan publik independen untuk memeriksa manajemen perusahaan. Karena itu diperlukan fit and propertestdalam pemilihan direksi PDAM agar terwujud manajemen yang baik. Jika direksi PDAM sakit memahami keuntungan obligasi, mereka bisa menawarkannya kepada investor. Investor dibujuk untuk mengeluarkan obligasi (obligasi proyek) ketimbang memakai bunga bank. Dengan mengeluarkan obligasi bias menurunkan costofmoneynya.

Tugas BPP SPAM membantu upaya penyehatan PDAM, setelah sehat PDAM masuk kategori bisa melakukan kerja sama dengan swasta yang memerlukan partner-partner yang setara. Jika kerjasama dengan swasta masih dirasakan sulit, opsi pembiayaan obligasi menjadi salah satu alternatif. Karena dananya dari masyarakat sendiri, saya berharap PDAM menjadi tuan rumah di negeri sendiri.

Sasaran MDGs

Dana APBN sangat terbatas untuk mencapai target pelayanan air minum yang diamanatkan MDGs sebanyak 66%. Bahkan Presiden Susilo Bambang Yuhoyono saat melakukan kunjungan kerja ke Departemen Pekerjaan Umum 8 Januari lalu meminta Dep PU melakukan percepatan pembangunan air minum dengan segala aspek. Menyambut permintaan Presiden RI tersebut, Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto menyatakan pemerintah akan meningkatkan target instalasi air minum nasional hingga akhir 2009 menjadi 50%. Sebelumnya pemerintah mentargetkan 30% sambungan di kota dan desa.

Sementara Kepala BPP SPAM Rahmat Karnadi mengatakan rata-rata sambungan air minum desa dan kota masih kurang dari 20%. Saat ini, sambungan kota 45% dan desa baru 9%. Dengan demikian perlu terobosanterobosan pembiayaan mengingat dana APBN untuk pembangunan air minum masih terbatas. Model pembiayaan dengan menerbitkan obligasi oleh PDAM memang merupakan kali pertama yang dilakukan Ditjen Cipta Karya dibandingkan Ditjen Bina Marga yang sudah mengaplikasikan obligai untuk pembiayaan pembangunan jalan tol. bcr
 



Post Date : 01 Januari 2008