Menjaga Hutan dengan Bijak

Sumber:Media Indonesia - 22 April 2008
Kategori:Climate

SEEKOR elang hitam melayang-layang di udara. Sayap burung yang mengembang itu seakan menyambut cuaca cerah siang itu. Burung dengan nama Latin Ictinaetus malayensis itu kemudian hinggap pada dahan pohon yang menjulang tinggi.

Pemandangan langka itu ditemui saat menyusuri sungai di sekitar Taman Nasional Sebangun di Kalimantan Tengah, pada Rabu (16/4). Bukan hanya elang hitam yang melayang-layang di udara, melainkan juga orang utan yang bergelantungan di pohon-pohon pun seakan-akan mencium kedatangan manusia.

Orang utan itu biasanya hidup berkelompok dengan jumlah tiga sampai empat ekor. Beberapa induk orang utan terlihat menggendong anak-anak mereka yang masih bayi. Mata mereka terus mengamati gerak-gerik manusia yang berada di perahu tradisional Kalimantan berukuran 20 x 16 meter itu.

Saat itu, rombongan wartawan berkesempatan mengunjungi Taman Nasional Sebangun. Tentu saja taman seluas 568.700 hektare itu tidak seluruhnya dapat diamati karena keterbatasan waktu.

Hutan Sebangun yang ditetapkan sebagai taman nasional berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No 423 Tahun 2004 tertanggal 19 Oktober itu berada di tiga wilayah, yakni Kabupaten Katingan, Pulang Pisau, dan Kota Palangkaraya. Sedikitnya 106 jenis burung, 35 jenis mamalia, dan 166 spesies flora masih hidup di hutan itu.

Meski ditetapkan sebagai taman nasional, kawasan bergambut itu tidak lepas dari jarahan tangan manusia. Satwa termasuk orang utan diburu. Biasanya orang utan (Pongo pygmaeus) diburu untuk dipelihara, dimakan dagingnya, atau tengkoraknya dijadikan hiasan.

Bukan hanya satwa langka, kawasan itu juga kerap menjadi incaran pembalak liar dan pembakar lahan. Sebelum 2007, kawasan ini kerap menjadilangganan kebakaran lahan.

"Tetapi kini kami sudah bisa mengatasi. Bahkan pada 2007, hanya tiga titik api di kawasan Taman Nasional Sebangun. Mudah-mudahan tahun ini tidak ada lagi," kata Gubernur Kalteng Teras Narang pada acara makam malam di Istana Isen Mulang Palangkaraya, Rabu (16/4).

Kebakaran lahan di kawasan ini memang menjadi momok bagi pemerintah provinsi setempat dan juga pemerintah pusat. Bagaimana tidak? Setiap kali kebakaran hutan terjadi di wilayah itu, upaya pemadaman sulit dilakukan.

Itu tidaklah mengherankan. Pasalnya, menurut pakar lingkungan Emil Salim, lahan gambut bukan tanah biasa. Lahan gambut adalah sejenis tanah dari tanaman belukar yang lama sekali mengendap. Seiring dengan perjalanan waktu, kawasan gambut itu berubah menjadi sejenis batu bara. "Kalau lama-kelamaan terbenam ke dasar, akan berubah menjadi batu bara. Lebih lama lagi menjadi minyak bumi," ujarnya.

Jadi, menurut mantan Menteri Lingkungan Hidup itu, hutan lahan gambut ini merupakan permulaan dari bahan bakar. Karena itu, bila orang membuka lahan dengan cara membakar, api akan masuk ke akar. Padahal, ketebalan lahan gambut ada yang mencapai 12 meter.

"Sekali api menyala tentu akan masuk ke tanah yang mencapai 12 meter. Akibatnya, api tidak bisa dipadamkan," ucapnya.

Pemadaman itu, lanjutnya, hanya bisa dilakukan dengan kebesaran Tuhan. Caranya, bisa lewat hujan dan air pasang. Namun, celakanya, manusia pula yang membuat upaya itu tidak berhasil sepenuhnya. Itu terjadi lantaran pohon-pohon di wilayah itu pun banyak yang ditebang sehingga air hujan atau air pasang tidak masuk ke lahan gambut, tetapi justru langsung mengalir ke laut.

"Hutan bakau yang dibuka dengan cara membakar menjadi api yang terpendam waktu musim kemarau. Ketika musim kering, melonjak menjadi api kembali dan terjadilah kebakaran hutan," paparnya.

Bila manusia tidak dapat memelihara hutan secara bijak, banyak manusia yang akan menderita. Bencana besar pasti akan mengancam seperti banjir dan longsor. "Itulah mengapa menanam pohon penting. Bukan pohon itu yang utama, melainkan semangat agar pohon menjadi hutan, hal itu yang penting," ujarnya.

Pemanfaatan hutan

Menurut Emil, pemanfaatan hutan harus diubah bukan untuk dijual kayunya, melainkan bagaimana hutan itu bisa memberi kesejahteraan bagi masyarakat. Ia memberi contoh Suku Dayak yang mengantungkan hidup mereka dari hutan.

Selain itu, pohon-pohon yang berada di sekitar hutan bisa dimanfaatkan. Salah satunya pohon jeluntung yang menghasilkan getah. Di luar negeri, getah pohon jeluntung bisa dimanfaatkan untuk dijadikan permen karet. "Kenapa kita harus menebang pohon jeluntung kalau ternyata getahnya bisa kita manfaatkan," tandasnya.

Selain itu, di sekitar pinggiran sungai di kawasan Taman Nasional Sebangau, terdapat cacing sebebesar jempol orang dewasa. Bagi masyarakat sekitar sungai, ternyata cacing itu memberi manfaat besar.

"Kalau sakit perut atau kena diare hingga lemas, cacing itu menjadi obat. Caranya, cacing itu dibakar menjadi arang kemudian dicampur dengan air untuk kemudian diminum," papar Emil.

Mengingat pentingnya pemanfaatan hutan itu, Garuda Indonesia bekerja sama dengan WWF Indonesia, dan Pemerintah Provinsi Kalteng menggelar dialog dengan warga di sekitar kawasan Taman Nasional Sebangun. "Kini kami sadar pentingnya hutan. Karena itu, sekarang kami ubah pemikiran. Dari menebang menjadi menanam, dari merusak menjadi memelihara," kata Ketua Forum Masyarakat Kecamatan Sebangun Sabrani. (Drd/S-3)



Post Date : 22 April 2008