Menunggu Terobosan Raksasa

Sumber:Kompas - 28 Agustus 2008
Kategori:Kekeringan

Setidaknya dua bulan sejak pertengahan Juni lalu, Kabupaten Karangasem, Provinsi Bali, terus mencuat melalui berbagai media lokal atau nasional. Kali ini, fokus sorotan terkait krisis air bersih sebagai dampak kekeringan musim kemarau. Krisis paling parah menimpa hampir merata di Kecamatan Kubu, kawasan Seraya (bagian dari Kecamatan Karangasem) dan sebagian Kecamatan Abang.

Wilayah krisis air itu meliputi perkampungan yang tumbuh di sekitar pesisir bagian timur dan utara Kabupaten Karangasem, atau kawasan yang menghadap Selat Lombok dan Laut Jawa di bagian timur Pulau Bali. Dari kesaksian serta pengakuan masyarakat, lebih banyak waktu mereka seharian kini harus dihabiskan untuk mencari air. Itu karena jaraknya lumayan jauh, ada yang hingga 4 kilometer (km), bahkan harus menempuh empat perjalanan pergi pulang antara kampung dan sumber air.

”Sumber airnya jauh. Selama kemarau ini waktu habis hanya untuk mencari air,” ujar I Negah Diantem (40), warga Banjar Dogading, Desa Seraya Tengah, sekitar 20 km sebelah timur Amlapura, kota Kabupaten Karangasem, atau lebih kurang 100 km dari Denpasar.

Bagi warga di kawasan itu, aliran Tukad (Sungah) Sakua yang berjarak sekitar 4 km dari kampung adalah satu satunya sumber air warga setempat. Namun, alur sungai itu kini hanya menyisakan bongkahan cadas hitam aneka ukuran karena air sudah mengering. Yang masih tersisa adalah rembesan air melalui celah cadas. Air rembesan yang tertampung dalam ceruk yang kemudian diciduk secara perlahan untuk kebutuhan minum warga.

Kondisi serupa dialami warga desa tetangga, Seraya Timur atau Desa Watumana dan sekitarnya. Sebagai misal warga Banjar Kangin, Seraya Timur. Upaya mendapatkan air yang dapat dilakukan warga selama kemarau sekarang adalah mengais tetesan air di Tukad Hitam, yang juga hanya menyisakan rembesen melalui celah cadas.

Menghadapi kondisi seperti ini, setiba di sungai praktis tidak langsung menimba air lalu pulang. Mereka harus bersabar menunggu hingga air tampungan dalam ceruk dapat diciduk untuk ditampung dalam ember. ”Untuk mendapatkan air satu ember (sekitar 5 liter), kami harus menunggu sekitar satu jam,” kata Ketut Reken (32), warga Banjar Kangin.

Lebih berat perjuangan mendapatkan air yang dilakukan warga banjar tetangga, Tana Barak, sebelah timur Banjar Kangin. ”Kami harus mencari air hingga sekitar kaki Gunung Bakung. Untuk jalan pergi pulang saja butuh waktu lebih kurang empat jam, belum termasuk menunggu waktu timba hingga ember penuh,” ujar warga banjar, Made Bandra (27).

Mobil tangki

Sementara itu, sepanjang perjalanan dari Amlapura-Kubu yang antara lain melewati Seraya, Watumana, dan Bunutan, beberapa kali berpapasan dengan mobil tangki air Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Karangasem. Mobilitas mobil khusus itu memang dikerahkan untuk memenuhi kebutuhan air minum masyarakat.

Pekan lalu, bahkan puluhan warga dengan sepeda motor bermuatan jeriken berunjuk rasa di DPRD Karangasem. Mereka menuntut DPRD setempat segera mengambil langkah konkret untuk mengatasi krisis air bersih yang sedang menimpa masyarakat. Menariknya, setelah berunjuk rasa, mereka mengisi jeriken hingga penuh dengan air dari keran di lingkungan kantor wakil rakyat itu.

Nengah Diantem, Ketut Reken, Made Bandra, atau sejumlah warga lainnya di kawasan Bali bagian timur itu memang belum menyerah menghadapi alam yang kering, tandus, dan garang, termasuk ketika harus berjuang mencari air minum saat kemarau datang. Namun, jauh di lubuk hati, mereka sebenarnya tetap menggantungkan harapan pada saatnya akan terbebas dari belenggu kesulitan air bersih. Kapan itu, tidak satu pun di antaranya yang berani memastikan, selain terus mendesak Pemkab Karangasem dan juga Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bali supaya tidak membiarkan kawasan itu tetap tertinggal. Terutama wilayah dan perkampungan menghadap Selat Lombok dan Laut Jawa, gambaran kemiskinan mengental kuat. Kondisi itu sangat kontras dengan kawasan Bali bagian selatan, tengah, dan barat yang kaya air dan subur, juga didukung gelimang dollar dari rezeki industri pariwisata.

”Kami tidak berharap pariwisata akan menyentuh hingga perkampungan kami meski juga sama-sama di Pulau Bali. Harapan kami sederhana saja, suatu saat terbebas dari krisis air,” ujar Kadek Suastika (42), warga Desa Dukuh, satu dari tiga desa yang diketahui dengan krisis air paling parah di Kecamatan Kubu.

Perjalanan dari Amlapura ke kecamatan gersang ini melalui Seraya, jaraknya sekitar 50 km. Waktu tempuh pun lebih dari dua jam karena jaringan jalan sangat sempit menyusuri tebing terjal dan sering harus menerobos tanjakan mendebarkan.

Sebaliknya, kalau melewati jalan utamanya, jarak antara Amlapura dan Kubu sekitar 25 km. Waktu tempuh sekitar 30 menit karena jalan lebar dan mulus. Selain itu, lebih separuh perjalanan dengan pemandangan sekitar sebagaimana Bali umumnya: hijau, segar, sejuk, serta relatif terbebas dari kesan miskin.

Jangka panjang

Kepala Bagian Humas dan Protokoler Pemkab Karangasem I Komang Agus Sukasena atau Camat Kubu I Wayan Sutapa, secara terpisah, mengakui dibutuhkan terobosan raksasa guna mengatasi hingga tuntas krisis air bersih yang sejak lama melanda kawasan tepi timur dan utara Karangasem itu. ”Mengatasi kesulitan air bersih di kawasan ini bukan beban ringan karena harus menerobos kawasan kering, tandus, dan rata rata bermedan terjal. Mobil tangki yang menyalurkan bantuan air bagi warga tidak bisa dua kali dalam sehari karena jalan sangat sempit dan berkelok kelok menyusuri lereng terjal,” kata Agus Sukasena.

Meski begitu, kedua pejabat tetap optimistis kawasan tersebut suatu saat terbebas dari krisis air bersih. Wayan Sutapa, misalnya, antara lain menunjuk komitmen sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang berniat serius mengambil bagian dalam upaya memenuhi kebutuhan air jangka menengah bahkan jangka panjang bagi warga Kubu.

LSM dimaksud adalah Yayasan Dian Desa yang telah menancapkan agenda bantuan berupa cubung atau tempat penampung air. Fasilitas cubung itu dibangun secara bertahap dan diharapkan merata hingga seluruh banjar bahkan kelompok masyarakat di Kubu, selama lima tahun atau hingga tahun 2011 mendatang.

”Dian Desa berjanji akan membangun satu cubung untuk setiap kelompok masyarakat. Saya atas nama masyarakat Kecamatan Kubu tentu saja sangat berterima kasih atas bantuan ini,” ujar Wayan Sutapa di Kubu, Rabu (6/8).

Sutapa mengakui, LSM Dian Desa sesungguhnya sudah merealisasikan bantuan tersebut sejak tahun lalu, khusus di Kubu. Pada tahun pertama dibangun lima cubung besar masing-masing berkapasitas 1.800 meter kubik. Berlanjut tahun ini empat cubung ukuran tidak jauh berbeda ditambah pembangunan pusat lembaga pemberdayaan masyarakat. Lembaga ini khusus melatih masyarakat bagaimana memanfaatkan dan memelihara cubung, kegiatan reboisasi serta berbagai kegiatan yang memandirikan masyarakat.

Jika Dian Desa memang akan menepati agendanya, Kubu yang kini berpenduduk 72.600 jiwa atau 21.000 keluarga, hingga tahun 2011 akan memiliki sedikitnya 164 cubung bantuan yayasan itu. Jumlah cubung itu sesuai jumlah kelompok masyarakat yang tersebar dalam 62 banjar atau sembilan desa. ”Jika program bantuan itu berjalan tanpa halangan, mungkin empat tahun lagi kebutuhan air bersih di Kubu relatif teratasi,” kata Sutapa.

Agus Sukasena mengakui, Pemkab Karangasem juga sudah mengalokasikan dana Rp 275 juta untuk merampungkan pemasangan jaringan pipa air yang tersisa dari Abang hingga kawasan Seraya. Dari jarak total lebih kurang 20 km, sekitar 600 meter di antaranya jaringan pipanya belum tersambung. ”Ini bagian upaya jangka menengah. Kami berharap alokasi dana itu dari APBD perubahan tahun ini hingga proyeknya bisa ditangani secepatnya,” kata Agus Sukasena.

Selain itu, Pemkab Karangasem juga telah mengagendakan proyek raksasa, yakni membangun alur sungai buatan untuk mengalirkan air dari sumber di Telaga Waja (Kecamatan Rendang). Alur sungai buatan sejauh lebih kurang 30 km, menurut rencana, akan menerobos kawasan tandus wilayah Seraya hingga Kubu. (ANS)



Post Date : 28 Agustus 2008