Menyulap Asap Menjadi Duit

Sumber:Majalah Gatra - 17 Juni 2009
Kategori:Air Limbah

Bisnis pengolahan limbah karbon menjanjikan laba ganda. Peluang pasarnya terbuka luas. Potensi kredit karbon melalui clean development mechanism mencapai nilai ratusan ribu poundsterling.

Yang namanya limbah atau sampah tentu seharusnya dibuang. Tapi itu dulu. Zaman sekarang, limbah juga berarti duit. Para pengusaha kini mulai berani berinvestasi besar-besaran untuk limbah. Itulah yang dilakukan PT Resources Jaya Teknik Management Indonesia (PT RMI).

Melalui anak perusahaannya, PT RMI Krakatau Karbonindo (RMI-KK), mereka mendirikan pabrik pengolah limbah karbon dioksida (CO2) yang baru diresmikan di Kawasan Industri Ekonomi Khusus (KIEK) Cilegon, Sabtu pekan lalu. Bersama RMI-KK, ikut pula Cides (Center for Information and Development Studies) yang menjadi mitra kerja. Tak tanggung-tanggung, nilai investasinya cukup serius, mencapai US$ 6,5 juta untuk ongkos peralatan dan US$ 3 juta untuk membangun pabrik.

Tak berhenti sampai di situ. Jika semua berjalan lancar, akan dibangun dua pabrik lainnya dengan investasi mencapai US$ 10,6 juta per pabrik, mulai tahun depan. ''Ini boleh disebut pabrik pengolah dan pemurnian emisi CO2 pertama di kawasan Asia,'' kata Rohmad Hadiwijoyo, President Director PT RMI-KK.

Jika sampai berani mengobral dana, tentu kalkulasi untung-rugi sudah benar-benar diperhatikan. Menurut Rohmad, berbisnis limbah asap berbau apek ini dapat mendatangkan keuntungan ganda. Selain membersihkan lingkungan dari zat polutan gas rumah kaca, tentunya --jangan lupa-- sambil berbisnis-ria.

Yang dilakukan RMI-KK adalah ''menangkap'' dan ''memurnikan'' (refinering) limbah karbon. Hasilnya berupa karbon murni cair. Komoditas inilah yang dijual kepada konsumen. Bahan baku karbon yang dibutuhkan RMI-KK tak jauh-jauh, berasal dari pabrik baja nasional PT Krakatau Steel.

''Pada cerobong pabrik dipasang blower agar asap yang tadinya mengotori udara mengalir ke pipa menuju unit pengolah karbon,'' kata Isnanto W., Wakil Presiden Pemasaran PT RMI-KK. Awalnya, CO2 tadi ''diperas'' sehingga kandungan airnya terpisah. Selanjutnya, gas karbon dialirkan ke filter untuk menghilangkan partikel yang tidak dibutuhkan dan segala bau yang tidak enak.

Sekali lagi, karbon dimasukkan ke unit water scrubber untuk membuat gas kering kerontang dan terbebas dari sulfur dioksida (SO2). Ketika itu, gas menjadi panas sehingga perlu didinginkan dan dimasukkan ke kompresor untuk dipadatkan. Tahap selanjutnya, gas masih diproses dengan lead-leg filter.

''Proses itu berguna untuk memfilter komponen gas lain yang tidak dikehendaki, sehingga gas menjadi murni sesuai dengan standar yang ada,'' ujar Isnanto. Selanjutnya gas dimasukkan ke unit purifikasi untuk didinginkan dan dicairkan. Setelah itu, cairan karbon tersebut dikemas ke dalam dua tangki khusus dengan kapasitas 220 meter kubik, dan siap menunggu pembeli.

Tapi, adakah yang tertarik membeli karbon murni? Jangan salah, CO2 murni banyak digunakan untuk berbagai keperluan. Mulai memutihkan gula, pembuatan minuman berkarbonasi, pengawetan makanan dan perikanan dengan dry ice, hingga mensterilkan bakteri dan jamur.

Selama ini, CO2 murni yang ada di pasar masih mahal karena masih menggunakan bahan baku dari minyak bumi. ''Ini berbeda dari CO2 dari kami. Karena bahan bakunya langsung diambil dari limbah pabrik, harganya jauh lebih murah,'' kata Rohmad.

Biasanya para pembeli memesan karbon murni hingga mencapai 20 ton. ''Kami sudah punya beberapa pelanggan, seperti perusahaan Iwatani Industries, Molindo, Samator, dan Aneka Gas. Sebagian dari mereka juga bertindak sebagai distributor,'' kata Isnanto. Dari ongkos pembelian bahan baku saja, sudah tergambar laba yang dapat diraih. RMI-KK membeli asap karbon Rp 85 per kilogram dari Krakatau Steel. Setelah diolah, harga karbon murni di pasar dapat mencapai Rp 3.000 per kilogram. Apalagi, peluang pasarnya masih luas karena, menurut Rohmad, kebutuhan karbon murni saat ini mencapai 250 ton per hari.

Kini pabrik itu mampu menghasilkan karbon murni 3 ton per jam atau 72 ton per hari. Karena itu, kapasitas pabrik masih akan ditingkatkan menjadi 18 ton per jam. Selain itu, RMI-KK juga akan memaksimalkan pasokan bahan baku hingga mencapai 9 ton per jam. ''Itu disesuaikan dengan permintaan konsumsi CO2 murni di Indonesia,'' tutur Rohmad.

Potensi laba lainnya yang dapat dikeruk, antara lain, melalui mekanisme pembangunan bersih aliasclean development mechanism(CDM), yang telah ditetapkan sesuai dengan Protokol Kyoto. Mereka yang menjalankan CDM akan mendapat sertifikat kredit karbon yang bisa diperjualbelikan. ''Dengan jumlah produksi CO2 murni RMI-KK sebesar 24.000 ton per tahun, didapat kredit karbon 288.000 poundsterling (1 ton CO2 = 12 poundsterling),'' kata Rohmad.

Tapi, "Kami belum memikirkan keuntungan dulu. Yang penting adalah memanfaatkan gas buang yang ada sekarang ini agar dapat mengurangi polusi,'' kata Rohmad lagi. Betapa tidak, menurut Direktur Kajian Energi, Kelautan, dan Lingkungan CIDES, Rudi Wahyono, produksi asap karbon Indonesia makin meningkat setiap tahun. Baik itu secara sektoral maupun secara keseluruhan (lihat: Perkembangan Emisi CO2 Menurut Sektor).

''Bagian terbanyak berturut-turut berasal dari sektor industri, transportasi, dan pembangkit listrik,'' ujar Rudi. Ini klop dengan data mutakhir hasil kajian BPPT tentang emisi karbon di Indonesia. Menurut data itu, sektor industri nasional menyumbang emisi 77,22 juta ton (27%) dari total emisi Indonesia yang mencapai 286 juta ton.

Di sisi lain, kondisi ini juga menunjukkan bahwa peluang bisnis pengolahan limbah polutan masih terbuka luas. Karena itu, menurut Rudi, industri yang bergerak dalam daur ulang limbah perlu diperbanyak untuk mengatasi pemanasan global.

Sayang, dari sisi teknologi memang masih banyak yang harus dibenahi. Misalnya, teknologi yang ada belum memungkinkan untuk mengambil semua jenis polutan karbon di udara untuk dijadikan bahan baku. ''Bahan baku itu harus yang mengandung CO2 lebih dari 90%. Jadi, emisi dari sektor transportasi belum bisa dipakai,'' kata Rohmad kepada wartawan Gatra Rukmi Hapsari.

Toh, kondisi itu sama sekali tak membuat peluang bisnisnya menciut. Belum lama ini, menurut Rohmad, pemerintah memutuskan agar semua perusahaan negara mengurangi kadar emisi pabriknya. Ini tentu menjadi peluang emas bagi pabrik pengolah limbah. Sekali lagi, limbah memang berarti duit. Nur Hidayat



Post Date : 17 Juni 2009