Mereka Bergulat demi Air Bersih

Sumber:Kompas - 13 September 2011
Kategori:Air Minum

Sudah 10 tahun Siti Solekah (40) bergulat memenuhi kebutuhan air bersih untuk keluarganya. Setiap kemarau tiba, dia harus berjalan kaki sekitar 30 menit menuju sumber air terdekat untuk mendapat air bersih di pagi hari. Jika siang hari, air yang didapatnya sudah keruh, dan harus disaring berkali-kali agar bisa diminum.

”Kalau punya uang, saya ingin sekali pindah. Susah sekali mendapat air bersih di sini. Kalau musim hujan saya mendapat air dari hujan. Kalau musim kemarau yang berat,” kata Solekah, warga Desa Karangjati, Kecamatan Wonosegoro, Boyolali, Jawa Tengah, Kamis (8/9).

Selama tak ada hujan, setiap pagi Solekah mengambil air di sumber air yang ada di tengah ladang. Ada beberapa pilihan sumber air, tetapi jaraknya sama-sama jauh, butuh sekitar 30 menit dengan berjalan kaki untuk mencapainya, karena Solekah dan suaminya, Puri (33), tidak punya sepeda, apalagi sepeda motor.

Kalau agak siang, air yang didapat sudah berlumpur. Meski demikian, ibu dua anak itu tetap bersyukur masih mendapat air. Paling tidak keluarganya membutuhkan empat jeriken (isi 25 liter) air bersih untuk kebutuhan sehari.

”Mandi secukupnya saja. Satu ember (isi tiga liter air) ini harus dicukupkan untuk sekali mandi, yang penting basah. Anak-anak saya ajak mandi di sungai kalau ingin banyak air. Untuk ke sungai juga sama jauhnya dengan ke belik (mata air kecil),” ujar Solekah.

Ada delapan desa di Kecamatan Wonosegoro yang rawan kering di musim kemarau. Beberapa di antaranya sudah dibuat instalasi air dari program Penyediaan Air dan Sanitasi Berbasis Masyarakat (Pamsimas). Namun, belum semua warga mendapatkan suplai air.

Di Desa Bandung, Kecamatan Wonosegoro, misalnya, baru 60 rumah teraliri air dari Pamsimas. Padahal, ada 800 keluarga yang tinggal di desa itu.

Kepala Desa Bandung M Bentung mengatakan, warga yang belum tertangani Pamsimas masih kesulitan mendapat air bersih saat musim kemarau. Pilihan yang dilakukan yakni membuat belik di tepi sungai, memasang pompa untuk mengalirkan air ke rumah mereka.

Di Desa Bengle, Kecamatan Wonosegoro, Partin (45), yang sudah mendapat aliran air melalui Pamsimas merasakan kemudahan mendapat air bersih. ”Kalau dulu kami harus mengangsu (mengambil air) dari mata air, sekarang tinggal buka keran. Walaupun saat musim kemarau airnya sedikit, tapi yang penting masih ada air bersih,” tutur Partin.

Sekretaris Camat Wonosegoro Hari Haryanto mengatakan, empat dari 18 desa di kecamatan itu sudah menikmati air bersih melalui Pamsimas. Saat ini, pihaknya juga mengajukan bantuan tangki air kepada pemerintah kabupaten untuk daerah-daerah yang kekeringan.

Di Desa Sruni, Kecamatan Musuk, Boyolali, lain lagi. Warga Dukuh Plambong, Desa Sruni, umumnya memiliki bak untuk menyimpan air bersih. Selama musim hujan, mereka menadah air hujan dalam bak. Sebagian air itu digunakan untuk minum ternak mereka, yaitu sapi perah.

Samadi (59), warga Dukuh Plambong, mengatakan, selama kemarau ini dirinya harus mendatangkan satu tangki air setiap minggu. Harga satu tangki air bervolume 6.000 liter berkisar Rp 100.000-Rp 110.000.

”Kebutuhan air terbanyak untuk sapi. Satu sapi perah harus minum 30-40 liter per hari. Mau tidak mau kami harus beli air, sebab sudah dua tahun terakhir air dari mata air tidak lagi mengalir ke desa ini karena instalasinya rusak,” ungkap Samadi. (Amanda Putri)



Post Date : 13 September 2011