Mereka hanya Bisa Pasrah

Sumber:Media Indonesia - 28 November 2007
Kategori:Banjir di Jakarta
Di sebuah ruas jalan di Muara Baru, Jakarta Utara, seorang pria berkulit legam berdiri memandangi rumah-rumah warga yang telah berubah menjadi kubangan besar berwarna keruh.

Pria itu, Suhendar, sehari-hari bekerja menjadi pedagang sayur keliling. Setiap hari ia berkeliling dari satu RT ke RT lainnya untuk menjajakan sayuran seperti bayam, kacang panjang, kangkung, tahu, tempe, dan ikan asin.

Namun, Selasa (27/11) siang, ia tak bisa menjalankan aktivitasnya. Air pasang kembali naik sekitar 2 meter dan menggenangi rumah-rumah warga. ''Sampai sekarang saya belum melihat gerobak saya. Jangan-jangan sudah hilang terbawa arus air,'' kata Suhendar sedih.

Ia pun sudah merelakan seluruh dagangannya hilang hanyut terbawa air. Ayah satu anak ini menuturkan sudah dua tahun menjalani profesi sebagai pedagang sayur keliling. Hasilnya cukup untuk menghidupi istri dan seorang anaknya. Setiap hari ia dapat mengantongi keuntungan sampai Rp35 ribu.

Namun, sekarang Suhendar kebingungan. Jangankan keuntungan, gerobak dorong yang biasa dipakainya berkeliling menjajakan sayuran pun hanyut entah ke mana.

Selama ia tinggal di Muara Baru sejak 1980-an, baru kali ini terjadi air pasang setinggi 2 meter. Tahun lalu kawasan ini juga tergenang karena pasang, tapi tidak separah yang terjadi sekarang. ''Begitu pun kejadian serupa sekitar 2002 lalu, tidak sampai separah ini. Denger-denger pompanya tidak jalan,'' ujarnya.

Hal senada diutarakan Mardiyah. Menurut dia, inilah musibah terparah sejak ia tinggal di kawasan tersebut sekitar 20 tahun lalu. ''Kemarin (Senin, 26/11) air begitu cepat meluap. Datangnya kok seperti tiba-tiba. Kami emang sering terendam, tapi paling cuma sebatas betis,'' ujar perempuan setengah baya itu.

Mardiyah sudah mengikhlaskan barang dagang di warungnya hanyut terbawa air. Untuk menambah pendapatan suaminya yang bekerja sebagai nelayan, ia memang membuka warung kecil. Di sana ia menjual berbagai jajanan seperti cokelat, minuman kemasan untuk anak-anak, kerupuk, dan permen. Hasilnya lumayan, cukup untuk dipakai membeli beras dan lauk-pauk.

Karena tidak mengira air akan meluap dengan cepat, ia pun tak sempat menyelamatkan barang-barang dagangannya tersebut. ''Sudah ludes, Mas, hanyut terbawa arus,'' katanya pasrah.

Sebagian besar penduduk di Muara Baru umumnya memang bergerak di sektor informal. Entah itu membuka warung, berdagang bakso keliling, atau usaha warung nasi. Di tengah permukiman padat itulah mereka coba mengais rezeki di tengah sempitnya lapangan pekerjaan. Upaya mereka merupakan suplai terhadap permintaan atau kebutuhan masyarakat yang nyata akan jasa dan barang dagangan mereka.

Sebagian besar studi mengenai kemiskinan menyimpulkan banyak warga miskin di perkotaan tidak dapat keluar dari lingkaran setan karena hambatan struktural. Pertama ketiadaan modal serta keamanan, dan sempitnya ruang gerak berusaha lantaran kerap dirazia petugas tramtib.

Kini, penderitaan warga miskin itu kian bertambah karena faktor alam yang kurang mendukung. Musibah memang bisa terjadi kapan dan di mana pun, namun dampaknya tentu dapat diminimalkan seandainya penataan kota ramah terhadap lingkungan.

Apalagi dampak dari petaka air pasang ini tidak kecil. Sejumlah penerbangan terganggu. Ratusan truk kontainer yang mengakut barang ekspor-impor terganggu lantaran jalan-jalan tergenang. Belum lagi kerugian harta benda penduduk.

Bagi para pengusaha besar, kerugian akibat air pasang ini mungkin cepat tergantikan. Lain halnya bagi para penggiat ekonomi informal seperti Suhendar dan Mardiyah. Mereka tentu harus kembali pontang-panting mencari modal lagi. Yang pasti, itu bukan persoalan mudah bagi mereka.(Jonggi Manihuruk/J-2)



Post Date : 28 November 2007