Mereka yang Repot Karena Banjir

Sumber:Suara Pembaruan - 28 Januari 2005
Kategori:Banjir di Jakarta
Matahari belum tinggi. Aktivitas warga Manggarai juga belum tampak seberapa ramai di pagi berselimut mendung dan hujan gerimis itu. Namun, penampilan Mimpri Mashuri (55), sudah klimis dan rapih.

Telepon di pos pengamat ketinggian air Manggarai dari warga sekitar tak henti-hentinya berdering. "Air sudah tidak terlalu tinggi, tapi harus diawasi. Sewaktu-waktu ini bisa naik," ujar penanggung jawab Pintu Air Manggarai itu, sembari meneguk secangkir kopi hangat.

Ketinggian air pagi itu, menurut Mimpri, hanya 750 cm. Jauh lebih rendah dibanding sepekan sebelumnya, kala beberapa wilayah di Jakarta dilanda banjir.

Seluruh wilayah DKI Jakarta, Kamis pekan lalu, dinyatakan Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso dalam kondisi Siaga I. Pasalnya, ketinggian air di Pintu Air Manggarai, sejak Rabu (19/1) malam sudah mencapai lebih dari 950 cm sehingga pintu air terpaksa dibuka untuk mengurangi risiko banjir di Jakarta Timur dan Pusat.

Sedang ketinggian air di pintu air Karet, saat kondisi Siaga I ketika itu, mencapai 630 cm, dan 155 cm pada Pintu Air Cipinang. Warga di beberapa wilayah rawan banjir diminta waspada. Akibat banjir tersebut, 29.200 warga Jakarta terpaksa mengungsi.

Saat Jakarta dinyatakan Siaga I, Mimpri, yang sudah bekerja di Pintu Air Manggarai sejak 1975, harus bekerja ekstra keras. "Karena gawat ya harus terus-terusan jaga. Engga ada waktu untuk istirahat," ujar pegawai DPU golongan II/C itu saat ditemui Pembaruan, baru-baru ini.

Untunglah ia bersama keluarga berdiam di rumah dinas, persis di samping pos Pintu Air Manggarai sehingga tidak perlu repot mondar-mandir. Selama 24 jam, Mimpri beserta tiga rekannya di pos pintu air itu bergiliran memantau ketinggian air.

Tiap jam ia memonitor ketinggian air di Pos Pengamat Ketinggian Air Depok, serta melaporkan kondisi di Manggarai, baik kepada warga yang menelepon maupun ke Dinas PU.

Jika air di Pos Manggarai berketinggian 750 cm (Siaga IV), tanggung jawab ada di tangannya selaku Mantri Pintu Air. Untuk ketinggian 750-850 cm (Siaga III), tanggung jawab ada pada Komandan Operasional di Dinas PU, Jatibaru.

Pada status Siaga II, dengan ketinggian air 850- 950 cm, adalah Komandan Umum, yakni Kepala Dinas PU yang bertanggung jawab. Sedang dengan kondisi Siaga I, semua pengendalian banjir di wilayah DKI Jakarta berada di dalam komando langsung Gubernur.

Kendati waspada, Mimpri berpendapat, kondisi Siaga I tempo hari belum separah situasi tergawat yang pernah terjadi di pos Manggarai pada 2002. Ketika itu ketinggian air mencapai 1.050 cm.

Ditambahkan, yang harus diwaspadai masyarakat sebetulnya adalah ketinggian air di Depok. "Kalau Depok tinggi terus, perlu diwaspadai. Sebab air di pos Manggarai ini datangnya dari Depok," ujar pria jebolan SMP di Yogyakarta itu.

Sampah berjubel

Saat musim banjir, lewat seperangkat alat radio komunikasi, Mimpri tiap jam memantau ketinggian air di Depok, termasuk kondisi di pos Manggarai, untuk dilaporkan ke kantor Dinas PU di Jatibaru.

Bekerja ekstra keras, dan tanpa upah besar, tak ada kesan lelah tersirat di wajahnya. "Biasa-biasa saja, toh ini sudah pekerjaan saya," ujar Mimpri singkat.

Musim banjir, bagi Sukitno, pegawai Sudin Kebersihan Jakarta Pusat, juga berarti perlu adanya perhatian ekstra. Sejak Jakarta dinyatakan Siaga I oleh Gubernur Sutiyoso, tiap pagi hingga tengah malam Sukitno berada di pintu air Manggarai, untuk mengawasi pengerukan sampah di sepanjang aliran Sungai Ciliwung itu.

Tebal sampah di pintu air Manggarai sampai dua meter. Sembari mengisap batang demi batang rokok kretek kegemarannya, pagi itu ia mengawasi proses pengerukan sampah.

Dari ranting pepohonan hingga kasur, bantal, potongan kursi, serta perabot yang lain tampak menggunung di gundukan sampah yang baru saja dikeruk.

Tak pernah terbayang oleh van Breen, barangkali, ada sebongkah bupet usang bisa nyangkut di Pintu Air Manggarai, yang dimaksudkan oleh Pemerintah Kolonial Belanda sebagai alat pengendali banjir di Batavia.

Puncak kondisi "rawan sampah" di Pintu Air Manggarai, ujarnya, terjadi pada tanggal 21 sampai 23 Januari lalu. Sampah dari daerah aliran Sungai Ciliwung, kata Sukitno, yang mandeg dan menyumpal di pintu air, adalah salah satu penyebab banjir.

Akibat volume yang meningkat luar biasa saat itu, sampai-sampai dalam satu hari itu diperlukan 27 rit angkutan truk sampah untuk membuangnya sampai ke Bekasi. "Sampah dikeruk dari pukul tujuh pagi hingga tengah malam," ujar Sukitno.

Bahkan, ketika kondisi rawan sampah terjadi, pengerukan berlangsung sampai pukul 03.00 WIB dini hari. Dua pejabat atasannya, yakni Drs Hasan Basri (Kasudin Kebersihan Jakpus) dan Drs Slamet Limbong (Kepala Dinas Kebersihan DKI Jakarta), pun terpaksa ikut berada di lokasi. Bisa dipastikan, ketika datang musim banjir, Sukitno harus bekerja dari pagi hingga larut malam.

Jika saja bantaran sungai tidak dijadikan pemukiman, ia yakin volume sampai di aliran Sungai Ciliwung tidak bakal separah itu. Tapi entah mengapa, warga Jakarta tak pernah perduli soal sampah.

Sama halnya Mimpri dan Sukatno, kondisi Siaga I sempat menyita perhatian Drs Harry Harsono, Humas PMI DKI Jakarta. Bersama para relawan dari lima PMI Cabang, ia mau tak mau harus bersiaga penuh selama 24 jam.

Ambulans lengkap dengan peralatan medis disiapkan bagi para korban. Seketika air membubung tinggi, Rabu (19/1) malam, para relawan PMI langsung terlibat evakuasi korban, yang dikoordinasi oleh Satkorlak PBP DKI Jakarta.

"Pos pertolongan pertama dibuka, dilanjutkan dengan membuka dapur umum," ungkap Harry yang ditemui baru-baru ini.

Yang jadi sedikit bikin kesal, kata Harry, warga jadi terkesan "manja". Ada sedikit kebergantungan pada lembaga-lembaga seperti PMI.

"Begitu musim hujan tiba, mereka berpikir, ah toh nanti juga dapat bantuan," kata Harry. Larangan tinggal di bantaran kali tidak diperdulikan, kendati bahaya banjir sudah disadari.

Bantaran Sungai

Boleh dibilang, warga Jakarta korban banjir itu sebetulnya sudah tahu mereka hidup di daerah rawan banjir. Secara geografis, 40 persen wilayah daratan DKI Jakarta lebih rendah dari permukaan laut.

Jakarta juga merupakan daerah aliran sungai yang menyebar merata di semua wilayahnya. Wilayah Jakarta bagian timur dialiri Kali Cakung, Jati Kramat, Buaran, Sunter, dan Cipinang.

Di wilayah tengah bisa ditemui Kali Ciliwung, Cideng, dan Krukut. Sedangkan di bagian barat terdapat Kali Grogol, Pesanggrahan, Angke dan Mookevart.

Tak terhitung berapa banyak yang bermukim di bantaran sungai, termasuk Ciliwung. Tapi, bukannya mencari tempat aman, warga justru berharap ada peringatan dini (early warning system) yang diberikan oleh pemerintah jika banjir bakal datang.

"Sistem peringatan dini seperti itu sudah disiapkan," kata Ir Wahyu Hartomo SD dari Dirjen Sumber Daya Air, Depkimpraswil.

Informasi, yang disampaikan lewat alat telemetry itu, didasarkan pos-pos pengamat yang ada di sungai-sungai besar, salah satunya Ciliwung. "Dari alat itu, kita bisa tahu ketinggian air di pos Katulampah (Bogor), Depok, Manggarai, Pesanggrahan," ujar Wahyu yang juga Kepala Proyek Induk Pengembangan Wilayah Sungai Ciliwung Cisedane (PIPWSCC). Informasi bisa diberikan enam jam sebelum bencana banjir datang. Saat menjelang Jakarta dinyatakan Siaga I, peringatan juga sudah diberikan. "Saya sampai deg-degan," kata Wahyu.

Tim SAR yang datang ke lokasi bahkan sampai harus melongok ke kolong-kolong jembatan, khawatir ada warga yang tertinggal. "Cepat Pak, cepat, ini air udah mau naik," kenang Wahyu sembari tertawa.

Tetapi, bagi Wahyu sendiri, banjir tetap jadi ancaman sepanjang bantaran sungai diokupasi warga. PEMBARUAN/ELLY BURHAINI FAISAL

Post Date : 28 Januari 2005