Meruwat Mata Air Kehidupan

Sumber:Kompas - 20 Desember 2009
Kategori:Air Minum

Hutan Bambu di kaki Gunung Semeru itu layaknya rahim kehidupan bagi warga Desa Sumbermujur, Kecamatan Candipuro, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur. Di tengah areal pohon bambu seluas 13 hektar tersebut, sebuah mata air tak henti-hentinya ”melahirkan” sumber kehidupan bagi warga, air yang mahabening.

Setiap 1 Suro (1 Muharam) warga Desa Sumbermujur menggelar Maheso Suroan, sebuah ruwatan mata air dengan simbol mengubur kepala kerbau di tanah sekitar mata air. Ini merupakan tradisi turun-temurun warga desa.

”Kerbau adalah hewan yang kencingnya banyak. Dengan mengubur kepala kerbau di sekitar mata air, kami berharap mata air ini selalu mengalirkan air bening yang melimpah ruah seperti kencing kerbau,” kata Herry Gunawan, Ketua Kelompok Pelestari Sumber Daya Alam (KPSA) Kalijambe, menjelaskan.

Tahun ini, 1 Suro jatuh pada tanggal 18 Desember. Namun, karena bertepatan dengan hari Jumat, warga mengajukan pelaksanaan ruwatan menjadi Kamis lalu.

Acara didahului dengan prosesi di Balai Desa Sumbermujur. Lima gunungan dan lima pikulan berisi hasil bumi, dihimpun di halaman balai desa. Kesenian kuda lumping dan reog ponorogo didatangkan untuk menyemarakkan acara.

Sebuah kepala sapi diletakkan di atas pikulan bambu menjadi sarana utama upacara. Kepala sapi menjadi alternatif saat ini karena kepala kerbau sulit didapatkan.

Setelah reog ponorogo menuntaskan tugasnya, warga desa beriringan mengusung pikulan-pikulan tersebut. Dari balai desa mereka berjalan menuju hutan bambu yang jaraknya sekitar dua kilometer.

Di lokasi sekitar mata air, sebagian warga desa lainnya telah berkumpul. Mereka membawa barikan yang diletakkan rapi di sekitar mata air. Barikan adalah makanan; biasanya berupa nasi dan telur ayam goreng yang akan dijadikan santapan makanan bersama setelah upacara selesai.

Setiba di hutan bambu, pikulan hasil bumi dan kepala sapi langsung diletakkan di dekat mata air. Sementara itu, seorang dukun desa membakar seikat sabut kelapa dan merapalkan mantra.

Ratusan warga, mulai dari anak-anak sekolah dasar, remaja, hingga orang tua, antusias mengikuti upacara tersebut. Begitu sang dukun selesai dengan mantranya, warga langsung berebut mengambil hasil bumi dari pikulan.

Ada yang mendapat tomat, kubis, rambutan, dan ada juga yang hanya mendapat kacang panjang. Sementara itu, kepala sapi dikubur ke dalam tanah setelah dibalut kain mori.

”Tradisi ini akan terus kami lestarikan. Ini adalah cara nenek moyang kami menghormati alam yang telah memberikan air untuk kehidupan warga desa,” kata Herry.

Mendukung hidup

Bagi warga Desa Sumbermujur, hutan bambu dan mata air tersebut merupakan kesatuan yang mendukung hidup mereka. Saat ini mata air tersebut dimanfaatkan untuk air minum oleh minimal warga Desa Sumbermujur yang jumlahnya 2.159 keluarga atau 6.761 jiwa.

Mata air dari hutan bambu juga mengaliri 891 hektar sawah di empat desa di Kecamatan Candipuro sepanjang tahun. Pada musim kemarau mata air itu juga mengairi 552 hektar sawah di Desa Pandanwangi, Kecamatan Tempeh, seminggu sekali selama 24 jam.

Dengan demikian, warga di lima desa dan sekitarnya, di sana, bisa panen padi tiga kali setiap tahun. Berkat alam ini sungguh disadari mereka.

Pengalaman hidup susah pada dekade 60-an hingga 70-an menjadi pelajaran berharga bagi mereka. Saat itu, ketika ekonomi Indonesia terpuruk, petani pun ikut terpuruk. Warga Desa Sumbermujur mengalami masa makan bulgur akibat krisis pangan se-Indonesia.

Produktivitas pertanian mereka kecil. Ini disebabkan pola tanam dan varietas padinya buruk. Kondisi diperparah dengan rusaknya hutan bambu akibat penebangan bambu yang dilakukan warga secara besar-besaran. Hal ini berujung pada surutnya debit mata air sehingga tak cukup untuk mengairi semua areal sawah di desa Sumbermujur saja.

Berangkat dari permasalahan itulah, sejumlah warga desa sadar akan pentingnya kelestarian hutan bambu berikut mata airnya. Hutan yang rusak, perlahan tetapi pasti, berhasil dihijaukan kembali. Debit air berangsur-angur pulih. Seiring dengan itu, intensifikasi pertanian dilakukan.

Tahun 2005, melalui bantuan dana dari Pemerintah Provinsi Jawa Timur dan Pemerintah Kabupaten Lumajang sebesar Rp 375 juta, warga memperluas areal hutan bambu dari 8 hektar menjadi 13 hektar. Hutan ini merupakan hutan desa. Kini debit mata airnya 600 liter sampai 800 liter per detik.

Inilah ruwatan. Inilah bentuk bersatunya manusia dengan alam. Maka, Maheso Suroan di Desa Sumbermujur tidak sebatas jejak kearifan lokal warisan nenek moyang yang berhenti pada seremoni budaya.

Kesadaran warga untuk terus melestarikan dan mengembangkan hutan bambu dan mata airnya adalah tumbuhnya ruwatan tradisi dalam makna ataupun tindakan. Dan inilah jawaban alam, debit mata air dari hutan bambu tidak pernah surut meskipun kemarau sekalipun. (Laksana Agung Saputra)



Post Date : 20 Desember 2009