Mestinya Bermuara pada Kesejahteraan

Sumber:Kompas - 01 Desember 2007
Kategori:Climate
Produksi pertanian menunjukkan kecenderungan menurun terus. Jika dilihat dari data pertanian tahun 1981-1990, tampak kehilangan produksi rata-rata padi akibat iklim ekstrem sekitar 100.000 ton per tahun per kabupaten. Periode tahun 1991-2000, kegagalan meningkat tiga kali lipat! Namun, selain iklim, pengurangan luasan tanam ditunjuk sebagai biang keladinya.

encari "kambing hitam" kegagalan tentu bukan jawaban mudah. Yang tak termungkiri saat ini, pola musim sudah tak bersahabat bagi petani dan prakirawan; awal musim hujan kadang maju, kadang mundur. Sebagian besar ilmuwan di dunia menegaskan bahwa itu terjadi karena perubahan iklim akibat pemanasan global.

Barangkali Anda masih ingat, kekeringan panjang tahun 1997 lalu yang disebabkan fenomena El Nino. Atau sebaliknya, La Nina yang menyebabkan musim hujan melebihi batas normal. Keduanya, seperti diungkapkan panelis, mendatangkan musibah bagi petani. Itu berarti mengancam ketersediaan pangan. Seorang panelis mencatat, fenomena banjir dan kekeringan frekuensinya meningkat dengan sangat kentara selepas tahun 1990-an. Hal yang jarang terjadi pada era sebelum medio 1970-an.

Terkait iklim ekstrem yang menghantam pertanian, seorang panelis menyebutkan, rentetan kegagalan itu menguatkan terjadinya penurunan kemampuan beradaptasi dalam sektor pertanian. Adaptasi di sektor pertanian antara lain melakukan pengelolaan tanaman.

Departemen Pertanian, seperti kata seorang panelis, sudah menerapkan beberapa kebijakan, seperti sistem kalender dan pola tanam yang dinamis. Juga ada penelitian dan penggunaan varietas tahan genangan, untuk lahan lebih kering, varietas padi berumur pendekyang tidak terlalu rakus air dan sistem semai keringmenyiasati kekurangan air yang sudah bertahun-tahun melanda dunia pertanian Indonesia. Semua upaya ini bertujuan meminimalkan risiko guncangan iklim.

Di tengah ketidakseimbangan antara suplai dan permintaan air di mana irigasi pertanian masih harus berbagi dengan kebutuhan rumah tangga dan industri. Model yang dipromosikan adalah pemanfaatan air secara efisien dan panen air, yaitu menampung air hujan dengan sumur resapan atau membangun bak-bak di halaman rumah.

Menurut data dari UNESCO, untuk menghasilkan satu kilogram beras dibutuhkan 230 liter air, sedangkan jagung setara dengan 900 liter. Itu satu musim tanam. Berapa kebutuhan air rumah tangga per harinya? "Kalau soal air tak diatur, potensi konflik tentu membesar dan parah karena semua sektor butuh air, termasuk untuk energi listrik," kata seorang panelis. Ada yang mengatakan, "Seperti jenis genjah, diyakini mengurangi kebutuhan irigasi pertanian. Pada saat bersamaan, varietas padi tahan genangan pun harus dikembangkan. Pasalnya, anomali iklim sering kali menyebabkan lahan sawah tergenang lama dan menyebabkan pembusukan tanaman."

Ketika adaptasi diperkenalkan sebagai salah satu cara untuk mengatasi dampak, salah satu desakan yang muncul adalah jangan lupakan faktor manusia. Tinggalkan pemahaman adaptasi sebagai langkah fisik yang didorong sejumlah dana dari komunitas internasional, khususnya negara- negara maju pengemisi gas rumah kaca.

Panelis lainnya menuturkan, sejarah pertanian selama ini cukup membuktikan petani tak lebih sebagai sekadar obyek. Sarana irigasi yang ditelantarkan kian menguatkan hal itu bahwa negara tak pernah mengurus petani dan pertanian secara serius. Karena itu, ia menegaskan agar rencana adaptasi yang digembar-gemborkan tidak menambah panjang sejarah petani yang terus menderita. Kuncinya, pembaruan model penanganan petani. Biarkan petani belajar dengan kondisinya yang dibacanya sendiri, dengan sasaran yang dibuatnya sendiri. Itulah proses belajar masyarakat yang harus didukung pemerintah.

Riuhnya pembahasan tentang adaptasi di bidang pertanian pun sebaiknya menjadi momentum pelibatan petani. Yang terjadi sekarang, para perancang pembangunan, termasuk di dalamnya organisasi nonpemerintah, sibuk membahas program bagi para petani. Sejumlah rencana dibentangkan untuk menarik dana-dana dari banyak negara.

"Model adaptasi harus benar- benar tepat. Kalau tidak, berani- beraninya kita ini yang setiap hari sudah mengisap petani masih juga berani ngomong cari duit untuk adaptasi. Jadi, sebenarnya yang moralnya tidak beres ya kita ini," kata seorang panelis.

Model tepat itu salah satu ukurannya adalah keselamatan manusia dan keamanan sosial. Kesejahteraan atau kualitas hidup petani harus bisa ditingkatkan melalui program adaptasi mengatasnamakan pertanian itu.

Selama ini, dengan meningkatkan produktivitasnya secara gila- gilaan sekalipun, nyatanya kesejahteraan petani masih jauh. Untuk mengubahnya, komitmen bersama menjadi keharusan, termasuk dari para perancang program adaptasi pertanian.

Tanpa komitmen dan semangat menyejahterakan petani, lupakan saja semua langkah adaptasi. Oleh GESIT ARIYANTO



Post Date : 01 Desember 2007