Mimpi, Berharap Air Bersih Siap Minum

Sumber:Kompas - 12 Mei 2008
Kategori:Air Minum

Swastanisasi pengelolaan air minum di Jakarta belum kunjung berhasil meningkatkan pelayanan dan kualitas air bagi warga secara berarti. Jangankan mencapai mutu yang memungkinkan air keran dapat diminum langsung, untuk menjadikannya sebagai air minum yang dimasak pun sebagian pelanggan hingga kini ”tidak berani”.

Dalam mengelola air bersih untuk warga Ibu Kota, tahun ini genap satu dekade Perusahaan Daerah Air Minum Jakarta Raya (PAM Jaya) bermitra dengan dua perusahaan besar yang ahli dalam pengelolaan air: Lyonnaise des Eaux dari Perancis dan Thames Water Overseas Ltd dari Inggris. Kemitraan ini menyandang dua nama, PAM Lyonnaise Jaya (Palyja), yang bertanggung jawab atas penyediaan serta layanan air bersih di belahan barat Jakarta, dan Thames PAM Jaya (TPJ), yang mengurus air bersih di belahan timur Jakarta. Awal April lalu TPJ berganti nama menjadi PT Aetra.

Palyja dan PT Aetra menjadi tumpuan dalam pemenuhan kebutuhan penduduk Jakarta akan air bersih. Kedua perusahaan ini tentu saja bergantung pada sumber air baku. Air baku bagi Palyja, 64 persen berasal dari Waduk Jatiluhur. Sisanya diambil dari air Kali Krukut dan Sungai Cisadane. Sedangkan air baku untuk Aetra hampir seluruhnya disuplai dari Waduk Jatiluhur.

Meski sudah bekerja sejak 1998, kedua perusahaan ini hingga sekarang masih belum lepas dari ”kesulitan dasar”, yakni kebocoran air. Kebocoran air itu, menurut Komisi B DPRD DKI Jakarta, bahkan meningkat, dan target investasi belum terpenuhi.

Dengan demikian, kinerja kedua operator swasta ini dinilai belum memuaskan (Kompas, 5/4/2008). Idealnya, kebocoran air itu sekitar 30 persen. Kini angka kebocoran air di DKI Jakarta masih 50,68 persen.

Swastanisasi pengelolaan air minum di DKI Jakarta—dimulai pada 1994—dilakukan atas rekomendasi Bank Dunia. Tujuannya, untuk meringankan beban utang pemerintah.

Akan tetapi, selain masalah kebocoran air, ada masalah lain lagi yang mendorong ke arah swastanisasi tersebut. Masalah itu adalah cakupan layanan yang masih rendah dan kualitas air yang masih belum layak minum. Hal itulah yang menjadi pertimbangan untuk dilakukan swastanisasi tersebut.

Pada 1994 itu swasta yang mendapatkan hak pengelolaan adalah PT Kekarpola Airindo (yang menggandeng Thames Water Overseas Ltd) dan PT Garuda Dipta Semesta (yang menggandeng Lyonnaise des Eaux).

Pada Mei 1998 Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menghentikan kerja sama dengan PT Kekarpola Airindo dan PT Garuda Dipta Semesta. Namun, pihak DKI Jakarta tetap mempertahankan Thames Water Overseas Ltd, serta Lyonnaise des Eaux.

Tiga tahun setelah penandatanganan kerja sama (2001) muncul advertorial di media massa yang menyatakan, target pengelola air bersih Jakarta adalah menyediakan air siap minum (langsung dari keran) pada 2007. Kini, 2008, janji iklan itu belum terpenuhi. Meminum air bersih langsung dari keran, seperti yang jamak di kota-kota besar negeri lain—Singapura misalnya—masih sekadar mimpi.

Hasil jajak pendapat

Jangankan meminum air langsung dari keran, sebagian warga Jakarta sekarang malah menyatakan tak mau menjadikan air PAM sebagai air minum. Hal itu dinyatakan sebagian besar responden jajak pendapat yang dilakukan Litbang Kompas, yang dilakukan pada 23-24 April 2008. Jajak pendapat ini melibatkan 319 responden. Lebih dari separuh responden, yakni 53 persen, menyatakan tidak berlangganan air PAM.

Di kalangan responden pelanggan PAM, yang mau menggunakan air itu untuk minum hanya 10,7 persen, untuk mandi 16,6 persen, buat memasak sebesar 9,1 persen, dan buat mencuci 4,1 persen.

Meskipun air PAM menjadi andalan air bersih bagi 36,4 persen responden untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, ternyata mereka juga menyedot air tanah dengan jet pump 9,4 persen, sumur pompa 9,1 persen, dan membeli air 7,2 persen.

Pelanggan air PAM di Jakarta Utara—wilayah yang relatif sulit mendapatkan air selain dari air PAM atau dari penjual air—bahkan hanya menggunakan air yang diterimanya untuk mandi. Ada pula responden yang menyatakan bahwa air PAM tidak baik jika dikonsumsi oleh bayi.

Responden yang tinggal di Jakarta Selatan dan tidak mempunyai akses jaringan PAM Jaya malah memilih menggunakan air tanah yang kualitasnya mereka nilai lebih baik dibandingkan dengan air PAM.

Meski ada yang masih enggan menjadikan air PAM sebagai air minum, 33,5 persen responden menganggap bahwa air PAM kini jernih, 26 persen mengatakan air itu tidak berbau, tetapi hanya 31,7 persen yang menyatakan puas dengan mutu air yang kini dia terima.

Air PAM, kata 30,4 persen responden, mengalir setiap saat. Tarif rata-rata air Rp 7.025 per meter kubik oleh 22,3 persen responden dinilai wajar, 14,4 persen menilainya mahal, dan 6,6 persen menganggap itu sangat mahal.

Air dangkal

Standar kebutuhan air per orang adalah 160 liter per hari. Penduduk Jakarta (terdaftar) pada tahun 2006, menurut Badan Pusat Statistik (BPS), adalah 8.061.680 jiwa. Berdasarkan jumlah pelanggan air PAM, kebutuhan air untuk rumah tangga 14.826 liter per detik. Akan tetapi, produksi air untuk Jakarta hanya 13.429 liter per detik. Ada kekurangan.

Oleh karena itu, penduduk Jakarta pelanggan air PAM masih menggunakan air tanah, khususnya air tanah dangkal (0-40 meter), seperti warga yang tidak memiliki akses ke jaringan PAM. Data Dinas Pertambangan DKI (2006) dan Badan Regulator DKI (2007) menunjukkan, tingkat penggunaan air tanah di Jakarta sudah lebih dari 44 persen.

Namun, kualitas air tanah dangkal di Jakarta cenderung terus menurun, terkontaminasi limbah rumah tangga yang tidak dikelola dengan baik. Data dari BPLHD (2007) dan Teknik Lingkungan UI (2007) menunjukkan, hampir 70 persen dari sampel air tanah dangkal yang dianalisis di laboratorium berada dalam kondisi tercemar. Warga Jakarta yang merasa bahwa air PAM masih belum layak dikonsumi juga berhadapan dengan kualitas air tanah yang sudah tercemar.

Air bersih adalah salah satu kebutuhan manusia untuk memenuhi standar kehidupan yang sehat. Untuk Jakarta, pemenuhan standar itu masih terlalu jauh. Andaikan kebocoran yang kini masih 50,68 persen dapat ditekan menjadi 30 persen, air yang terselamatkan itu belum tentu dapat mengalir ke rumah penduduk yang kini belum mendapatkan akses air PAM. Investasi saluran bukanlah hal yang murah.

Di satu sisi pemenuhan kebutuhan akan air bersih bagi warga Jakarta terkendala oleh jangkauan jaringan pipa yang terbatas dan tingkat kebocoran yang tinggi. Sudah begitu, ”kebersihan air bersih” itu sendiri belum kunjung dipercaya oleh konsumennya.

Di sisi lain ada kenyataan kualitas air tanah yang kian buruk akibat pencemaran, dan pemanfaatan air tanah yang sudah berlebihan.

Manfaat swastanisasi pengelolaan air bersih untuk Jakarta yang disarankan Bank Dunia, 18 tahun yang lampau, agaknya hanya sampai pada meringankan beban utang pemerintah. Manfaatnya masih jauh dari pemenuhan standar kehidupan yang sehat bagi warga. (BE Julianery/ Litbang Kompas)



Post Date : 12 Mei 2008