Minum Air Jemuran

Sumber:Majalah Tempo - 23 Juli 2007
Kategori:Air Minum
Cukup dijemur enam jam atau diberi setetes klorin, air siap diminum. Cara murah mendapatkan air bersih. Akhir Juni lalu digelar sebuah konferensi di Jakarta yang membahas solusi alternatif air.

SUDAH setahun Yuli memberikan air minum mentah kepada suami dan keempat anaknya. Maaf, ia tidak bermaksud membuat anggota keluarganya jatuh sakit. Warga Kampung Tanah Merah, Kramat Tunggak, di Jakarta Utara ini punya cara lain agar air aman diminum meski tidak dimasak. Saya pakai Sodis, ujar dia.

Inilah menjerang air ala Sodis: masukkan air mentah ke dalam botol bekas air kemasan, jemur di atap sepanjang siang, dan sore hari air siap diminum. Semudah itukah?

Memang amat sederhana, tapi uji laboratorium membuktikan Sodis membunuh sebagian besar kuman sehingga air siap minum, kata Arum Wulandari, Koordinator Kesehatan Publik pada Yayasan Emmanuel, Jakarta, yang memperkenalkan Sodis di enam perkampungan miskin di Jakarta. Rupanya, bila air dibiarkan minimal enam jam di bawah sinar ultraviolet matahari dan panas di atas 45 derajat Celsius, sebagian besar kuman di dalamnya mati terebus, di antaranya bakteri tifus, kolera, disentri, hingga Escherichia coli penyebab diare.

Sodis, akronim dari Solar Water Disinfection, adalah metode penyehatan air minum yang dilakukan dengan menjemurnya di bawah matahari. Metode ini dikembangkan pada 1991 oleh Pusat Riset Air dan Sanitasi EAWAG-SANDEC yang berbasis di Swiss. Pelopornya Profesor Aftim Acra, pengajar di American University, Beirut, Libanon.

Sepuluh tahun lalu, metode ini diperkenalkan di Indonesia oleh Yayasan Dian Desa, lembaga swadaya masyarakat yang berbasis di Yogyakarta. Mereka menguji coba metode ini di Lombok Timur dan Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur. Hasilnya menakjubkan: kematian bayi karena diare di kedua tempat itu menurun hingga 50 persen dalam waktu 12 bulan.

Diare bukan cuma penyakit penduduk Nusa Tenggara. Penyakit akibat minum air kotor ini setiap tahun membunuh 100 ribu orang di seluruh Indonesia. Penyakit yang diantarkan oleh air minum kotor bukan cuma diare. Ada tifus, kolera, hingga polio yang tak kalah mematikan. Jadi, ujar Arum, Sodis siap menjadi arsenal untuk memerangi penyakit-penyakit mematikan yang dijangkitkan melalui air minum yang tidak sehat di Indonesia.

Sodis juga klop dengan Indonesia yang berada di garis khatulistiwa dan berlimpah cahaya matahari. Metode ini kian penting saja karena, menurut Menteri Kesehatan Siti Fadillah Supari pada Februari lalu, sekitar 40 persen orang Indonesia belum mendapatkan akses pada air bersih.

Di Tanah Merah, Sodis tidak hanya dimanfaatkan oleh Yuli. Kalsem dan empat tetangga Yuli lainnya ikut memasak air dengan metode ini. Sejauh ini cara itu terbukti aman. Kami jarang sekali sakit perut, ujar Yuli yang dibenarkan oleh para tetangganya.

Kepada Tempo Yuli kemudian mempraktekkan cara membuat air minum praktis itu. Ia mengambil botol bekas air minum yang diperoleh dari tetangganya yang menjadi pemulung dan mencucinya dengan sabun. Ia memilih botol yang transparan, agar sinar matahari masuk ke dalam botol dengan sempurna.

Awalnya, Yuli akan memakai air sumur rumahnya, tapi Arum yang mengantar Tempo mencegah dia. Air sumurnya berwarna keruh dan sangat dekat dengan jamban. Air keruh menurunkan daya bunuh ultraviolet, kata Arum.

Akhirnya, Yuli menimba air dari sumur tetangga di depan rumahnya. Ia mengisi botol itu hingga tiga perempat penuh dan mengocoknya. Menurut Arum, bagian atas botol sengaja dikosongkan agar terisi udara yang mengandung molekul-molekul oksigen. Pengocokan dilakukan agar oksigen larut dalam air, sehingga air terasa segar saat diminum.

Dengan berjinjit, Yuli menjemur botol-botol itu di atap rumah tetangganya. Botol dijemur dengan posisi rebah agar sinar matahari bisa memanaskannya secara maksimal. Menurut Arum, lebih baik lagi jika botol-botol itu dijemur di atas lembaran seng sehingga suhunya benar-benar tinggi. Volume botol yang dipakai memasak air juga tidak boleh lebih dari dua liter, agar sinar ultraviolet matahari menembus air dengan sempurna.

Selanjutnya, Yuli tinggal menunggu air itu dipanen enam jam kemudian. Rasanya segar, seperti air mineral, kata Kalsem yang mendampingi Yuli. Yang membuat Kalsem makin senang, air itu membuatnya bisa menghemat minyak tanah.

Menurut perhitungan Kalsem dan Yuli, dengan Sodis mereka bisa menghemat dua liter minyak tanah seharga Rp 7.000 per empat hari. Penghematan ini tergolong besar untuk Kalsem, yang suaminya bekerja serabutan, atau Yuli yang hidup dari menjual jajanan kecil dengan penghasilan beberapa ribu rupiah sehari.

Toh, teknologi sederhana ini tak gampang diterima warga. Menurut Arum, hambatan paling besar untuk memasyarakatkan Sodis adalah kesangsian warga pada keandalan metode ini. Mereka masih sangsi, masak, tanpa dimasak air bisa bersih, ujar Arum.

Di Jawa Tengah, pengenalan metode ini juga sempat terganjal: Mereka suka minum teh manis. Padahal, teh perlu air panas yang tentu saja tidak dapat diberikan Sodis, kata Arum.

Sodis bukan tanpa kekurangan. Metode ini tidak membunuh semua kuman. Jadi, bayi di bawah umur dua tahun tak dapat meminumnya. Untuk mereka, Arum menyarankan air dimurnikan dengan metode klorinasi seperti yang diberikan yayasannya kepada orang-orang Pulo Kambang di Jakarta Utara.

Metode klorinasi jauh lebih sederhana dan cepat dibanding Sodis. Yang perlu dilakukan hanya meneteskan larutan sodium hipoklorit (NaOCl) ke dalam air.

Lebih dikenal sebagai klorok, sodium hipoklorit telah lama diketahui sebagai disinfektan yang mampu membunuh semua kuman. Pengujian laboratorium Departemen Kesehatan pada 2006 menunjukkan, dalam satu jam larutan klorin membunuh bakteri penyebab diare, Escherichia coli, virus polio, serta setidaknya 15 jenis kuman dalam air minum. Tak mengherankan bila larutan ini menjadi disinfektan primadona di perusahaan-perusahaan air minum. Dalam bidang medis, biasanya senyawa ini dipakai untuk melawan virus hepatitis B.

Sejak beberapa bulan lalu, di Indonesia klorok dijual dengan merek Air Rahmatakronim dari Air Murah, Mudah, dan Sehat, yang merupakan nama dagang sodium hipoklorit. Pemilik patennya adalah Center for Disease Control (CDC) Amerika Serikat. Untuk peredaran di Indonesia, CDC memberikan lisensinya kepada Aman Tirta, sebuah program air bersih yang didanai oleh USAID, lembaga donor dari Amerika Serikat.

Setelah ditetesi Air Rahmat, air minum diaduk selama 30 detik dan didiamkan selama 30 menit. Penantian ini tidak lebih panjang dibandingkan menanti mendidihnya air seteko dan menunggunya sampai cukup hangat untuk ditenggak.

Menurut Deputi Direktur Aman Tirta Rieneke Rolos, dosis klorin yang dianjurkan dalam kemasan Air Rahmat merupakan hasil penelitian CDC dan Care International terhadap beberapa contoh sumber air di Indonesia. Jadi, konsentrasinya sudah pas untuk air di sini, katanya. Sejak diluncurkan pada Februari lalu di Jakarta, produk itu sudah terjual 1,2 juta botol. Sebagian di antaranya dibeli USAID untuk disebarkan di beberapa daerah.

Berbeda dengan Sodis, klorinasi perlu modal. Meski begitu, uang yang diperlukan tidak banyak. Untuk larutan dalam kemasan botol 100 mililiter yang bisa dipakai mensterilkan 660 liter air cuma perlu Rp 5.000. Ini berarti, sebuah keluarga yang terdiri dari empat orang dapat menikmati air sehat dan murah setidaknya selama satu bulan dengan harga sebungkus sarapan pagi.

Barangkali cuma satu kekurangan klorinasi. Seperti Sodis, airnya tidak bisa dipakai untuk minum teh.IGG Maha Adi



Post Date : 23 Juli 2007