Muara Bengawan Solo Pun Menangis...

Sumber:Kompas - 07 Juli 2007
Kategori:Air Minum
Menyusuri muara Bengawan Solo di Ujung Pangkah, Gresik, Jawa Timur, adalah menyusuri keprihatinan. Rerimbunan bakau tumbuh jarang. Puluhan hingga ratusan hektar tambak udang dan bandeng, yang mengonversi hutan bakau, menunggu waktu ditelan gelombang Selat Madura.

ilayah yang dulu pernah menjadi suaka burung itu pun kini sepi dari kicauan.

Ujung Pangkah dulu kaya ikan dan hasil laut. Perlahan, tetapi pasti, degradasi mengubahnya menjadi miskin. Nelayan mengeluhkan minimnya tangkapan. Tidak hanya jumlah, kualitas pun menurun.

Era kejayaan tambak udang windu merupakan kisah lalu. Sejak lima tahun terakhir, cerita berganti dengan datangnya penyakit bintik putih yang mengurangi produktivitas tambak. Tak pelak, sebagian besar petambak beralih membudidayakan bandeng yang lebih tahan dari penyakit.

Lima tahun berselang, penyakit bintik putih tetap misteri yang belum terpecahkan. Pada saat yang sama, keberlangsungan jasa lingkungan penyangga kehidupan terus merosot. Padahal, Ujung Pangkah telanjur dikenal sebagai penghasil komoditas laut pemasok pasar Jawa Timur.

Data Dinas Kehutanan dan Perikanan Kabupaten Gresik tahun 2002 menyebutkan, seluas 250 hektar kawasan pesisir mengalami abrasi. Menurut staf Yayasan Bina Alam Indonesia yang meneliti pesisir Ujung Pangkah, Edi Purwanto, apabila tegakan bakau di Ujung Pangkah dikumpulkan di satu tempat, luasnya hanya sekitar lima hektar saja.

Fakta vegetasi hutan bakau saat ini berbanding terbalik dengan fungsinya yang luar biasa. Hutan bakau merupakan penyokong utama kehidupan dan perkembangbiakan biota laut. Lingkungan sekitar hutan bakau kaya nutrisi dari serasah daun yang terdekomposisi oleh pasang surut air laut dan panas terik matahari.

Ekosistem bakau yang menjadi tempat pemijahan berbagai jenis ikan dan biota laut, seperti kepiting dan udang, juga menjadi tempat tinggal ideal berbagai jenis burung. Itulah salah satu penjelasan kenapa kerusakan hutan bakau berimbas besar pada kehidupan makhluk lain.

Direktur Lembaga Kajian dan Konservasi Lahan Basah Prigi Arisandi menambahkan, saat ini beberapa jenis burung sudah tidak dijumpai di Ujung Pangkah. Beberapa jenis unggas yang kini telah punah dari habitat tersebut, antara lain, adalah jenis ibis sendok raja (Platalea regia), ibis cucuk besi (Threskiornis melanocephalus), dan bangau bluwok (Mycteria cinerea).

Sebagai catatan, ekosistem bakau Ujung Pangkah menjadi langganan persinggahan rombongan burung migran setiap tahunnya. Total populasi burung mencapai 76 jenis, dengan 26 jenis di antaranya burung migran.

Selain fungsi ekologinya sebagai habitat burung, sabuk hijau bakau pun potensial mencegah abrasi dan gelombang pasang laut yang tinggi. Akar-akar bakau mampu mencegah intrusi air laut ke arah daratan yang berpotensi mengganggu suplai air bersih, seperti yang kini dialami penduduk Ujung Pangkah.

Bahkan, bakau mampu mengurangi percepatan pemanasan global akibat efek gas rumah kaca (GRK) dengan menyerap unsur polusi karbon dioksida (CO>sub<2>res<>res<). Para ahli menengarai CO>sub<2>res<>res< sebagai salah satu unsur utama pembentuk GRK di atmosfer.

GRK merupakan penyebab terjadinya pemanasan global dan perubahan iklim, yang salah satunya meningkatkan suhu bumi. Dampak ikutannya, permukaan air laut naik setiap tahun akibat pencairan bongkahan es di Kutub.

Penghutanan kawasan pesisir dengan penanaman bakau pun direkomendasikan dunia internasional sebagai salah satu bentuk adaptasi atas perubahan iklim. Langkah itu penting karena perubahan iklim dan pemanasan global menyebabkan gejala cuaca ekstrem, seperti meningkatnya badai dan gelombang pasang.

Kenyataannya, rerimbunan bakau jarang ditemukan di sekitar tambak. Sejauh ini, tren di kawasan pesisir Ujung Pangkah adalah berkurangnya vegetasi bakau. Tak heran, setiap tahun gelombang Selat Madura menelan tambak warga yang terus mengarah ke darat tanpa penahan gelombang.

Menurut nelayan asli Ujung Pangkah, Muh Haris (40), di wilayah itu dulu pernah terdapat semacam suaka burung. Ikan dan hasil laut berlimpah ruah. Digambarkannya, menangkap ikan cukup dengan sapuan ikatan lidi di air.

Namun, bencana itu perlahan tiba. Setelah hutan bakau rusak, surga burung tinggal kenangan. Hasil laut yang diperoleh pun merosot drastis.

Pohon-pohon bakau pun banyak ditebang para petambak dan dijual sebagai kayu bakar. Kondisi itu dipicu ledakan (booming) usaha udang windu yang harga per kilogramnya mencapai ratusan ribu rupiah. Keuntungan yang menggiurkan, hingga mengabaikan keberlanjutan sosial dan ekonomis dari ekosistem bakau.

Pukat-pukat harimau (trawl) pun terus digunakan hingga merusak bakau dan terumbu karang. Ikan-ikan kecil terus terjaring dan otomatis benih ikan pun terkurangi. Seakan itu semua belum cukup. Penggunaan garit untuk menyerok berbagai jenis kerang di dasar pesisir menghancurkan bakau-bakau kecil (telanakan) yang beranjak tumbuh.

Kerusakan tersebut patut disayangkan. Kawasan Ujung Pangkah pada tahun 1998 telah ditetapkan Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) sebagai salah satu dari 11 wilayah lahan basah terpenting di utara Jawa.

"Pemerintah daerah masih kurang mengantisipasi kerusakan yang terjadi. Pemantauan dan pencatatan jenis-jenis makhluk hidup yang hidup dan berkembang biak di Ujung Pangkah juga sangat kurang. Akibatnya, punahnya makhluk hidup di Ujung Pangkah tak terpantau," ujar Prigi.

Edi Purwanto berharap ada sistem informasi yang diciptakan pemerintah dan masyarakat untuk penanganan hutan bakau. Dengan demikian, makna penting hutan bakau untuk perolehan hasil laut dan kelestarian dapat dipahami.

Upaya tersebut dinilai tidak terlalu berat. Hanya soal semangat dan niat karena tidak semua nelayan tidak memahami makna penting hutan bakau. Nelayan asli Ujung Pangkah, misalnya, mengetahui ekosistem bakau adalah tempat pemijahan berbagai jenis ikan, udang, dan kepiting.

Pemahaman tersebut menggiring mereka membuat kesepakatan melarang penggunaan pukat harimau sejak tahun 1997. Mereka gundah dengan polah tingkah nelayan luar Ujung Pangkah, yang mereka sebut nelayan asal daerah Weru, Lamongan, yang menggunakan pukat harimau.

Sayangnya, kesepakatan tersebut tak lama kemudian dilanggar. Akibatnya, hingga kini kerap terjadi bentrokan antara nelayan Ujung Pangkah dan nelayan lain yang menentang penggunaan pukat harimau dengan nelayan-nelayan asal Weru.

Jumlah nelayan asal Weru diperkirakan mencapai ribuan orang. Menurut penuturan warga, bentrok antarnelayan terakhir terjadi awal bulan Juni 2007. Lagi-lagi soal pelanggaran kesepakatan.

Para nelayan Ujung Pangkah atau nelayan lain yang sejalan dengan sikap mereka, ketika ditemui, menyatakan tak tahu sampai kapan potensi bentrokan mereda. Yang umum terjadi, selama jaring atau alat tangkap mereka tak terganggu pukat harimau, bentrokan kemungkinan kecil terjadi.

Sedari dulu hingga kini, muara Bengawan Solo di Ujung Pangkah merupakan gantungan hidup banyak nelayan. Akan tetapi, pada saat yang bersamaan, kondisinya terus terdegradasi tanpa adanya upaya terobosan untuk memperbaiki.

Apabila tetap seperti sekarang, tanpa tindakan apa pun dari pemerintah, kehancuran adalah keseharian hingga segalanya akan terlambat.Nina Susilo dan Gesit Ariyanto



Post Date : 07 Juli 2007