Nasib Banjir Kanal Timur Tergantung Pengorbanan Warga

Sumber:Republika - 02 Agustus 2004
Kategori:Drainase
PADA era rezim Soekarno, ada sejumlah proyek yang sempat disebut-sebut sebagai "mercusuar". Padahal secara tidak langsung ia telah menyiapkan Jakarta menjadi salah satu ibu kota negara besar dunia dengan berbagai cirinya. Itu sebabnya, seiring dengan kentalnya rasa memiliki dari masyarakat atas apa yang akan dibangun, ditambah eforia kemerdekaan, dan rasa hormat pada kemampuan Soekarno, sejumlah proyek pada era itu memperoleh dukungan dari masyarakat.

BERBEDA kondisinya ketika bangsa ini sudah merdeka hampir 60 tahun serta memiliki utang banyak kepada negara lain, justru kesadarannya untuk mendukung pembangunan sarana dan prasarana bagi kepentingan bersama pun sulitnya minta ampun.

Lihat saja pembangunan Jakarta Outer Ring Road (JORR) atau Jalan Tol Lingkar Luar Jakarta yang pembangunannya tersendat karena segelintir orang yang enggan dibebaskan lahannya.

Padahal bisa dikatakan tidak ada alasan lagi untuk menolak pembebasan. Sebab harganya ganti rugi yang diberikan pemerintah yang akan membangunkan sarana dan prasarana bagi warganya yang harus tergusur itu jauh lebih tinggi dari harga yang tertera dalam NJOP (nilai jual obyek pajak). Bahkan di atas harga jual lahan bersangkutan.

Entah apa sebenarnya yang membuat sejumlah warga yang lahannya kebetulan harus terbebaskan tetapi mereka enggan untuk dibebaskan. Apakah karena terlalu pandai atau karena mereka telah menjadi korban calo yang beroperasi jauh lebih cepat dari pemerintah.

Bukan JORR saja sebenarnya yang menjadi proyek yang penting untuk warga. Sejak awal tahun 2004 lalu pemerintah melalui Pemerintah Provinsi DKI Jakarta maupun Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah khusus Direktorat Jenderal Sumber Daya Air, pada Proyek Induk Pengembangan Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane, telah memulai pembangunan proyek Banjir Kanal Timur yang lebih dikenal dengan sebutan BKT.

Proyek yang rencananya akan menghabiskan dana triliunan rupiah ini bukan proyek mercu- suar. Proyek yang memang sudah direncanakan Kerajaan Belanda ketika masih menguasai Indonesia itu bertujuan menghindari atau memperkecil dampak banjir bagi warga DKI Jakarta.

Hanya memang sebelum Pemerintah Kerajaan Belanda meninggalkan Jawa, mereka sempat meninggalkan kanal- kanal yang kini masih bisa dinikmati manfaatnya. Sekalipun Jakarta tetap saja tergenang banjir lima tahunan atau bahkan yang seratus tahunan.

Karena belum dikerjakan Kerajaan Belanda serta setelah telantar selama 30 tahun rencana tersebut, maka pemerintah berkomitmen untuk menyelesaikan proyek BKT pada tahun 2007 nanti. Itu pun dengan catatan bila warga yang tanahnya terlewati untuk proyek tersebut memiliki kesadaran untuk melepaskan tanahnya. Tentu dengan ganti rugi yang pantas.

GUNA mengetahui lebih jauh apa dan bagaimana fungsi dari proyek BKT ini, Kompas berkesempatan mewawancarai Pitoyo Subandrio, Pimpinan Proyek BKT, Proyek Induk Pengembangan Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane (PIPWSCC), Dirjen Sumber Daya Air, Departemen Kimpraswil akhir minggu lalu.Pitoyo Subandrio yang juga alumni Universitas Gadjah Mada ini ketika ditemui didampingi Kepala Humas PIPWSCC Mohammad Shoelhi. Dalam menjelaskan berbagai hal yang menyangkut BKT, terkadang Pitoyo memperjelas dengan gambar maupun tabel yang berada di dalam ruang kerjanya.

Melihat kondisi pembebasan lahan yang alot sebenarnya apa yang dilakukan untuk percepatan pembangunan proyek BKT ini?

Sesuai rencana proyek BKT dengan panjang 23,575 kilometer itu akan dibagi dalam empat tahap. Masing-masing mulai tahap pertama pada tahun 2004, kedua tahun 2005, ketiga pada tahun 2006 dan tahap terakhir pada tahun 2007 mendatang.

Untuk menyelesaikan proyek ini pemerintah melalui Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah telah mengalokasikan dana sebesar Rp 1,938 triliun untuk pembangunan konstruksi yang pelaksanaannya akan ditangani oleh kami (Departemen Kimpraswil).

Sebenarnya berapa total dana yang harus dikeluarkan untuk merealisasikan proyek ini.Jumlah seluruh dana yang dibutuhkan itu mencapai Rp 4,124 triliun. Itu sudah termasuk untuk pembangunan fisik tadi. Sedangkan sisanya, sebesar Rp 2,18 triliun untuk pengadaan lahan yang diperkirakan akan mencapai 263 hektar yang melintas mulai dari Kelurahan Cipinang Besar, Cipinang Muara, Pondok Bambu, Duren Sawit, Pondok Kelapa, Malaka Sari, Malaka Jaya, Pondok Kopi, Pulo Gebang, Ujung Menteng, Cakung Timur, Rorotan hingga Marunda.

Untuk tahap pertama ini dana yang dianggarkan sebesar Rp 80 miliar.

Khusus untuk soal penyediaan atau pembebasan lahan akan dikerjakan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Jadi kami tidak tahu proses pembebasan lahan sama sekali. Tetapi ganti rugi yang diberikan pasti di atas NJOP atau harga jual setempat.

Bila proses pembebasannya alot, bagaimana dengan pelaksanaan konstruksinya.

Ya terpaksa pekerjaan konstruksinya juga dilakukan secara gerilya. Artinya bila sudah ada lahan yang dibebaskan, ya langsung kami kerjakan. Seperti di daerah Kebon Nanas, Raden Inten, dan kawasan Ujung Menteng.

Karena sudah digali sesuai dengan rencana konstruksinya di kawasan tersebut kini tampak seperti waduk-waduk setempat. Itu sebabnya nanti bila sudah terhubung semuanya akan terlihat bentuk kanalnya.

Pekerjaan serupa juga sudah selesai dikerjakan untuk di kawasan Marunda. Bahkan, di sana kami berhasil menyudet Kali Blencong yang dikerjakan dengan sangat hati-hati. Sebab kami tidak ingin fungsi muara Kali Blencong yang biasa dibuat pelabuhan perahu nelayan serta ekosistem kali tersebut terganggu.

Dalam waktu dekat Pemerintah DKI Jakarta juga akan membebaskan lahan sekitar delapan hektare di daerah Marunda, itu artinya kami bisa mulai bekerja lagi.

Bagaimana strategisnya BKT ini sehingga pemerintah mau menyediakan dana sampai Rp 4,124 triliun?

Pembangunan BKT ini direncanakan untuk dapat menghindari banjir periode 100 tahunan yang bisa mengakibatkan debit air mencapai 350 meter kubik per detik. Tentu dengan Kali Banjir Kanal Barat yang ada tidak mampu untuk menampung debit yang mencapai 350 meter kubik per detik tadi.

Namun demikian, bukan berarti dengan adanya BKT nanti Jakarta akan terbebas banjir. Hal tersebut akan sangat tergantung pada beberapa hal, termasuk kebiasaan hidup bersih masyarakat Jakarta sendiri. Hanya memang dengan adanya BKT nanti debit air bisa lebih dikendalikan. Di samping itu juga dapat mengurangi daerah rawan genangan di 13 kawasan.

Kita juga harus membedakan banjir dengan genangan. Kalau banjir itu kan debit airnya sungai atau kali yang berlebihan hingga meluap serta mengakibatkan banjir. Kalau genangan karena kawasannya rendah dan salurannya tidak lancar sehingga air tergenang ini yang biasa terjadi bila hujan sesaat di Jakarta yang mana hujannya hanya satu jam tetapi macet yang disebabkan bisa berjam-jam.

Konstruksi apa saja yang akan dibangun pada Kanal Timur ini?

Bila dilihat secara potongan maka ada tiga trace. Pertama, di Kelurahan Cipinang Besar-Cakung Timur dan Kelurahan Rorotan-Marunda sepanjang 22.375 meter yang lebarnya mencapai 100 meter. Trace ini fungsinya untuk pengendalian banjir.

Kedua, di kawasan Cakung Timur yang lebarnya mencapai 300 meter dengan panjang 350 meter. Trace ini berfungsi sebagai sarana rekreasi dan marina.

Trace ketiga yakni di Kelurahan Marunda dari laut ke arah selatan dengan lebar 200 meter serta panjang 850 meter. Trace ini fungsinya sebagai pelabuhan untuk perahu-perahu nelayan.

Bagaimana dengan bendungan, apakah akan dibuat juga?

Kami juga akan membuat tiga bendungan di BKT ini. Pertama setelah aliran Kali Cipinang, Sunter, Buaran, Jati Kramat dan Kali Cakung. Bendungan ini juga mengatur debit air pada waktu hujan dan kemarau. Dengan demikian air yang tertampung juga dapat digelontorkan secara berganti pada masing-masing sungai.

Bendungan yang kedua di kawasan Ujung Menteng, karena memang kawasan kanal sebelumnya akan dijadikan seba- gai daerah wisata. Sedangkan bendungan yang ketiga terle- tak sesudah sudetan Kali Blencong untuk mencegah masuknya air laut. (Korano Nicolash LMS)

Post Date : 02 Agustus 2004