Negara Hutan Tropis Susun Kerja Sama Global

Sumber:Kompas - 14 Desember 2007
Kategori:Climate
Nusa Dua, Kompas Negara-negara pemilik hutan tropis dan beberapa negara maju sepakat mewujudkan kerja sama pengelolaan hutan tropis, termasuk kemungkinan pendanaannya. Sebagai tindak lanjutnya, pertengahan tahun depan akan diselenggarakan konferensi khusus untuk menyusun rancangan besarbeberapa menyebutnya "world map"sebagai wujud kerja sama antarpemilik hutan tropis serta antara pemilik hutan tropis dan negara-negara maju.

Hal itu disampaikan Menteri Luar Negeri RI Hassan Wirajuda seusai pertemuan negara-negara pemilik hutan tropis, antara lain Indonesia, Brasil, Kongo, Gabon, dan Papua Niugini, dengan negara-negara maju seperti Jerman, Jepang, Norwegia, Amerika Serikat, Inggris, Portugal, dan Komisi Eropa.

Pertemuan berlangsung pada Kamis (13/12) pagi di sela-sela Konferensi PBB mengenai Perubahan Iklim di Nusa Dua, Bali.

Pertemuan tersebut sebenarnya merupakan lanjutan dari pertemuan 11 negara pemilik hutan tropis (F-11) di Markas Besar PBB New York, September lalu. Para pemilik hutan itu menilai perhatian terhadap masalah deforestasi dan degradasi hutan pada Konferensi PBB mengenai Perubahan Iklim di Bali masih terlalu kecil.

"Tujuan konferensi adalah untuk menata kerja sama di bidang kehutanan yang sudah ada sehingga semua bisa mulai bekerja tanpa harus menunggu usainya perundingan skema baru penanganan perubahan iklim pasca-2012. Kami akan memetakan bagaimana bentuk kerja sama itu ke depan," papar Hassan.

Lebih lanjut dikatakan, langkah-langkah untuk mengatasi masalah degradasi hutan, deforestasi, dan reforestasi sangat penting untuk meningkatkan penyerapan karbon dioksida.

Kerja sama di bidang kehutanan saat ini sudah banyak dilakukan oleh banyak negara. Indonesia, misalnya, sudah menjalin kerja sama dengan Norwegia, Jepang, juga Australia.

Ditambahkan Hassan, negara-negara maju sangat antusias untuk segera mewujudkan kerja sama ini. "Pemerintah Norwegia bahkan mengatakan akan mengalokasikan 500 juta dollar AS per tahun untuk bidang kehutanan. Indonesia berkepentingan memanfaatkan peluang itu untuk pengelolaan hutan secara berkelanjutan," paparnya.

Menteri Kehutanan MS Kaban menjelaskan, kerja sama yang akan dilakukan itu terbuka dalam berbagai bentuk, misalnya kerja sama riset, alih teknologi, dan peningkatan kapasitas. "Itu semua akan dibicarakan," ujarnya.

Hal lain yang sudah dilakukan Indonesia adalah melarang penggunaan kayu hutan alam untuk bahan baku industri kertas mulai tahun 2009. Karena itu, saat ini banyak industri bubur kertas dan kertas yang memprioritaskan penanaman bahan baku kertas di hutan tanaman industri.

Salah satunya adalah PT Sinarmas Forestry, yang memasok bibit pinus dan akasia ke hutan tanaman industri di kawasan Riau, untuk memenuhi kebutuhan industri bubur kertas dan kertas.

Aktivitas percobaan

Meski masih akan dibicarakan, Indonesia siap memulai kegiatan-kegiatan percobaan, yaitu melalui kerja sama dengan Jerman, Australia, dan Inggris.

"Pada pertemuan tadi, Inggris bahkan mengakui usaha kehutanan Indonesia sudah jauh berubah. Selama ini tingkat degradasi selalu disebutkan 2,8 juta hektar per tahun, padahal sudah menurun menjadi 1,08 juta hektar per tahun. Itu menunjukkan sudah banyak perbaikan yang dilakukan," ungkap Kaban.

Angka tingkat degradasi 2,8 juta hektar per tahun adalah angka dari tahun 1997-2000. Berdasarkan hasil studi Badan Planologi Departemen Kehutanan bekerja sama dengan University of South Dakota, AS, diperolah angka tingkat degradasi 1,08 juta ha per tahun antara 2001-2005.

Menhut menambahkan, Jepang tahun ini mengonkretkan kerja sama dengan Indonesia melalui proyek mekanisme pembangunan bersih (CDM) di wilayah Yogyakarta, Bromo, dan Tengger seluas total 1.200 hektar.

Kegiatan percobaan juga sudah disepakati dengan Australia, beberapa waktu lalu, untuk proyek rehabilitasi lahan gambut di Kalimantan Tengah dengan nilai 30 juta dollar Australia.

Menlu menegaskan, pada pertemuan dengan negara-negara maju itu, kelompok pemilik hutan tropis memang meminta pengakuan yang lebih besar mengenai peran hutan tropis sebagai paru-paru dunia.

"Karenanya harus ada insentif pendanaan, teknologi, dan sebagainya dengan nilai yang lebih besar," ujar Hassan.

Mengenai kesepakatan yang telah dicapai mengenai pengelolaan Dana Adaptasi, Menlu menjelaskan, negara-negara sedang berkembang juga terus menjajaki komitmen negara-negara maju untuk menambah kontribusi mereka.

"Kalau hanya mengandalkan dua persen dari levy CDM, tidak cukup," ungkapnya (Rakaryan Sukarjaputra)



Post Date : 14 Desember 2007