Negara Kaya, Miskin Air

Sumber:Majalah Gatra - 15 - 21 Maret 2007
Kategori:Air Minum
Amerika Serikat dilanda krisis air. Dampak kekeringan, tata kelola air, dan pemanasan global. Tidak bisa ditanggulangi dengan konservasi tradisional.

Kebiasaan orang Amerika yang paling banyak sekali mandi sehari tak serta-merta membantu menyelesaikan persoalan krisis air di negerinya. Sejumlah kawasan di ''negeri Paman Sam'' itu kini mengalami defisit air yang serius. Situasi ini diperburuk oleh dampak pemanasan global yang mengusik sistem tata airnya. Laju penguapan air, secara langsung maupun lewat evapotranspirasi tumbuhan, cenderung meningkat. Salju mencair lebih cepat, tapi awan hujan menipis dan frekuensi hujan berkurang.

''Kekayaan ekonomi tidak otomatis menjadikan kondisi air berlimpah,'' ujar Jamie Pittock, Direktur Global Freshwater Program. Krisis air di Amerika, kata Pittock, merupakan bukti bahwa kesejahteraan dan infrastruktur bukanlah jaminan untuk melawan kelangkaan, pencemaran, perubahan iklim, dan kekeringan.

Kenyataan paling baru tentang krisis air di Amerika Serikat ini dilansir dalam laporan National Academy of Sciences (NAS). Laporan itu memfokuskan penelitian pada peran strategis Sungai Colorado. Sungai yang membentang dari barat daya Amerika Serikat hingga barat laut Meksiko, dengan panjang sekitar 2.330 kilometer, ini memasok kebutuhan air 25 juta jiwa dan jutaan hektare lahan pertanian di tujuh negara bagian Amerika.

Kesimpulan penting dalam laporan NAS menyebutkan, periode kekeringan yang melanda Sungai Colorado akan berjalan lebih lama dan lebih serius dibandingkan dengan sebelumnya. Sejak akhir 1990-an, kekeringan hebat sering melanda daerah hulu anak-anak Sungai Colorado, yang meliputi tiga negara bagian: New Mexico, Utah, dan Wyoming. Bahkan situasinya disebut ''mencatat rekor terburuk''.

Sebagai catatan, dalam kondisi normal, volume aliran Sungai Colorado adalah 570 meter kubik per detik di saat ''kemarau'' dan 28.000 meter kubik per detik ketika banjir besar (bandingkan dengan debit Bengawan Solo yang hanya 10 meter kubik pada musim kemarau dan 1.500 meter kubik ketika banjir besar). Di kala musim kering seperti saat ini, pasokan air menuju waduk-waduk di lembah Sungai Colorado merosot tajam hingga di bawah ambang batas normal.

Sejak 2002, debit air tahunan di Waduk Powell (perbatasan Utah dan Arizona) menurun dengan intensitas rata-rata 25%. Begitu disebutkan dalam laporan NAS, seperti dikutip Financial Times. Penurunan itu sangat tak menguntungkan ketika berhadapan dengan pesatnya pertambahan penduduk di negara bagian sekitar aliran sungai.

Negara Bagian Arizona, misalnya, mencatat pertumbuhan penduduk 40% pada 1990-an, sedangkan populasi penduduk Colorado tumbuh 30%. Bersama Nevada, Utah, dan California, negara-negara bagian itu mencatat rekor pertumbuhan penduduk terbesar dari total populasi di Amerika Serikat.

Dengan demikian, penggunaan air oleh masyarakat meningkat secara signifikan seiring berjubelnya jumlah penduduk. Keperluan rumah tangga akan air di masing-masing negara bagian mencapai 150 galon per hari. Malah, ''Konsumsi air oleh masyarakat di Clark County, Nevada, termasuk juga kota judi yang padat, Las Vegas, dalam kurun waktu 1988-2000, meningkat dua kali lipat,'' tulis laporan yang sama.

Repotnya lagi, menurut temuan NAS, meski sudah mengurangi jatah irigasi pertanian, ketersediaan air untuk kebutuhan masyarakat perkotaan dan menuntaskan dahaga penduduk ''pedalaman'' masih terasa kurang. Apa kata dunia jika suatu saat --dan sangat mungkin terjadi-- penduduk negara superpower itu dijatah kebutuhan air minumnya, termasuk untuk mandi, cuci, dan kegiatan lainnya.

Padahal, tanpa dikurangi buat kebutuhan lain pun, stok air untuk irigasi pertanian di Amerika Serikat sudah relatif kembang-kempis. Vandana Shiva dalam bukunya, Water War; Privatization, Pollution and Profit, menulis bahwa pada tahun-tahun terakhir, pasokan air untuk lahan irigasi di Amerika Serikat berkurang lantaran salinisasi (penggaraman) dan kebocoran air.

Oleh sebab itu, NAS menyerukan kepada negara, pemerintah federal, dan pemda yang terkena langsung dampak krisis air untuk melakukan langkah komprehensif dan orientasi studi mengenai pemanfaatan air di lembah Sungai Colorado serta merancang strategi untuk menghindari dampak kekeringan jangka panjang.

Lebih dari 500 tahun lalu, hasil rekonstruksi sejarah mengenai aliran Sungai Colorado menyebutkan bahwa pepohonan tumbuh lebih cepat di musim hujan yang panjang. Pada sisi lain, simulasi dengan komputer tentang masa depan iklim memperlihatkan buah pemanasan global yang sangat nyata mengurangi air hujan dan volume air sungai.

Kombinasi perubahan iklim dan kekeringan serta hilangnya lahan basah sebagai penyimpan air, seiring sempitnya pemikiran tentang infrastruktur air dan kesalahan pengelolaan sumber daya, menyebabkan krisis air di Amerika Serikat menjadi isu serius.

Houston, yang masuk daftar kota paling ''haus'' di dunia, adalah wilayah yang paling boros air, lantaran konsumsinya melampaui jumlah yang dapat digantikan. Tapi, sebaliknya, New York yang sibuk dan padat justru tercatat sebagai kota yang memiliki masalah air relatif ringan, karena kecenderungan mereka memelihara tradisi melakukan konservasi di kawasan penangkap air dan memperluas kawasan hijau di wilayahnya.

Ekstensifikasi program ''tradisional'' seperti konservasi air dan daur ulang, menurut Ernest Smerdin, Ketua Panel NAS dari Universitas Arizona, mungkin saja membantu mengendalikan krisis air agar tidak mengarah ke situasi lebih buruk. ''Namun cara itu tidak cukup menyelesaikan persoalan tanpa dukungan faktor lain,'' kata Ernest.

Kunci sukses penanggulangan krisis air di Amerika Serikat pada masa ini, dalam pemaparan Ernest, adalah kerja sama yang kuat dan berkelanjutan antarpihak yang terlibat dalam tata kelola Sungai Colorado dan aktualisasi program pengembangan sains-teknologi yang relevan.

Sementara itu, Jamie Pittock menyerukan agar negara-negara bagian dengan pertumbuhan ekonomi yang pesat tidak mengulangi kesalahan masa lalu. Mereka juga diimbau menghindari penghamburan biaya untuk membangun sarana-sarana besar, tapi lupa mengalokasikannya untuk menyelamatkan kerusakan pada ekosistem daerah tangkapan hujan.

"Sangat disesalkan, tampaknya sebagian besar dari kelompok negara itu telah dibujuk oleh rencana infrastruktur besar, seperti bendungan besar, dengan pertimbangan yang tidak cukup apakah proyek seperti itu akan mencukupi kebutuhan air atau bahkan memberikan beban kepada masyarakat dan juga biaya alami," Pittock menyindir.

Pittock lantas menyimpulkan, krisis air yang terjadi di negara kaya, semisal Amerika Serikat, merupakan bukti bahwa kesejahteraan dan infrastruktur bukanlah jaminan untuk melawan kelangkaan, pencemaran, perubahan iklim, dan kekeringan. "Jelas tidak ada satu pengganti pun untuk melindung sungai dan lahan basah serta memulihkan kawasan dataran rendah," ia menegaskan.

Tidak hanya di Amerika Serikat. Forum World Water Week juga mencatat bahwa Eropa, khususnya negara-negara yang berbatasan dengan Atlantik, sedang menderita akibat kekeringan yang kerap terjadi. Di kawasan Mediterania, turisme yang bertumpu pada air dan irigasi pertanian mengancam keberadaan sumber daya airnya.

Australia malah terlebih dulu dikenal sebagai salah satu benua terkering di dunia, karena salinitas yang mengancam sejumlah kawasan hunian dan daerah pertanian penting. Krisis air rupanya tak memilih kaya miskinnya sebuah negara. Asal berperilaku sama ''merusaknya'', semua kebagian tulahnya.Bambang Sulistiyo



Post Date : 15 Maret 2007