Negosiasi Iklim

Sumber:Kompas - 17 Desember 2007
Kategori:Climate
Konferensi para pelaku Konvensi Kerangka Kerja PBB mengenai Perubahan Iklim atau UNFCCC yang berlangsung di Bali, 3-14 Desember 2007, bisa dilihat sebagai ajang negosiasi antarkepentingan dalam upaya menahan laju pemanasan global.

Penyebab utama perubahan iklim. Sebagai tuan rumah, Indonesia yang memiliki luas wilayah hutan tropis terbesar ketiga di dunia ini, diharapkan mampu berperan menentukan dalam negosiasi tersebut, baik untuk kepentingan nasional maupun global.

Sebagai negara kepulauan dengan 65 persen penduduknya tinggal di wilayah pesisir, pemanasan global yang berdampak pada naiknya permukaan laut harus dilihat sebagai ancaman yang sangat serius bagi Indonesia. Sementara itu, sebagai negara agraris, produktivitas pertanian negeri ini pun terancam gangguan tak kalah serius akibat dampak perubahan iklim.

Dalam Living Planet Report 2006, organisasi konservasi global World Wild Fund for Nature (WWF) menyebutkan bahwa ekosistem alam planet Bumi saat ini sedang mengalami degradasi mencapai kondisi yang belum pernah terjadi sepanjang sejarah manusia. Degradasi hutan hujan tropis di Kongo, Amazon, dan Indonesia, misalnya, sedang melaju dengan kecepatan tinggi menuju kondisi collapse. Dampaknya fatal, terkait ketersediaan air dan pangan. Akibat pemanasan global, sekitar 200 juta orang akan menjadi pengungsi akibat naiknya permukaan laut, terjadinya banjir, serta kekeringan.

Sebenarnya, berbagai kovenan PBB yang mendukung kerja sama kebijakan dan teknologi terkait perlindungan iklim telah lama disepakati. Sayangnya, berbagai mekanisme dan perangkat kebijakan yang dilahirkan belum mampu mengatasi tantangan yang ada. Perlindungan iklim bisa menjadi contoh. Protokol Kyoto yang disepakati 1997 dan baru diberlakukan pada 2005 mensyaratkan negara industri mengurangi emisi rumah kaca sebesar 5 persen. Namun, pengurangan 5 persen yang dijanjikan mayoritas negara-negara industri, hanya berarti pengurangan 2 persen emisi rumah kaca global. Padahal, untuk menstabilkan iklim, pengurangan emisi rumah kaca menjadi separuhnya hingga 2050 adalah sebuah keharusan.

Kebanyakan ekonom dan politisi, hingga saat ini, memang masih belum bisa membayangkan bagaimana melakukan pengembangan ekonomi tanpa gas, minyak bumi, dan batu bara. Lebih dari itu, lobi perusahaan besar yang mendominasi sumber energi fosil ini mati-matian melawan perubahan. Amerika Serikat dan Jepang pun, hingga kini, tidak bersedia melakukan transfer teknologi ramah lingkungan yang memanfaatkan energi nonfosil kepada negara berkembang dengan alasan merugikan pihak swasta negaranya sebagai pemegang hak paten.

Pada saat yang sama, efektivitas kelembagaan juga memprihatinkan. United Nations Environment Programme (UNEP), tuan rumah konferensi perubahan iklim tersebut, tergolong kecil dan lemah dana.

Berbagai usulan

Meski sudah cukup banyak kesepakatan yang dicapai, termasuk pengaturan dan penyelesaian masalah, tetapi terpenggal dalam satuan-satuan kecil yang kurang terkoordinasi. Ironisnya, sekretariat berbagai kesepakatan lingkungan global tersebar di segala penjuru dunia, di Bangkok, Bonn, Geneva, Montreal, dan Nairobi. Dampaknya, biaya operasional yang tinggi, namun tanpa sinergi.

Tiadanya pesaing global yang andal untuk mengimbangi sepak terjang tiga lembaga keuangan dan perdagangan yang sangat perkasa (Bank Dunia, IMF, dan WTO) memunculkan usulan mempersatukan lembaga-lembaga PBB terkait pembangunan dan lingkungan, seperti UNEP dan UNDP. Hal ini dimaksudkan untuk memperkuat efektivitasnya. Selain lingkungan, persoalan sosial-ekonomi global juga tergolong mandek.

Tak heran banyak yang mengusulkan restrukturisasi berbagai organisasi internasional. Terkait pengamanan perdamaian (PBB) serta pendanaan, keuangan, dan perdagangan (Bank Dunia, IMF, WTO) memang terdapat aturan yang rinci. Namun, persoalan keadilan global nyaris sepenuhnya diserahkan kepada pasar internasional dan inisiatif individu (Wuppertal Institut, 2005).

Sejarah mencatat, reformasi lembaga-lembaga internasional biasanya baru berjalan mulus ketika terjadi bencana besar. Setelah jatuh korban besar pada Perang Dunia II, baru dilakukan konferensi bangsa-bangsa di San Francisco. Menurut catatan intelijen, konferensi yang melahirkan PBB ini sepenuhnya berkat dorongan, inisiatif, dan dukungan dana AS (Schlesinger, 2003).

Saat ini tampaknya sulit dibayangkan bahwa AS akan membidani lahirnya tatanan internasional yang adil dan berkelanjutan. Tak heran, banyak yang berharap pada Eropa, China, India, Afrika Selatan, Brasil, dan juga Indonesia agar bekerja sama dalam pencapaian tatanan dunia yang adil dan berkelanjutan. Bahwa hal ini dimungkinkan, terlihat dari pelaksanaan Protokol Kyoto meski ditentang AS. Apalagi di Bali, Australia yang semula menentang, telah menjadi pendukung Protokol Kyoto. Dalam semua kasus tadi, menjadi jelas bahwa bila sekelompok negara yang cukup berpengaruh benar-benar committed dalam satu hal sambil bersinergi dengan organisasi masyarakat sipil, mereka mampu memperbaiki sistem internasional (Ott & Chung, 2005).

Indonesia sebagai penghasil karbon dioksida terbesar ketiga dunia serta pemilik hutan yang (masih cukup) besar diharapkan telah mengidentifikasi sektor- sektor yang berperan dalam penurunan emisi dan mekanisme pembangunan bersih, serta mengembangkan isu-isu prioritas untuk bernegosiasi dengan negara lain agar tercapai kerja sama saling menguntungkan. Tidak sekadar bagaimana mendapatkan bantuan dari negara maju, khususnya dalam perdagangan karbon, melainkan lebih dalam menaikkan posisi tawarnya bersama negara berkembang lainnya dalam menekan negara-negara maju untuk mengurangi emisi CO. Harus dihindari bahwa dana bantuan, khususnya dalam mekanisme perdagangan karbon, tidak boleh menjadi justifikasi negara maju untuk terus menghasilkan emisi gas rumah kaca yang merusak atmosfer.

IVAN A HADAR Koordinator Nasional Target MDGs (BAPPENAS/UNDP; Pendapat Pribadi)



Post Date : 17 Desember 2007