Negosiasi Kurang Cerminkan Kepentingan

Sumber:Kompas - 14 Desember 2009
Kategori:Climate

Delegasi RI boleh bangga dengan pencapaian target Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan dalam Konferensi Perubahan Iklim 2009. Namun, pencapaian itu menyisakan persoalan besar. Setidaknya, ini menurut pendapat Forum Masyarakat Sipil (CSF) untuk Keadilan Iklim.

Skema Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD) yang menjadikan hutan sebagai ”alat tukar” penurunan emisi dengan sejumlah uang dan teknologi dinilai CSF (gabungan sejumlah LSM dari Indonesia yang memantau negosiasi iklim) terlalu murah. Murah tidak hanya dalam artian nilai uang, tetapi juga risiko jangka panjang yang menyangkut hak hidup dan budaya masyarakat lokal dan masyarakat adat.

Pendanaan konservasi hutan dalam arti tertentu, dalam skema REDD, diyakini akan meminggirkan kontrol masyarakat terhadap hutan yang secara turun-temurun mereka hidupi. Sebaliknya, memberikan keleluasaan bagi industri, seperti industri bubur kertas dan kertas untuk menambah konversi hutan alam bila definisi hutan memasukkan tegakan hijau perkebunan monokultur.

Atas nama komitmen mitigasi perubahan iklim di negara berkembang, masyarakat dalam posisi rentan dijadikan ”kambing hitam” perusakan hutan. ”Indonesia terjebak dalam negosiasi pola negara maju dan tidak mementingkan kepentingan nasionalnya sendiri,” kata Teguh Surya dari Walhi yang hadir di Kopenhagen.

Hal yang sama diungkapkan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara yang menilai penerapan di lapangan justru akan memicu konflik kepentingan antara masyarakat dan pemerintah.

Dari data CSF, sepanjang tahun 2008 setidaknya tercatat 500 konflik terkait pengelolaan perkebunan sawit. Konflik itu akan terus bertambah selama pengakuan hak-hak masyarakat adat tidak dipandang sebagai sebuah hal yang penting.

Tekan negara maju

Koordinator CSF Giorgio Budi Indarto menilai, Indonesia seharusnya menekan negara-negara maju dalam negosiasi iklim. Khusus terkait hutan, tekanan diarahkan kepada tanggung jawab negara maju agar mengurangi permintaan produk hasil sumber daya alam.

”Tingginya permintaan negara maju itulah akar masalah kerusakan hutan dan degradasi lahan akibat pertambangan. Sayangnya, itu tidak menjadi titik pijak posisi Indonesia,” katanya.

Ketidakjelasan sikap delegasi RI juga disorot pada awal negosiasi, khususnya ketika Denmark mengeluarkan Danish Accord yang mengancam kepentingan nasional. Pasalnya, di dalamnya ada klausul mewajibkan negara berkembang menurunkan emisi gas rumah kaca yang jelas-jelas tidak diwajibkan sesuai dengan keputusan di Bali 2007.

Tidak seperti beberapa negara berkembang lain yang tegas menolak tawaran itu, Indonesia cenderung diam. Menurut delegasi RI, sikapnya sudah terwakili pendapat negara lain.

Ketidaksiapan lain adalah soal data jumlah dana bantuan asing yang dibutuhkan Indonesia untuk menurunkan emisi sebesar 41 persen pada 2020. Begitupun penerapan di lapangan yang hingga kini belum jelas.

Berdasarkan data resmi di sekretariat konferensi, jumlah anggota delegasi RI 188 orang, termasuk beberapa pejabat dalam rombongan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Dari jumlah itu, negosiator inti yang memantau 16 sesi persidangan kurang dari 30 orang.

Secara perseorangan, beberapa anggota delegasi menduduki posisi penting sidang, seperti mengetuai atau co-chair grup kontak pembahasan sebuah isu. Mengikuti sidang dengan keseriusan tinggi bukanlah hal mudah. Mengenai jumlah delegasi, total jumlah Indonesia di bawah Brasil dan China. ”Tidak semuanya datang karena persoalan visa,” kata anggota delegasi, Ghafur Dharmaputra.

Sepekan tersisa, kemampuan bernegosiasi tim delegasi RI dipertaruhkan. Mengutip kata Ketua Negosiator RI Rachmat Witoelar, Indonesia fokus pada kepentingan nasional. (GESIT ARIYANTO dari Kopenhagen, Denmark)



Post Date : 14 Desember 2009