Nuklir Masih Jadi Solusi

Sumber:Kompas - 15 Desember 2007
Kategori:Climate
Nusa Dua, Kompas Saat para menteri bersidang maraton di hari-hari terakhir Konvensi PBB mengenai Perubahan Iklim, pertarungan tentang solusi menjadi pertaruhan seru. Energi nuklir kembali disebut sebagai bagian dari solusi meskipun pada tahun 2000 komunitas lingkungan global berhasil memagari agar nuklir dikeluarkan dari Protokol Kyoto.

Sejumlah aktivis, Kamis (13/12), melakukan aksi di depan pusat media, di kompleks Bali International Convention Center (BICC), Nusa Dua, Bali. Peer de Rijk dari World Information Service on Energy (WISE) menyerukan agar Konferensi Perubahan Iklim menolak tenaga nuklir.

"Solusi nuklir untuk mengurangi gas-gas rumah kaca seperti minum racun ketika Anda sedang dahaga," ujar Gloria Hsu dari Taiwan Environmental Protection Unit (TEPU).

Bagi Victor Menotti dari International Forum on Globalization, penawaran solusi palsu untuk perubahan iklim harus diakhiri.

Hal yang sama diserukan Peer de Rijk. Menurut dia, penolakan terhadap nuklir tak hanya memberi harapan kepada jutaan orang di dunia, tetapi juga akan mempercepat negosiasi iklim. Perbincangan yang terus-menerus tentang energi nuklir akan menemui jalan buntu.

Kelompok itu mengatakan, energi nuklir memberikan sumbangan yang berarti pada emisi gas-gas rumah kaca di atmosfer kalau dilihat dari seluruh siklusnya. "Setiap dolar yang diinvestasikan untuk memperluas industri nuklir justru akan memperburuk perubahan iklim," ujar Sabine Block dari Women in Europe for a Common Future (WECF).

Risiko terlalu besar

Christina Hacker dari German Umweltinstitut menambahkan, "Risikonya terlalu besar. Dunia tak bisa lagi membiarkan bencana lain seperti yang kami hadapi di Ukraina."

Penolakan atas energi nuklir juga disuarakan Vladimir Slivyak, pimpinan Ecodefence! Dia mengatakan, "Kami memprotes energi nuklir sebagai salah satu pemecahan masalah pemanasan global. Energi nuklir sama sekali bukan jawaban untuk perubahan iklim karena nuklir mengeluarkan limbah yang berbahaya selama beberapa ratus tahun ke depan. Ini bertentangan dengan prinsip energi terbarukan. Juga tidak ramah lingkungan bahkan berbahaya bagi manusia," ujarnya.

Slivyak menyatakan, alternatif untuk efisiensi energi di negara- negara industri maju harus memperbanyak penggunaan energi terbarukan, seperti energi hidro, angin, gelombang, dan matahari. Slivyak menolak alasan bahwa teknologi dengan energi terbarukan itu mahal harganya. "Kalau pada awalnya memang mahal karena baru produksi pertama. Namun, jika sudah diproduksi massal dan banyak orang menggunakan, harganya turun terus," ujarnya.

Nuklir juga ditolak dalam pembahasan mengenai mekanisme pembangunan bersih (CDM). Dalam CDM, nuklir tidak digolongkan sebagai energi alternatif yang sesungguhnya. Ditolaknya nuklir dalam CDM sejalan dengan pandangan para menteri lingkungan Eropa yang melakukan pertemuan di Wina, Austria, Oktober lalu.

Sekitar tiga persen konsumsi energi dunia saat ini menggunakan pembangkit nuklir. Seperti dikemukakan para aktivis antinuklir, mereka yang mempromosikan pusat listrik tenaga nuklir pada umumnya tidak menyinggung masalah besar tentang limbah ini, perawatannya, dan potensi bahayanya terhadap masyarakat dalam jangka panjang.

Tidak masuknya nuklir dalam CDM membuat Jepang melakukan protes karena saat ini di seluruh Jepang beroperasi sekitar 40 pembangkit listrik tenaga nuklir. (MH/ISW)



Post Date : 15 Desember 2007