Oh Meulaboh...

Sumber:Kompas - 31 Desember 2004
Kategori:Air Minum
LIMA hari pascagempa dan gelombang tsunami, kota Meulaboh di pantai barat Sumatera tampak gelap gulita karena aliran listrik PLN masih terputus. Selain itu, jaringan komunikasi telepon, termasuk telepon seluler, masih terputus. Dari pengamatan Kompas, Kamis (30/12), di sepanjang ruas jalan yang rusak di kota itu tampak mayat-mayat bergeletakan hanya dengan penutup seadanya.

DI kota ini hanya tersisa fondasi-fondasi bangunan dan material bangunan yang berserakan di sepanjang radius dua sampai lima kilometer dari pantai. Menurut Fadly, Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Aceh Barat, hingga kemarin malam dilaporkan masih ada 4.976 korban yang hilang. Mereka yang dilaporkan raib itu baru pada satu kecamatan saja, yakni Kecamatan Johan Pahlawan. Sementara di Aceh Barat masih ada empat kecamatan lainnya yang juga porak-poranda dihantam tsunami.

Kepala Kepolisian Resor (Polres) Aceh Barat Ajun Komisaris Besar Khasril menuturkan, warga Meulaboh yang selamat dari bencana tsunami kini mengalami trauma psikis. Apalagi, gempa susulan masih terus terasa sehingga mengakibatkan para warga terpaksa terus bertahan di tempat-tempat darurat. Penduduk Meulaboh yang berjumlah lebih kurang 40.000 sekitar 90 persennya diperkirakan telah hilang tersapu tsunami.

Komandan Komando Resor Militer (Korem) Teuku Umar Kolonel Gerhan Lantara mengatakan, jalur transportasi ke Aceh Barat masih terputus. Sementara jalur darat ke Takengon hingga kini masih dijajaki, apakah sudah bisa dilewati atau belum. Begitu pula ke arah selatan, terdapat tiga jembatan putus dan malam ini aparat TNI tengah berupaya membuat jembatan darurat untuk mengatasi keterisolasian Meulaboh.

Bandar Udara Meulaboh, yang sudah empat hari ditutup, pada Kamis kemarin mulai dicoba didarati dua pesawat berbadan kecil. Kedua pesawat tersebut membawa sejumlah bantuan untuk para korban gempa dan tsunami di sana. Hingga kemarin tercatat 391 korban tewas di Meulaboh yang sudah dikuburkan oleh petugas penyelamat.

Letnan Satu (Khusus) Filfadri, Kepala Dinas Penerangan dan Kepustakaan Pangkalan Udara (Lanud) Sultan Iskandar Muda Banda Aceh, menyatakan, jalur menuju Aceh Barat seperti ke kota Meulaboh masih terputus, sekalipun komunikasi radio bisa dilakukan.

Menurut salah seorang petugas di Satuan Tugas Koordinasi dan Pelaksana (Satkorlak) Bencana Gempa dan Tsunami, yang memperlihatkan hasil rekaman perjalanan melalui udara, kota Meulaboh termasuk salah satu daerah yang mengalami bencana parah.

SELAIN mayat-mayat yang berjumlah puluhan ribu, ratapan pengungsi pun tak kalah menariknya untuk disimak.

"Tolonglah, Bang, sampaikan kepada orang yang tidak terkena musibah tsunami ini, kirimi kami pakaian apa saja. Kami sudah tidak punya apa-apa lagi," ratap Nurhayati (45) memelas dengan suaranya yang sudah serak.

"Jangankan membawa pakaian, menyelamatkan sanak keluarga pun sudah tak sempat. Sampai sekarang suami dan empat anak saya belum jelas nasibnya," ujar Nurhayati dengan terisak. Ia pun kemudian menyeka matanya yang bengkak memerah.

Nurhayati, warga Desa Ulee Reubek Timur, Kecamatan Seunuddon, Aceh Utara, ini terpaksa mengungsi bersama sedikitnya 1.000 warga lain ke Panton Labu yang berbatasan dengan Kabupaten Aceh Timur. Mereka harus meninggalkan kampungnya karena hancur, porak poranda diterjang tsunami, hari Minggu lalu.

Di Panton Labu mereka langsung menempati Masjid Raya Pasee, yang arsitekturnya meniru Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh. Kondisi masjid yang sedang dalam tahap pembangunan menyebabkan anggota DPRD Aceh Utara dari Fraksi Partai Bintang Reformasi Teuku Tamrin, yang berasal dari Panton Labu, memindahkan para pengungsi ke kompleks pasar sayur Panton Labu yang baru selesai dibangun.

"Soal makanan, kesehatan, dan tempat berteduh di sini tidak ada masalah. Tetapi, kami sangat mengharapkan ada bantuan pakaian apa saja untuk bersalin pakaian. Dari hari Minggu sampai Rabu ini kami belum berganti pakaian. Tolonglah kirim pakaian dalam dan luar untuk kami. Yang bekas pun kami sangat bersyukur," kata pengungsi lainnya, Murniati (23), yang kehilangan orangtuanya.

Lokasi pengungsian di Panton Labu tergolong mewah. Kompleks pasar tersebut dibangun berbentuk los yang bersekat beton berukuran 2 meter x 4 meter, yang ditempati dua sampai empat keluarga. Tempat itu cukup memberi ruang pribadi bagi para pengungsi. Sarana air bersih pun relatif lancar, tidak menyulitkan para pengungsi untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Barangkali nasib warga Desa Ulee Reubek lebih beruntung dibandingkan dengan pengungsi lain di Banda Aceh atau daerah lainnya. Setidaknya, selama mengungsi mereka tidak akan kesulitan soal pangan dan papan.

Lokasi pengungsian yang berada di sekitar pasar memudahkan warga membantu kebutuhan pengungsi.

"Semua kebutuhan sehari- hari masih bisa kami peroleh dengan bantuan masyarakat di sini. Yang sangat mendesak sekali sekarang ini adalah pakaian," ujar Murniati.

Kini di lokasi pengungsian itu terdapat sedikitnya 600 orang, yang terdiri dari perempuan dan anak-anak. Mereka sangat membutuhkan pakaian, sebagai pengganti yang sudah lusuh karena sudah tiga hari melekat di badan mereka.

SEPERTI diakui Ketua Palang Merah Indonesia (PMI) Cabang Aceh Utara Mauludi, sedikitnya 50.000 pengungsi di daerahnya sangat membutuhkan bantuan pakaian. Tiga gelombang tsunami yang masing-masing berlangsung tidak lebih dari 10 menit telah menghancurkan seluruh harta benda dan menewaskan sejumlah besar masyarakat di pesisir pantai.

"Kejadian yang berlangsung sangat cepat telah memaksa mereka mengungsi secepatnya. Sekarang kebutuhan yang paling mendesak bagi mereka adalah pakaian. Tolonglah, kirimi pakaian apa saja, misalnya pakaian bekas yang banyak di Tanjungbalai, Sumatera Utara, itu," kata Mauludi.

Relawan dari Partai Keadilan Sejahtera di Masjid Teupin Punti, Kecamatan Syamtalira Aron, sekitar 10 kilometer selatan Lhok Seumawe, Zulkarnain pun mengungkapkan hal serupa. "Kalau soal penanganan kesehatan dan makanan, bantuan masyarakat yang ada masih mampu memenuhi kebutuhan pengungsi. Yang paling mendesak saat ini adalah pakaian," ujarnya.

Kondisi lebih dari 5.000 pengungsi di Lapangan Hiraq, Kota Lhok Seumawe, juga tidak jauh berbeda dengan mereka yang berada di lokasi lain. Bantuan mi instan, air minum, dan obat- obatan yang ada dirasakan dapat mencukupi kebutuhan para pengungsi untuk sementara waktu.

"Saya sampai sekarang masih memakai pakaian waktu menyelamatkan diri dari air laut dulu. Terpaksa (pakaian) ini saya pakai, cuci, kering, pakai lagi," kata Muhammad Nasir, warga Desa Pusong, Lhok Seumawe.

Sekarang di Kabupaten Bireuen, Aceh Utara, Aceh Timur, dan Kota Lhok Seumawe terdapat sedikitnya 100.000 pengungsi yang tersebar di puluhan lokasi. Secara umum mereka kekurangan kebutuhan sandang.

Penjabat Bupati Aceh Utara Teuku Alamsyah Banta saat peninjauan rutin lokasi pengungsian di Aceh Utara mengatakan, kebutuhan pakaian untuk para pengungsi sangat mendesak. Oleh karena itu, dia telah menginstruksikan 13 dari 22 camat yang ada-sembilan kecamatan menjadi korban bencana-meminta bantuan masyarakat mengumpulkan pakaian bekas untuk diberikan pada pengungsi.

"Kita harus terus membantu apa yang bisa diberikan. Para pengungsi ini juga saudara kita," ujarnya. Hal senada diungkapkan Bupati Bireuen Mustafa A Geulanggang. "Masyarakat juga harus turut aktif membantu lebih dari 40.000 korban bencana tsunami di Bireuen yang kini mengungsi di 41 lokasi," kata Mustafa. (yns/mam/ham)

Post Date : 31 Desember 2004