Pasar Menuntut Pengembang Hirau Lingkungan

Sumber:Kompas - 13 Desember 2007
Kategori:Climate
Ada fenomena menarik dari para pengembang Indonesia dalam tiga tahun terakhir ini. Mereka bertarung dalam kompetisi menjadi perusahaan paling ramah lingkungan. Mereka tidak hirau apabila pertarungan yang senyap itu menyebabkan anggaran belanja perusahaan membengkak.

Tren sadar lingkungan ini tampak dalam program para pengembang. Ada yang membangun sistem penyulingan air hingga layak minum, ada juga yang menghutankan sebagian kawasan agar menjadi areal penyerap air. Sebagian lagi memilih menghijaukan semua kawasan sehingga perumahan itu ramai oleh kicau burung. Pengembang ini bahkan menyisakan lebih kurang 3.000 meter persegi untuk tanaman padi. Hasilnya tentu sama sekali tidak signifikan, tetapi usahawan tersebut ingin memetik efek simbolis dari ikhtiar itu.

Adapun pengembang dari lini lain membangun kawasan botanical, membuat sumur resapan di semua rumah, dan mengolah sampah padat menjadi kompos. Ada pula yang memanfaatkan sepenuhnya energi matahari untuk listrik rumah tangga dan mendaur ulang sampah.

Gerakan para pengembang ini memang belum menunjukkan kinerja gemerlap. Akan tetapi, semangat mereka boleh diapresiasi. Tidak terbayangkan sebelumnya bahwa ada developer bersedia masuk "pekerjaan kotor"; membersihkan limbah cair, menampung air hujan, dan mendaur ulang sampah plastik.

Sampah yang diolah memang belum lebih dari 30 persen dari total produk sampah per perumahan. Akan tetapi, persentasenya terus menanjak dari tahun ke tahun. Awalnya hanya dua persen sampah diolah menjadi kompos, kemudian lima persen, dan kini sudah di atas 30 persen. Pada sepuluh tahun mendatang, pengolahan sampah diharapkan sudah jauh lebih maju, sudah lebih dari 90 persen.

Limbah cair hasil buangan cucian, mandi, dan sebagainya ditampung dan diolah dalam beberapa tahap. Air olahan ini memang tidak dapat diminum, tetapi layak untuk cuci kendaraan, menyiram tanaman, "menyentor" WC, menyiram jalan, dan sebagainya.

Dalam perkembangannya, sejumlah pengembang berlari lebih cepat. Kemang Village, misalnya, sudah membeli mesin pendaur ulang kaleng/aluminium, kertas, dan plastik. Air hujan diolah menjadi layak minum tanpa dimasak. Air limbah diolah dengan sopistikasi sehingga layak digunakan untuk mandi dan aktivitas lain.

Sayang gerakan cinta lingkungan ini baru dilakukan belasan pengembang yang notabene mengemas perumahan di atas 300 hektar atau kawasan superblok di atas 10 hektar. Perumahan berskala di bawah 30 hektar tidak mengolah sampah dan air. Skala proyek terlampau kecil sehingga tidak mampu menopang pengeluaran besar. Padahal, kalau hendak dikerjakan sepenuh hati, paling tidak sampah padat bisa diolah menjadi kompos. Di Indonesia ada ribuan pengembang. Sepuluh persen di antara mereka sadar lingkungan saja sudah baik. Apalagi kalau bisa meningkat menjadi 20 persen atau bahkan 30 persen

Sebagai ilustrasi, beberapa kelurahan di DKI Jakarta berinisiatif membentuk tim pengolah sampah mandiri. Tim ini mampu mengolah 80 persen sampah di wilayahnya menjadi kompos. Kompos dijual murah dan sebagian dikirim ke petani Kalimantan, Sumatera, dan Nusa Tenggara. Di sejumlah provinsi di Indonesia, lapisan subur areal pertanian antara satu hingga tiga sentimeter saja. Kalau Anda menanam tanaman dengan cara membolak-balik tanah, biasanya tanaman itu tidak hidup. Penanaman harus dilakukan dengan cara membuat lubang kecil (di area lapisan subur itu), lalu bibit dimasukkan.

Terlepas dari masih sedikitnya pengembang yang bersedia mengolah sampah dan limbah cair, apa yang dilakukan mereka sudah jauh lebih maju. Mereka memang belum memecahkan persoalan sampah di kota besar, tetapi setidaknya tidak menambah kesulitan Pemprov menangani masalah sampah.

Di Benua Asia, hanya negara-negara maju di jazirah Arab dan negara-negara maju di Asia Timur yang mengolah sampahnya dengan penuh cinta. Di Asia Tenggara, Singapura dan belakangan Malaysia coba melakukannya, tetapi belum bisa sepenuhnya.

Tuntutan pasar

Dalam lima tahun ini, tuntutan konsumen properti dunia terhadap produk sadar lingkungan makin keras. Tuntutan mereka, sampah harus didaur ulang, limbah cair menjadi layak pakai, air hujan diolah menjadi layak minum tanpa dimasak.

Kompas kerap melihat beberapa pameran properti di beberapa kota dunia, di antaranya di Dubai, Beijing, Shanghai, Hongkong, Nagasaki, dan Singapura. Para calon pembeli gencar bertanya tentang masalah sampah dan air bersih. Mereka ingin tahu bagaimana air hujan diperlakukan, ke mana limbah padat manusia dibuang, dan seperti apa proses daur ulang sampah padat. Mereka minta diterangkan proses pengolahan limbah cair, pipa-pipanya melewati dinding yang mana. Mereka ingin tahu berapa kiloliter air laut disuling menjadi air minum dan sebagainya.

Sikap kritis calon pembeli lahir dari kesadaran pada lingkungan dan arus informasi yang begitu deras tentang bencana yang bakal melumat bumi pada tahun-tahun mendatang. Publik dunia sangat menyadari bahayanya kalau air laut naik beberapa meter akibat mencairnya es di kutub (kawasan dataran rendah dan pulau-pulau kecil di beberapa samudra dianggap paling rawan terbenam). Warga dunia juga menyadari bahwa sampah dan air bersih akan menjadi persoalan besar beberapa tahun mendatang.

Para pengembang di sisi lain memahami bahwa masalah ini amat serius. Mengabaikan masalah tersebut sama dengan membangun nisan sendiri. Hal paling bijak ialah membuat divisi baru yang terdiri atas orang-orang yang ahli di bidang pengolahan sampah, limbah cair, dan penyulingan air. Mereka inilah yang menjawab pertanyaan-pertanyaan calon pembeli. Pengembang membeli instalasi yang bisa dipamerkan untuk mengonkretkan program ramah lingkungan.

Perhatian ekstra pada masalah lingkungan ini meminta ongkos puluhan miliar rupiah. Sebagian pengembang acap enggan menanggung sendiri semua aktivitas ramah lingkungan. Pilihannya, pengembang mengurangi labanya dan menaikkan harga produk. Inilah pula sebabnya mengapa pengolahan limbah dilakukan bertahap. Sebab, apabila dilakukan sekaligus, pengembang dan pembeli tidak akan kuat menahan beban.

Reputasi

Hal yang kurang disadari banyak kalangan ialah, pengembang yang menjaga kelestarian lingkungan meraih reputasi sangat tinggi. Ia tidak perlu beriklan, tidak perlu banyak pemberitaan. Masyarakat yang akan membicarakan proyeknya dengan penuh kekaguman, dari mulut ke mulut. Pada ujungnya, pengembang ini meraih konsumen sangat besar.

Di media ini, dalam beberapa kali kesempatan, dibahas tentang sejumlah pengembang yang pada awalnya lesu darah tiba-tiba bisa bangkit dan berdiri tegak karena mengemas proyeknya dengan pendekatan lingkungan. Pengembang-pengembang tersebut membuat telaga, kawasan botanical, hutan dalam perumahan, memelihara rusa dalam taman, mengolah air menjadi bersih, dan sebagainya.

Lalu, mereka dengan bangga mengumumkan bahwa di perumahannya selalu terdengar kicau beberapa jenis burung, kokok ayam hutan. Pengembang Bogor Nirwana Residence bahkan memelihara sejumlah rusa yang hidup tenang di taman luas. Adanya rusa, juga burung, dan ayam hutan refleksi dari ketenangan dan kehijauan suatu kawasan.

Dalam catatan Kompas, grup yang gencar mengembuskan isu lingkungan dalam proyeknya di antaranya adalah Grup Bakrie (dengan bendera Nirwana), Grup Lippo, Grup Ciputra, Grup Agung Podomoro, Grup SpringHill, Alam Sutera, dan Botanical Garden.

Eksekutif properti AH Marhendra menyatakan, kriteria ramah lingkungan makin tinggi. Konsumen yang makin kritis tidak lagi melihat ramah lingkungan cukup ditunjukkan dengan banyak menanam pohon. Tidak pula sekadar rumah bagus dan terletak di lokasi strategis. Konsumen menuntut lebih, yakni pengolahan air layak minum dan sampah padat. "Siapa yang mampu memenuhi kriteria ini, ia berpeluang besar memenangkan hati pembeli," ujar Marhendra, Selasa (11/12) di Jakarta.

Usahawan dari Grup Lippo, James Riady, menyatakan, komitmen pada lingkungan tak bisa ditawar. "Kami tidak sekadar membuat sistem pengolahan sampah dan air. Kami pun tidak sekadar mendaur ulang sampah, tetapi melakukan lebih dari itu," ujar James.

Siapa yang menebang pohon di Lippo Karawaci kami denda Rp 15 juta. Tidak hirau apakah ia ponakan, teman, saudara atau pejabat. Pokoknya bayar Rp 15 juta," tuturnya. "Denda untuk menimbulkan efek sadar lingkungan ini cukup efektif. Tidak ada yang main-main dengan pohon."

Langkah yang sama dilakukan Alam Sutera. Siapa yang menebang pohon langsung didenda Rp 15 juta. Pengembang ini ingin menanam sebanyak mungkin pohon dan itu mudah dilakukan karena mereka masih memiliki landbank lebih dari seribu hektar.

Staf James Riady, Gordon Benton, menyebutkan, masyarakat kerap lupa bahwa pohon memegang peran penting dalam upaya menyelamatkan bumi. Satu pohon (diameter tajuk 15 meter) setiap hari mampu menahan air ratusan liter. Pun menyerap 28,22 kg karbon per hari (10,3 ton per tahun). Bayangkan kalau Anda menanam sejuta pohon, berapa kiloliter air yang bisa Anda tahan di perut bumi, berapa luas wilayah yang diselamatkan dari ancaman banjir.

Masalahnya, sebut Gordon, manusia baru sadar setelah sulit bernapas akibat polusi. Manusia baru panik ketika banjir dan longsor datang beruntun setiap bulan. Lalu, di saat yang bersamaan, kerongkongan manusia serasa panas akibat kurangnya suplai air bersih.

Sebelum dunia ini ambruk, manusia perlu berbuat optimal untuk memotong proses perusakan bumi. Peran pengembang dalam aspek ini sangat besar. Abun Sanda



Post Date : 13 Desember 2007