PDAM Ditantang Untuk berlomba

Sumber:Majalah Air Minum - 28 Februari 2010
Kategori:Air Minum

Diam-diam, program pengembangan sistem penyediaan air minum kepada masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) sudah lumayan jauh. Program itu ditujukan untuk meningkatkan cakupan pelayanan air minum yang hingga kini masih jauh dari sasaran, yakni 80% untuk perkotaan dan 60% untuk perdesaan sesuai dengan MDGs terhitung 2015. Yang melandasi program itu adalah PP 16 tahun 2005 tentang SPAM, yang menyatakan bahwa adalah tugas dan tanggung jawab Pemerintah untuk menyediakan air minum bagi rakyatnya.

Terkait hal itu, Perpamsi dan jajaran PDAM atas dorong¬an mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla sedang berupaya meningkatkan cakupan pe¬layanan air minum di Indonesia dengan program penambahan 10 juta sambungan rumah. Program sambungan MBR ini tentu tak lepas dari program penambahan 10 juta sambungan.

"Alhamdulillah, sudah cukup jauh," ujar Tamin  Zakaria, Direktur Pengembangan Air Minum, Ditjen Cipta Karya Kementerian Pekerjaan Umum.

Untuk membidik masyarakat ber¬penghasilan rendah menurut Tamin Zakaria, Pemerintah memang mengalokasikan anggaran dari APBN dan APBD. Dalam hal ini, sejak tahun 2007 telah dibangun SPAM setingkat IKK di sekitar 400 lokasi masing-masing 1.600 sambungan rumah. Itu berarti telah mencakup kebutuhan 400 x 1.600 x 5 jiwa, yakni sekitar 3,2 juta jiwa dengan asumsi 1 keluarga terdiri atas 5 jiwa.

Di samping SPAM setingkat IKK, Pemerintah juga gencar membangun sarana air minum bagi masyarakat berpenghasilan rendah di perdesaan. Jumlah SPAM perdesaan berbasis masyarakat (Pamsimas) itu menurut Tamin Zakaria telah mencapai 2.540 lokasi dari sasaran 4.500 dalam kurun waktu 2008-2009. SPAM jenis ini rata-rata berkapasitas 1 liter per detik, tetapi ada pula yang lebih. Sarana SPAM kapasitas 1 liter per detik untuk perdesaan meliputi rata-rata 1.000 jiwa, maka jumlah penduduk yang terlayani oleh 2.640 SPAM perdesaan itu mencapai sekitar 2,6 juta jiwa dari sasaran 4,5 juta jiwa.

Selain setingkat IKK dan Pamsimas tadi, dana Pemerintah juga dialokasikan untuk melayani MBR di perkotaan, dan yang ini disebut sebagai program OBA (Output Based Aid), yakni bersumber dari dana hibah negara atau lembaga donor.

Artinya, dana hibah itu akan dibayarkan bilamana keluarga-keluarga miskin perkotaan itu sudah mendapatkan aliran air selama tiga bulan sejak pemasangan berdasarkan rekening yang dibuat. Namun sejumlah persyaratan untuk jenis OBA harus dipenuhi.

Proyek OBA yang dilaksanakan di PDAM Kota Surabaya misalnya, yang bersumber pada dana bantuan Bank Dunia, rumah calon penerima manfaat kurang dari 60 meter persegi, lebar jalan kurang dari 6 meter, daya terpasang listrik maksimum 1.300 VA, teridentifikasi sebagai keluarga miskin berdasarkan hasil survei, dan harus sanggup membayar rekening air sesuai dengan ketentuan PDAM. Tentu saja tarif adalah tarif MBR, di mana berlaku falsafah subsidi silang; yang kaya membantu yang miskin, ada tarif gedongan, tarif dunia usaha, dan ada tarif kawasan kumuh.

Selain OBA yang sudah mulai dilaksanakan di Surabaya menurut Tamin Zakaria, di mejanya ada daftar PDAM berjumlah 20-an yang sedang diusulkan sebagai penerima hibah dari AUSAID (Australia). Program ini ditargetkan sebanyak 1,5 juta sambungan rumah dengan kriteria tidak jauh dari yang diberlakukan di PDAM Surabaya.

Dalam hal ini, Pemerintah Daerah bersama PDAM harus terlebih dulu menyediakan biaya penyambungannya dengan dasar perhitungan Rp 2 juta per sambungan rumah.

Prinsip yang dipegang pada pelaksanaan program OBA ini adalah bahwa yang dibantu itu adalah masyarakat miskin, dan bukan PDAM. Karena sampai sekarang, masih sangat banyak masyarakat yang tidak terlayani karena PDAM terkendala menjangkaunya karena letaknya jauh sementara PDAM tidak punya cukup biaya investasi untuk menjangkau masyarakat miskin itu. Maka dengan program OBA, masyarakat miskin akan terlayani.

Dari sisi PDAM, salah satu persyaratan mengikuti program, harus punya kapasitas yang belum terpakai (idle capacity), dan benar-benar punya daftar tunggu dari kalangan MBR itu. "Ini harus benar-benar dipatuhi, jangan sampai nanti setelah dicek ternyata yang mendapat sambungan justru real estate," Tamin mengingatkan. "Jangan coba-coba main kucing-kucingan, tidak diganti nanti duitnya."

Prinsip Output Based Aid antara lain, apakah betul yang dilayani itu masyarakat miskin, apakah betul aliran air lancar.

Yang jelas, PDAM peserta OBA terbantu dalam menyalurkan kapasitasnya yang lebih (idle), volume air terjual meningkat, dengan sendirinya juga berdampak positif terhadap penyehatan PDAM besangkutan.

Menuju Virtuous Circle

Tamin Zakaria mengatakan, program MBR, baik di perdesaan maupun perkotaan ditujukan untuk membantu mempercepat penyehatan PDAM, sekaligus juga meningkatkan pelayanan air minum kepada masyarakat, jadi sejalan dengan MDGs.

Seperti diketahui, hingga 2005 baru ada 10% PDAM yang sehat, namun sekarang sudah jauh lebih baik, sudah mencapai kira-kira 30% yang sehat. Diharapkan, kondisi hingga akhir 2009 sesuai dengan penilaian BPKP sudah akan ada 140 PDAM yang sehat.

Dulu katanya, kondisi buruk itu bagaikan lingkaran setan (vicious circle). Sikap kepala daerah yang tidak jelas menyebabkan rencana bisnis PDAM juga tidak jelas. Tarif yang di bawah harga produksi menyebabkan kondisi keuangan jelek, dan itu menyebabkan PDAM tidak punya dana untuk investasi sehingga tidak mampu meningkatkan cakupan pelayanan.

Sudah begitu, banyak Direksi yang tidak profesional karena main tunjuk. Ini misalnya tampak dari 68 PDAM yang tidak mampu menyusun laporan keuangan seperti dilaporkan oleh BPKP. "Bagaimana kita mau kerja sementara kita tidak tahu aset kita berapa?" kata Tamin.

la mengumpamakan seseorang tinggal di suatu rumah tetapi tidak tahu ada berapa kamar dan tempat tidur di rumah itu. Itu menyebabkan ia tidak tahu harus menyediakan berapa seprei dan sebagainya. Padahal menurut Permendagri 23 tahun 2006, PDAM harus memperoleh laba maksimum 10% dari return asset. "Bagaimana Direksi bisa mengolah aset sedangkan ia tidak tahu berapa asetnya," katanya memberi contoh.

Itulah salah satu gunanya laporan keuangan PDAM. Ditambah lagi dengan utang sejumlah PDAM yang membelit, membuat kondisi makin jelek, pendek kata sulit bagi PDAM keluar dari lingkaran setan.

Dengan adanya dorongan dari Pemerintah, antara lain merestrukturisasi utang berupa penghapusan utang non¬pokok (bunga dan denda plus bunga denda) melalui PMK 120, ditambah lagi dengan program MBR perdesaan dan OBA di perkotaan, maka kondisi sudah jauh lebih baik.

Yang penting lagi katanya, walaupun sudah ada dorongan dan insentif tadi, masih diperlukan dukungan yang kuat dari kepala daerah (Bupati/Walikota) agar Direksi PDAM dapat menyusun rencana bisnis yang jelas dan terarah, untuk membawa keluar PDAM dari jeratan lingkaran setan tadi ke virtuous circle (lingkaran yang menyejukkan), yang antara lain terlihat dari tarif yang full cost recovery, target yang jelas yang harus dicapai untuk masa tertentu. Dalam hal ini dicontohkan apa yang terjadi di Banjarmasin dan Palembang. Di Palembang, Wali Kota meminta PDAM mengejar cakupan pelayanan 95% pada tahun 2012, sementara Walikota Banjarmasin menargetkan cakupan pelayanan 100% akhir 2010.

Dengan begitu katanya, Direksi PDAM tahu apa yang harus dilakukan, dan mereka tidak ragu lagi dalam menyusun business plan.

Ini katanya salah satu strategi yang perlu diterapkan agar dalam waktu tidak terlalu lama PDAM terlepas dari vicious circle dan masuk ke virtuous circle.

Dukungan Pemda

Sejalan dengan Tamin, Sekretaris Badan Pendukung Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum (BPPSPAM) Uki Ashardiyatno juga menyatakan bahwa peran Pemerintah Daerah sangat menentukan dalam pelayanan air minum bagi masyarakat. PP 16 tahun 2005 menegaskan hal itu, bahwa tanggung jawab penyediaan air minum sebagai kebutuhan pokok masyarakat ada di pundak Pemda, sedangkan PDAM hanyalah operatornya.

Tetapi karena merupakan perusahaan dan tidak semestinya rugi, maka PDAM tentu saja tidak mungkin menjangkau masyarakat berpenghasilan rendah. Untuk itulah Pemerintah, termasuk Pemerintah Daerah melakukan intervensi, menyubsidi PDAM agar juga dapat melayani masyarakat berpenghasilan rendah. Intervensi itu antara lain dalam bentuk program MBR ataupun OBA.

Dananya pada hakikatnya bersumber pada APBN-APBD, kendati ada yang bersumber dari negara-negara donor seperti AUSAID, Bank Dunia, USAID dan sebagainya. Dalam hal ini dana yang berasal dari negara asing atau lembaga internasional baik berupa pinjaman maupun hibah, dialokasikan melalui APBN karena pada prinsipnya semua bantuan dari negara-negara asing harus tercatat pada APBN.

Lalu, PDAM mana saja yang berhak mendapatkan bantuan hibah untuk program MBR tersebut?

Menurut Uki, itu didasarkan pada prioritas-prioritas yang disusun, dan prioritas itu sangat tergantung kepada kondisi Daerah dan kondisi PDAM bersangkutan.

la mencontohkan PDAM Kota Surabaya yang sudah melaksanakan program OBA. Memang adalah semacam utang moral bagi PDAM ini untuk melayani masyarakat miskin di berbagai lokasi seperti arah ke pantai dan berbagai daerah kumuh di pojok-¬pojok kota itu. Namun karena dalam dunia bisnis yang normal masyarakat-masyarakat miskin itu tidak terjangkau oleh PDAM, maka sebagai pengejawantahan kewajiban Pemerintah menyediakan air minum bagi rakyatnya, Pemerintah pun melakukan intervensi. Jadi, ada sikap pro rakyat miskin, ada kesan bahwa PDAM tidak hanya melayani masyarakat berpenghasilan menengah ke atas.

Sebenarnya, masyarakat miskin di berbagai pelosok Kota Jakarta menurut Uki juga berhak atas bantuan program OBA tersebut, tetapi karena mitra kerja PAM Jaya adalah perusahaan swasta, maka Pemerintah tidak mungkin melakukan intervensi secara langsung atas operasional mitra kerja PAM Jaya tersebut.

Kalaulah PAM Jaya tidak bekerja sama dengan mitra swasta mengelola produksi dan distribusi air bersih kepada masyarakat, program OBA degan sendirinya sudah selayaknya juga dinikmati rakyat berpenghaislan rendah di kawasan¬kawasan kumuh dan wilayah pantai.

Jadi, kata Uki, bantuan program MBR tersebut adalah titipan Pemerintah kepada PDAM untuk dapat melayani masyarakat berpenghasilan rendah. Maka jelas pula, bahwa Pemda seharusnya mendukung program ini dengan kebijakan-kebijakan yang mendukung PDAM menyusun dan melaksanakan business plan yang pas sesuai dengan PMK 120, antara lain tercermin dengan tarif yang full cost recovery dan manajemen yang profesional.

Sama seperti Tamin Zakaria, Uki juga menegaskan bahwa yang dibantu di sini bukan PDAM-nya, tetapi membantu rakyat agar mempunyai akses dengan sarana air minum, sesuai dengan target MDGs, yakni meningkatkan pelayanan air minum demi meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan masyarakat.

PDAM Dirangsang

Salah satu PDAM yang telah mengajukan permohonanan untuk disertakan dalam program OBA adalah PDAM Tirta Kahuripan Kabupaten Bogor. Menurut Direktur Teknik PDAM ini, Daryanta, berdasarkan survei lapangan yang mereka buat, ada sekitar 6.650 calon pelanggan penerima bantuan OBA yang diusulkan. Permohonan itu katanya masih dalam penilaian konsultan AUSAID yakni INDII, apakah sudah memenuhi persyaratan yang ditetapkan.

Dijelaskan, bahwa program ini tentu saja menguntungkan PDAM karena selain kapasitasnya yang idle akan terjual, jumlah pelanggan akan bertambah dan pendapatan akan meningkat.    ,

Yang menarik lagi, ada perangsang yang ditawarkan program itu. Bila dalam satu tahun PDAM mampu memasang sambungan OBA melebihi 2.000 sambungan, maka kelebihan dari 2.000 itu akan mendapat pembayaran lebih besar. Jumlah sambungan sampai 2.000 akan mendapat penggantian Rp 2.000.000 per sambungan, dan sambungan antara 2001 sampai 4.000 akan mendapat penggantian biaya sambungan sebesar Rp 3.000.000 dan di atas 4.000 SR akan mendapat penggantian Rp 4.000.000 per sambungan.

Pembayaran biaya sambungan itu katanya baru akan diusulkan kepada pemberi donor, AUSAID setelah aliran air berjalan dengan baik selama 3 bulan. Dana hibah itu akan dibayarkan kepada Pemda, karena Pemdalah yang harus menalangi biaya penyambungan, termasuk pemasangan jaringan dalam hal di lokasi yang dituju belum terdapat jaringan pipa distribusi. Jadi katanya, PDAM dirangsang untuk berupaya menyambung sebanyak¬-banyaknya dalam satu tahun dalam batasan-batasan yang sudah disepakati sebelumnya.

Terobosan di Medan

Program MBR di PDAM Tirtanadi Sumatera Utara dimotori oleh ESP (Environmental Services Program)¬USAID. Menurut Ir. Subahri Ritonga, Direktur Operasional PDAM Tirtanadi, ESP datang di Medan sejak 2005, banyak membantu PDAM mulai dari memelihara sumber air (reboisasi), pemeliharaan lingkungan hidup jangka panjang, termasuk melatih masyarakat setempat untuk ikut memelihara lingkungan, dan sebagainya. Tetapi primadona bantuan ESP yang diterima oleh PDAM Tirtanadi menurut Ritonga adalah langkah-langkah terobosan untuk menjangkau masyarakat berpenghasilan rendah.

Dijelaskan, bahwa secara teknis dan bisnis, hampir tidak mungkin PDAM melayani masyarakat berpenghasilan rendah di Belawan dan berbagai tempat lain. Namun berkat kehadiran ESP untuk menjembatani antara Pemerintah, PDAM dan masyarakat, pelayanan rakyat berpenghasilan rendah di Belawan dapat terlaksana. Yang tadinya hampir tidak mungkin jadi mungkin.

Dalam pelaksanaannya, petugas-¬petugas ESP ikut aktif melatih masyarakat bagaimana bersikap dan bagaimana memakai air dengan benar, bahkan bagaimana mengelolanya. Mereka juga mempersiapkan masyarakat membentuk apa yang dinamakan sebagai CBO (Community Based Organization), yang berfungsi sebagai penghubung PDAM dengan masyarakat. Karena salah satu kunci program ini adalah partisipasi masyarakat dalam arti masyarakat sendiri ikut merencanakan, ikut membangun, dan juga ikut membiayainya.

Program yang difasilitasi ESP ini katanya sudah berhasil menjangkau 3.500 sambungan rumah baru, dan mereka semua dikelompokkan menjadi hanya 40 pelanggan (CBO). CBO tersebutlah yang menagih rekening para pelanggan, yang kemudian menyetorkannya ke PDAM.

Dalam program ditetapkan, tiap tahun akan dikejar 3.500 sambungan baru, dan karena program tersebut untuk masa 5 tahun, target yang harus dicapai nanti adalah 17.500 SR. Dan itu menurut Ritonga jelas sangat menguntungkan PDAM karena jumlah pelanggan meningkat, volume air terjual bertambah, dan pendapatan pun meningkat. Di sisi lain, tugas Pemerintah Daerah untuk menyediakan air bersih bagi warganya dapat terlaksana secara bertahap.

OBA Surabaya


Program OBA untuk perluasan akses air minum bagi MBR di Kota Surabaya adalah salah satu program dan aksi nyata Pemerintah (Pusat dan Daerah) dengan dukungan Bank Dunia. Cakupan pelayanan PDAM Kota Surabaya hingga 2009 adalah 71% sementara 29% yang belum terjangkau sebagian besar berada di wilayah pinggiran kota.

Pendekatan yang dilakukan di sini adalah gabungan antara bottom up (partisipasi masyarakat) dan top down (kebijakan pemerintah). Hampir sama dengan yang dilakukan di Medan, program OBA di Surabaya diawali dengan persiapan berupa sosialisasi, pembentukan daftar panjang, survei penilaian atas daftar panjang sesuai dengan kriteria, konfirmasi usulan dan penetapan oleh Tim Teknis Pemerintah.

Jumlah maksimal yang dapat dibiayai program OBA di Surabaya adalah 15.000 SR. Masyarakat bertanggung jawab merencanakan, membiayai dan membangun jaringan distribusi di sisi hilir meter induk serta sambungan rumah secara swadaya. Adapun biaya sambungan rumah adalah Rp 381.900 sedangkan untuk biaya sambungan skema meter induk, masyarakat hanya dikenakan biaya sebesar Rp 992.000 untuk satu sambungan meter induk.

Keterlibatan Masyarakat

Aspek penting yang membedakan Layanan Sambungan Komunal (LSK) dengan jenis layanan sambungan rumah PDAM adalah keterlibatan masyarakat dalam pembangunan, pemeliharaan dan pengelolaan layanannya. LSKmembutuhkan kemitraan antara PDAM dengan masyarakat penghuni kawasan, PDAM bertugas untuk menyediakan air minum sampai ke titik meter air komunal, dan masyarakt bertugas untuk merencanakan, membangun dan mengelola layanan distribusi air di kawasannya sendiri.

Metode layanan seperti ini diperkenalkan oleh USAID melalui Environmental Serices Program (ESP) kepada sejumlah PDAM.

Layanan LSK sudah diterapkan di beberapa wilayah Asia, salah satu di antaranya di kawasan MBR di Manila, ibu kota Filipina. Sedangkan untuk Indonesia, LSK pertama kali dikembangkan di Sungai Mati, Medan, Sumatera Utara.

LSK memiliki komponen teknis yang sederhana dan mudah disesuaikan dengan kondisi fisik suatu kawasan. PDAM akan menyediakan air minum sampai ke meter air komunal. Air minum kemudian didistribusikan masyarakat ke hunian¬huniannya dengan memanfaatkan jaringan distribusi lingkungan. Total penggunaan air dari seluruh masyarakat pengguna LSK akan tercatat di meteran air komunal. Secara kolektif, masyarakat membayar tagihan PDAM sesuai dengan volume air yang digunakan masing-masing.

Hingga November 2009 LSK versi USAID sudah dikembangkan di enam wilayah yakni Sumatera Utara, DKI Jakarta, Kabupaten Sidoarjo, Solo, Kota Surabaya dan Jayapura.

Jumlah hunian yang sudah tersambung dengan layanan yang diperkenalkan oleh USAID melalui ESP sudah mencapai 3.900 sambungan. Di samping itu pada tahun 2009, PDAM Tirtanadi Sumatera Utara sedang melaksanakan pemasangan LSK untuk melayani 3.500 sambungan. Victor Sihite



Post Date : 28 Februari 2010