Pemda Kurang Peduli Banjir

Sumber:Pikiran Rakyat 04 April 2005
Kategori:Banjir di Luar Jakarta
BANDUNG, (PR).-Warga sejumlah daerah korban banjir menilai aparat kecamatan dan kabupaten baru mau peduli terhadap korban banjir bila pemerintah dari provinsi datang meninjau. Sejauh ini penanganan dan perhatian terhadap masalah banjir hanya dilakukan jajaran desa maupun pengurus warga setempat, serta pengusaha sekitar lokasi bencana.

Hal tersebut diungkapkan sejumlah warga korban banjir yang ditemui "PR" di sejumlah lokasi, Minggu (3/4). "Sampai saat ini pemerintah daerah mulai dari tingkat kecamatan sampai kabupaten masih bersifat menjilat dan ABS (asal bapak senang) dalam memberikan laporan ke gubernur," ujar Didin (42), salah seorang korban banjir, warga RW 09 Kampung Bojong Citeupus, Desa Cangkuang, Kec. Dayeuhkolot, Kab. Bandung yang akhir Februari lalu dikunjungi Gubernur Jabar, Bakorwil Priangan, Bupati Kab. Bandung, dan sejumlah camat.

Didin masih ingat, saat melakukan kunjungan, Gubernur Jawa Barat Danny Setiawan sempat berdialog dengan korban banjir. Saat itu gubernur mengatakan bahwa upaya pembersihan sampah agar menjadi prioritas supaya tidak berkembang menjadi sumber penyakit. "Tapi, nyatanya hanya sebagian sampah yang dibersihkan. Sementara sampah yang menyumbat jalannya aliran sungai dibiarkan. Akibatnya, lihat sendiri, kami sebagai warga yang menjadi korban," ujarnya.

Selain itu, Didin dan sejumlah warga lainnya sangat menyesalkan kurang tanggapnya petugas kesehatan dari Kab. Bandung. Alasannya, petugas kesehatan tidak ada yang berkeliling ke sejumlah tempat penampungan warga yang usianya sudah lanjut. Akibatnya, penanganan warga dan korban banjir dilakukan seadanya karena sulit untuk membawa ke posko kesehatan yang didirikan PMI dan RSI Al Ihsan di jembatan Citarum atau ke puskesmas terdekat.

Air bersih

Sementara itu, sejumlah warga Kampung Balero, Desa Dayeuhkolot, Kec. Dayeuhkolot, Kab. Bandung yang mengungsi ke emperan toko di Jln. Raya Dayeuhkolot, mengeluhkan kurangnya persediaan air bersih untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka, seperti memasak atau minum. "Sejauh ini kita masih membeli air mineral, tapi kalau terus-terusan membeli, uang akan cepat habis hanya untuk membeli air," ujar Mahmudin (38), warga Kampung Balero, Kec. Dayeuhkolot.

Selain merasa diperlakukan tidak adil dalam pembagian jatah air bersih, warga Kampung Balero juga mengeluhkan pembagian sumbangan yang mereka nilai tidak merata. "Memang sih warga di sini (Kampung Balero) sebagian orang mampu (kaya). Tetapi, sebagian warga lainnya di sini juga ada yang tak mampu, sehingga pantas untuk mendapatkan bantuan," ujarnya.

Kurang tanggapnya aparat pemerintah daerah terhadap nasib korban banjir, juga banyak dikeluhkan oleh warga di Kec. Bojongsoang, Majalaya, dan Solokanjeruk. "Mungkin karena di sini dianggap sudah biasa dan di daerah lain seperti Dayeuhkolot dan Baleendah airnya lebih tinggi, jadilah kami di sini kurang mendapat perhatian," ujar Eman (35), warga Desa Cijagra, Kec. Bojongsoang, Kab. Bandung.

Eman menilai, aparat pemerintah daerah, baik di tingkat kabupaten maupun provinsi, masih kurang perhatian terhadap persoalan banjir dan nasib warga yang menjadi korban banjir. Padahal, menurutnya, daerah-daerah yang sekarang terkena banjir seperti Bojongsoang, Majalaya, dan Solokanjeruk, telah memberi kontribusi ekonomi cukup besar terhadap pendapatan daerah dan pusat.

Selama ini, Bojongsoang, Majalaya, dan Solokanjeruk dikenal sebagai penghasil bibit ikan air tawar dan ayam pedaging. "Akibat bencana banjir pada musim hujan ini, kami menderita kerugian ratusan juta. Tapi, sedikit pun kami tidak mendapat perhatian," keluh Anwar menambahkan.

Dikatakan Anwar, akibat luapan Sungai Citarum, meskipun kerugian yang dideritanya belum dapat dihitung secara pasti, berdasarkan perkiraan bencana banjir telah mengakibatkan dirinya rugi ratusan juta rupiah. Kerugian itu akibat jebolnya kolam ikan yang belum sempat ia panen.

Sementara itu, sejumlah warga di Kampung Parunghalang, Desa Andir, Kec. Baleendah, yang daerahnya terisolasi akibat banjir, mengharapkan bantuan tenda untuk mengungsi. Kurangnya tenda penampungan, sementara hujan terus turun, menyebabkan warga banyak yang memilih mengungsi ke rumah kerabat.

Seperti yang dilakukan pasangan Somali (41) dan Dedeh (38) bersama tiga anaknya. "Karena di tenda penampungan sudah berjejal, kami terpaksa memilih mengungsi ke rumah adik di Cibaduyut," ujar Somali, yang saat ditemui "PR" tengah menunggu angkutan umum dengan membawa barang bawaan seadanya.

Berdasarkan pantauan "PR" di lapangan, Minggu (3/4) siang hingga menjelang petang, hujan deras kembali mengguyur Bandung Selatan. Sejumlah warga memilih bertahan di sejumlah tempat pengungsian dengan fasilitas seadanya.

Memasuki hari kelima, Minggu (3/4), para korban banjir di Bandung Selatan yang untuk ke dua kalinya terjadi di tahun 2005 ini, mulai terlihat antre di posko kesehatan yang didirikan PMI Jabar dan RSI Al Ihsan. Para korban banjir umumnya menderita penyakit disentri, gatal-gatal, sesak napas, sakit kepala, dan stres akibat kurang tidur.

Sejumlah petugas medis di posko kesehatan yang didirikan di jembatan Citarum mengatakan, sejauh ini penyakit yang diderita warga pengungsi masih tergolong ringan dan dapat diatasi dengan obat yang tersedia. "Namun bila kondisi obat menipis dan banjir tidak kunjung surut, kemungkinan jumlah warga yang sakit akan terus bertambah dan terpaksa dirujuk ke rumah sakit seperti halnya pada bulan Februari lalu," ujar Rufaedah, salah seorang tim medis kepada "PR".

Sementara itu, akibat tidak kunjung surutnya air di ruas Jln. Mohammad Toha/Jln. Raya Dayeuhkolot dan Jln. Raya Banjaran, arus lalu lintas dari dua arah di jalur tersebut terhambat. Warga yang hendak bepergian terpaksa harus turun naik dengan berganti-ganti kendaraan. Seperti yang dialami Yayan (28) warga Kelurahan/Kec. Baleendah yang hendak pergi ke Bandung. Dari rumah ia naik angkutan umum, lalu disambung ojek, disambung pedati, dan baru disambung lagi naik angkutan umum, sehingga ongkos yang harus dibayarkannya menjadi lebih besar.

Karyawan pabrik resah

Sementara itu, ratusan ribu karyawan pabrik tekstil yang tersebar di Kec. Dayeuhkolot, Kab. Bandung, resah setelah perusahaan tempat mereka bekerja tutup akibat banjir yang menyerang wilayah tersebut. Mereka khawatir perusahaan tempat mereka menggantungkan hidup, tidak beroperasi lagi dalam waktu cepat.

"Setelah banjir menyerang Dayeuhkolot, kami libur karena pabrik terendam air. Akibatnya, penghasilan kami dipastikan berkurang. Kami juga khawatir perusahaan tidak bisa secepatnya beroperasi lagi," tutur sejumlah karyawan pabrik yang berhasil ditemui "PR", di Dayeuhkolot, Minggu (3/4).

Dayeuhkolot, seperti diketahui, memang merupakan kawasan pabrik ternama di Bandung Selatan. Di wilayah ini sedikitnya terdapat 15 perusahaan tekstil yang beroperasi, baik perusahaan besar maupun kecil. Pabrik-pabrik tersebut, sudah cukup lama menjadi tempat ratusan ribu karyawan menggantungkan hidupnya.

Menurut sejumlah karyawan, jika pabrik mereka terus-terusan terendam air, kerugian yang dialami pabriknya akan semakin membengkak. "Sekarang saja, kami dengar kerugian yang dialami masing-masing perusahaan sebesar Rp 4 miliar. Apalagi kalau tidak cepat beroperasi?" kata mereka.

Mereka, bahkan khawatir perusahaan tempat mereka bekerja pada akhirnya akan gulung tikar akibat terlalu lama tidak beroperasi. Jika hal itu terjadi, tutur mereka, dipastikan akan terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) massal di Kab. Bandung, dan mereka adalah korbannya. "Karena itu, kami meminta pemerintah segera memerhatikan persoalan itu dengan serius," kata Dadan (35), dan puluhan karyawan pabrik tekstil lainnya kepada "PR".

Dalam kaitan itu, Ketua DPD KNPI Kab. Bandung H.M. Dadang Supriatna, S.I.P yang juga Kepala Desa Tegalluar, Kab. Bandung, mengatakan bahwa tidak beroperasinya belasan pabrik di Dayeuhkolot tersebut merupakan pukulan telak bagi dunia usaha di Kab. Bandung. Ia juga mengatakan bahwa pemda diharapkan segera melakukan tindakan-tindakan nyata untuk menyelamatkan para pengusaha dan ratusan ribu karyawannya.

Relokasi

Lebih jauh Dadang mengatakan, setelah terjadinya banjir di Dayeuhkolot, diharapkan Pemkab Bandung segera mengeluarkan instruksi ke para pengelola pabrik untuk merelokasi pabrik-pabrik yang berada di cekungan Bandung ke daerah yang lebih aman. Daerah tersebut, misalnya Kota Baru Tegalluar, atau daerah lainnya. Dalam melaksanakan relokasi, katanya Pemkab Bandung diharapkan memberikan kemudahan dalam perizinan serta pajak-pajak. Dikatakan, dalam Perda No.12/2001 tentang RTRW Tegalluar yang dikatakan termasuk "kota baru", ada disebut danau. "Nah, lebih baik, perda tersebut direvisi. Danau lebih baik dipindahkan ke cekungan Bandung yang berada di daerah Dayeuhkolot, dan pabrik-pabrik dipindahkan ke Tegalluar. Hal itu bukan pendapat DPD KNPI saja, tetapi juga aspirasi dari pemuda Dayeuhkolot," katanya. Menurutnya, langkah tersebut diyakini akan menolong perusahaan berikut karyawannya.(A-87/A-112)***



Post Date : 04 April 2005