Pemulung Juga Berteriak

Sumber:Majalah Tempo - 02 Februari 2009
Kategori:Air Limbah

DENGAN lahap Made Rena, 37 tahun, menyantap makan malamnya. Istrinya, Maya, sedang melayani sejumlah pembeli di warung yang menjadi satu dengan rumah mereka. Di dekat warung itu beraneka barang bekas terlihat bertumpuk-tumpuk. Ada besi tua, ember plastik, kardus, kertas koran, serta botol dan gelas plastik. ”Hampir semua ada,” kata Made. 

Made memulai bisnis jual-beli barang bekas ini empat tahun silam. Lelaki asal Bali ini memiliki sekitar 30 anak buah, yang rata-rata sehari menyetor 10 kilogram plastik dan 3 kilogram besi bekas. Limbah plastik yang paling banyak terkumpul adalah sisa botol minuman. ”Sampah di Jakarta tidak pernah habis,” katanya.

Di lahan yang luasnya sekitar 650 meter persegi di kawasan Radio Dalam, Jakarta Selatan, itu Made selalu siap menerima setoran limbah dari mana pun. Dari lapak miliknya ini pula, sepuluh hari sekali, dua truk akan datang mengangkut barang-barang bekas miliknya yang telah ia sortir. Truk itu milik agen barang bekas besar yang menjual lagi barang-barang tersebut ke pabrik-pabrik. ”Tapi, kalau kurang bahan, ada pemilik pabrik yang datang langsung ke saya,” ujarnya.

Walau bisnisnya terus berputar, bukan berarti tak ada ancaman yang datang. Ancaman itu adalah membanjirnya limbah dari negeri tetangga, seperti Malaysia dan Cina, yang diakuinya berkualitas dan harganya murah.

Ancaman ini makin nyata saat Oktober lalu Menteri Perdagangan mengeluarkan peraturan tentang Ketentuan Impor Limbah Non-Bahan Berbahaya dan Beracun. Aturan ini menyebutkan 61 jenis limbah non-bahan berbahaya dan beracun yang boleh diimpor. Sebenarnya ini bukan aturan baru. Pada 1997, aturan serupa juga ada. Hanya, ”kelebihan” peraturan baru ini, Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 41 Nomor 2008, memasukkan limbah plastik sebagai limbah yang boleh diimpor.

Dalam peraturan yang ditetapkan pada 31 Oktober 2008 itu, dijelaskan limbah non-bahan berbahaya dan beracun adalah sisa (produk yang belum habis terpakai dalam proses produksi), skrap (komponen barang yang terurai dari bentuk aslinya), atau reja (potongan-potongan) yang tidak masuk klasifikasi limbah berbahaya dan beracun. Di antaranya kertas, plastik, dan sisa sutra. ”Bentuk ban utuh atau pakaian dilarang,” kata Kepala Subdivisi Barang Berbahaya dan Limbah Direktorat Impor Departemen Perdagangan Didi Sumedi.

Limbah non-bahan beracun dan berbahaya, menurut aturan, hanya dapat diimpor oleh perusahaan yang melakukan kegiatan usaha industri dan mendapat pengakuan sebagai importir produsen limbah itu dari Direktur Impor. Menurut Didi, tak ada batasan wilayah untuk mengolah limbah impor itu. Perusahaan yang mengolah limbah impor itu tersebar di Jawa Timur, Banten, Bekasi, dan Batam.

Salah satu perusahaan pengimpor limbah plastik adalah PT Harvestindo International, yang berlokasi di Tangerang. Menurut juru bicara perusahaan ini, Tono Anggono, pihaknya mendatangkan limbah dari luar lantaran limbah dari dalam susah didapat. ”Penyerapan dari lokal hanya 20 persen,” ujarnya.

Yang pasti, dibukanya keran impor limbah itu memang membuat banyak pemulung dan pengepul barang bekas lokal terpukul. Harga limbah besi, yang dulu sekilogram sekitar Rp 6.000, kini turun jadi Rp 2.200. Adapun limbah plastik, yang dulu Rp 4.000 per kilogram, kini harganya tak lebih dari Rp 1.900 jika dijual ke pabrik. ”Semua harga barang bekas lokal jatuh,” kata Made.

Membanjirnya limbah plastik dari luar negeri itu, menurut Made, telah memukul telak para pemulung dan mereka yang selama ini menggantungkan hidupnya dari jual-beli limbah. Pemasukan mereka otomatis juga turun, sebagian bahkan gulung tikar dan pulang kampung. ”Barang-barang bekas dari luar itu memang lebih murah,” kata Made. Martha W. Silaban



Post Date : 02 Februari 2009