Penjaga Kelestarian Gambut

Sumber:Kompas - 04 Desember 2007
Kategori:Climate
Tanah di sekitar Kanal Sebangau Sanitra Indah, Kalimantan Tengah, pada minggu kedua November 2007 terlihat lebih hijau dibandingkan dengan dua tahun lalu. Kalau saat itu banyak kawasan kering yang menguning, kini kawasan di kiri kanan kanal yang masuk Taman Nasional Sebangau lembab dan didominasi tumbuhan menghijau.

Tabat adalah jajaran kayu galam (Meulaluca cajuputi). Di sela-selanya diisi tumpukan karung berisi tanah mineral dan dipasang melintang serupa bendungan mini sehingga menghalangi laju air kanal. Dengan adanya tabat, permukaan air tanah sekitar terjaga karena air dari kawasan gambut tidak lagi terkuras masuk kanal.

Di Kanal Sebangau Sanitra Indah di Kabupaten Pulang Pisau, tabat dibuat World Wide Fund for Nature. Namun, Wetlands International Indonesia Programme Site Kalimantan pimpinan Aloe Dohong, sejak 2004, sudah mengawali pembuatan delapan tabat di Kalteng, tepatnya di blok A Utara yang masuk kawasan eks proyek lahan gambut (PLG).

Maret hingga Juni 2007, Central Kalimantan Peatland Project (CKPP) membangun lagi 12 tabat di kanal-kanal lahan PLG yang berlokasi di Kecamatan Mentangai, Kabupaten Kapuas. Pembangunan tabat melibatkan 12 kelompok masyarakat, masing-masing beranggotakan 12- 20 orang.

Pelaksana CKPP adalah konsorsium Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah, Wetlands International, Universitas Palangkaraya, CARE, Yayasan Borneo Orangutan Survival, dan WWF. Pemeliharaan tabat diserahkan kepada kelompok masyarakat yang masing-masing mendapat dana hibah Rp 25 juta hingga Rp 30 juta. "Warga dapat memanfaatkan hibah untuk mengembangkan ekonomi budidaya ikan dan jelutung," kata Aloe.

Sebagai kompensasi, warga harus menjaga tabat dan menanami kawasan di sekitar bendungan agar hijau dan tidak mudah terbakar di musim kemarau.

Sejarah tabat

Pembuatan tabat di Kalteng terkait erat dengan banyaknya kanal di lahan PLG yang membelah kubah-kubah gambut. Fungsi kanal yang dulu diharapkan mampu mengalirkan air dari Sungai Barito, Kapuas, dan Mentangai untuk mencuci keasaman tanah ternyata meleset. Kanal di areal PLG tersebut justru mengeringkan air kawasan gambut.

Kedalaman kanal yang mencapai dua meter dan kelebaran kanal hingga 30 meter di lahan eks PLG tersebut membuat air terserap dan selanjutnya tergelontor ke sungai.

Fungsi kanal bukan lagi sebagai saluran irigasi, tetapi sebagai drainase kawasan. Gambut pun menjadi kering dan tidak dapat dipulihkan. "Akibatnya, gambut mudah terbakar," katanya.

Tak heran apabila kawasan eks PLG beberapa tahun lalu dijuluki pabrik penghasil asap terbesar di Kalteng karena sering terbakar di musim kemarau. Saat lahan terbakar, karbon dioksida (CO) sebagai salah satu gas rumah kaca pun terlepas di udara sehingga berkontribusi pada pemanasan global.

Dalam Media Workshop di Hotel Dandang Tingang, Palangkaraya, Sabtu (17/11), Aloe memaparkan, antara lima hingga delapan juta hektar hutan rawa gambut di Asia Tenggara mengalami deforestasi dan dikeringkan untuk pertanian.

Di lahan eks PLG Kalteng, panjang saluran drainase yang mencapai 4.400 kilometersetara empat kali panjang Pulau Jawajuga melepaskan emisi CO2 sebesar 50 ton, setara dengan 16 ton karbon per hektar per tahun. Maka, akibat drainase saja, emisi karbon tahunan di Asia Tenggara berkisar 0,08 hingga 0,13 giga ton.

Untunglah ada tabat, yang air hasil bendungannya dapat berfungsi sebagai sumber air bagi tim pemadam seandainya terjadi kebakaran lahan. Lahan kritis juga bisa kembali ditanami. C Anto Saptowalyono



Post Date : 04 Desember 2007