Penuhi Kebutuhan Pokok Air Masyarakat

Sumber:Suara Publik - 25 April 2007
Kategori:Air Minum
Bulan Maret sudah lewat, pertanda musim hujan mulai seret. Berarti bulan-bulan kering akan segera datang. Artinya drama kekeringan akan kembali berputar mengisi panggung kehidupan masyarakat kita, khususnya di daerah-daerah langganan kering. Hampir pasti cerita sama tentang warga masyarakat yang sengsara karena kesulitan memperoleh air akan terdengar lagi, mengingat tidak ada upaya khusus atau terobosan yang dilakukan oleh pemerintah selama ini. Sungguh memprihatinkan menyaksikan situasi semacam itu. Namun apa boleh buat, itulah kenyataan yang ada dan harus diterima.

Apakah memang tidak ada yang dilakukan pemerintah untuk mengatasi masalah kesulitan air musiman ini? Sebetulnya ada dan alokasi anggarannya pun lumayan. Untuk 2007, anggaran penyediaan air minum dari APBN mencapai Rp 1,5 trilyun atau 0,22 % dari total APBN. Angka ini naik sekitar Rp 0,7 trilyun atau hampir 80% dari tahun 2006. Anggaran sebesar itu digunakan untuk membiayai dua program, yaitu Program Penyediaan dan Pengelolaan Air Baku (Rp 0,4 triyun) dan Program Pengembangan Kinerja Pengelolaan Air Minum dan Air Limbah (Rp 1,05 trilyun). Itu belum termasuk anggaran dari APBD di setiap daerah. Misalnya Kabupaten Wonogiri, pada 2007 mengalokasikan Rp 75 juta untuk menyediakan air bersih pada musim kering (Bappeda Wonogiri, 2005). Lalu apa yang keliru jika problem kesulitan air selalu muncul setiap tahun pada musim kering?

Diperlukan kajian tersendiri untuk mengetahui apa yang menyebabkan masalah kesulitan air meskipun pemerintah sudah menjalankan program pengadaan air. Belum juga bisa dikatakan program pemerintah itu gagal. Namun setidaknya, munculnya masalah yang sama hampir setiap tahun dengan kecenderungan meningkat, menandakan program-program pengembangan air minum yang dilaksanakan pemerintah selama ini belum efektif.

Dari sisi publik, masih banyaknya masyarakat yang mengalami kesulitan memenuhi kebutuhan air dalam kehidupannya sehari-hari dapat diartikan sebagai kegagalan negara menjamin hak setiap warga negara untuk memperoleh air. Jaminan ini disebutkan dalam Pasal 5 Undang Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. Bahkan dengan telah diratifikasinya kovenan internasional tentang hak-hak ekonomi, sosial dan budaya lewat Undang Undang Nomor 11 tahun 2005, kegagalan tersebut dapat menyeret Indonesia sebagai pelanggar HAM.

Mengapa? Karena akses warga negara atas air untuk kebutuhan hidup sehari-hari termasuk dalam kovenan HAM tersebut. Pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat akan air sebagaimana disebutkan dalam undang-undang tersebut seharusnya menjadi misi pertama dan yang paling pokok dari pemerintah dalam urusan air. Misi lainnya, seperti untuk mendukung pengembangan ekonomi, boleh dijalankan setelah seluruh warga masyarakat dapat dijamin kebutuhannya secara minimal. Sangat ironis jika dengan sumber daya air yang berlimpah, masih ada warga masyarakat yang susah air, sementara sebagian warga atau kelompok masyarakat lainnya menikmati pelayanan yang lebih dari cukup dan bahkan memperoleh keuntungan dari urusan air.

Keterbatasan anggaran kerap dijadikan alasan untuk memaklumi hasil kerja pemerintah yang belum memenuhi harapan tersebut. Meskipun sumber daya air melimpah, namun ketersediaannya dalam ruang, waktu dan mutu bervariasi, sehingga tidak mudah dan memakan biaya besar untuk membuat alokasi dan distribusi air secara merata. Sebuah perhitungan menyebutkan bahwa investasi yang dibutuhkan untuk membangun prasarana air bersih mencapai rata-rata Rp 4 juta/orang.

Jika sampai 2004 terdapat 177,4 juta orang yang belum mendapat akses perpipaan (Dirjen Ciptakarya, 2007), maka diperlukan Rp 709,6 trilyun untuk membangun jaringan perpipaan bagi seluruh warga masyarakat tersebut. Suatu angka yang fantastis dan hampir tidak mungkin disediakan oleh anggaran negara. Bahkan meskipun dikhususkan bagi hanya warga masyarakat miskin yang berjumlah 36,1 juta jiwa, dana yang dibutuhkan masih cukup besar, yaitu Rp 144,4 trilyun. Dengan alokasi dana APBN 2007 yang tidak lebih dari Rp 1,5 trilyun (tidak semuanya untuk membangun prasarana air bersih), diperlukan waktu hampir satu abad (100 tahun) untuk menjamin pelayanan air melalui jaringan perpipaan. Meskipun belum dimasukkan anggaran dari APBD, namun jumlahnya diperkirakan masih relatif kecil dibanding dengan kebutuhan yang ada.

Mengacu pada sasaran RPJM (Rencana Pembangunan Jangka Menengah) 2004-2009, tambahan sebanyak 73,5 juta jiwa diharapkan dapat dilayani oleh jaringan perpipaan pada 2009. Sementara untuk mencapai target MDGs (Millineum Development Goals), tambahan sebanyak 30,4 % atau 81,52 juta jiwa diharapkan dapat dilayani oleh jaringan perpipaan pada 2015. Itu berarti dibutuhkan total dana sebesar Rp 294 trilyun atau Rp 58,8 trilyun/tahun untuk mencapai target RPJM. Sedang untuk target MDG dibutuhkan dana total sebesar Rp 326,08 trilyun atau Rp 32,6 trilyun per tahun untuk mencapai target MDGs, terhitung mulai 2004. Dibandingkan dengan alokasi dana dari APBN pada 2007 ini, jumlah dana tersebut jelas tidak mungkin dipenuhi.

Angka investasi Rp 4 juta/orang mungkin memang masih perlu dikonfirmasi, namun meskipun dikoreksi sebanyak 50%, jumlahnya tetap saja besar. Oleh karena itu, lebih realistis untuk mendekati persoalan itu lewat sejumlah penyesuaian.

Pertama, fokus sasaran penyediaan air minum oleh pemerintah lebih dipertajam dan dipersempit. Penajaman dapat dilakukan dengan membidik langsung kelompok masyarakat yang secara teknis dan ekonomi berada di ambang batas pemenuhan kebutuhan mininum air. Jika mengacu pada standar WHO, tingkat pelayanan menengah dengan rata-rata kebutuhan air sebanyak 50 liter/kapita/hari dapat dijadikan batas minimal tingkat pelayanan yang harus dijamin oleh pemerintah. Batas ini memang masih jauh dibawah standar yang kini ditetapkan oleh pemerintah (100 liter/kap/hari). Namun jika dengan batas lebih rendah tersebut dapat lebih dipastikan jaminan untuk seluruh warga masyarakat sepanjang tahun, akan lebih baik daripada masih menyisakan warga yang mengalami kesulitan.

Kedua, prioritas sasaran diutamakan pada kawasan-kawasan paling kritis, baik di perkotaan maupun desa.

Ketiga, memanfaatkan potensi dan peran masyarakat setempat untuk memenuhi kebutuhan air mereka masing-masing. Pemerintah dapat membatasi peranannnya sebagai fasilitator dan menyediakan bantuan yang diperlukan sesuai kebutuhan. Prasarana juga dapat dipilih yang paling murah dan sederhana.

Keempat, sebagai implikasi dari penajaman fokus tersebut pemerintah perlu melakukan orientasi perannya agar lebih berkonsentrasi pada misi pelayanan umum dalam penyediaan air minum dan membatasi peranannya hanya sebagai regulator dalam penyediaan air minum untuk tujuan komersial.



Post Date : 25 April 2007