Perda Rawa Tidak Efektif, Rawa di Palembang Diuruk

Sumber:Kompas - 2 November 2004
Kategori:Drainase
Palembang, Kompas - Peraturan Daerah No 13 Tahun 2003 tentang Pembinaan dan Retribusi Pengendalian Pemanfaatan Rawa atau Perda Rawa yang dikeluarkan Pemerintah Kota Palembang, Sumatera Selatan, tidak berjalan secara efektif. Pengurukan rawa untuk kepentingan hunian dan pertokoan berjalan terus sehingga daerah resapan air yang berfungsi mengantisipasi banjir secara alamiah makin berkurang.

Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Palembang Nurkholis dan Direktur Eksekutif Daerah Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumatera Selatan (Sumsel) Aidil Fitri, di Palembang, Senin (1/11), mengatakan, pelaksanaan Perda Rawa cenderung didekati dari perspektif profit ekonomi demi menarik retribusi atas setiap penimbunan rawa. Akibatnya, semangat konservasi rawa dalam perda dibelokkan untuk kepentingan meningkatkan pendapatan daerah.

Kedua aktivis hukum dan lingkungan itu berharap Pemerintah Kota Palembang hendaknya mengoptimalkan pelaksanaan perda untuk mencegah penimbunan rawa secara liar. Jika perlu, diambil tindakan hukum yang tegas bagi setiap pelanggaran. Langkah tersebut penting sebagai salah satu cara untuk melindungi warga dari musibah banjir yang terus terjadi setiap musim hujan.

"Perda Rawa memiliki semangat positif, yaitu untuk mengkonservasi rawa-rawa yang dipersiapkan sebagai daerah resapan air. Perda itu mengatur, setiap pemilik lahan rawa lebih dari 1.000 meter persegi, harus menyisakan lahannya seluas 50 persen untuk retensi air," kata Aidil.Rawa-rawa yang akan dikonservasi juga perlu ditentukan dari sekarang sehingga dapat segera dilindungi dari proses pengembangan pembangunan kota. Tahun 1990-an, sekitar 37 persen dari total wilayah Kota Palembang seluas 400,6 kilometer merupakan daerah rawa permanen yang berfungsi menyerap air. "Kami perkirakan, rawa permanen itu tinggal 25 persen dari luas kota. Pembangunan ruko dan perumahan yang menimbun rawa-rawa terus dilakukan, terutama antara tahun 2000 sampai sekarang," kata Nurkholis.Walhi Sumsel mencatat, daerah rawa yang ditimbun antara lain meliputi kawasan Jakabaring, Kecamatan Seberang Ulu I dan II, yang dijadikan Stadion Sriwijaya dan Pasar Induk, daerah Kertajaya, Kecamatan Kertapati, yang ditimbun untuk terminal, dan perumahan Sako di Kecamatan Sako. Bangunan Novotel dan Palembang Trade Center (PTC) juga dibangun di atas timbunan rawa besar di tengah kota.

Terancam banjir

Menurut Mustafa Kamal, tim ahli pemerintah kota dan pakar perubahan fungsi lahan Universitas Sriwijaya (Unsri), Senin (1/11), pembangunan dengan cara pengurukan rawa berpotensi melestarikan banjir karena sekitar 48 persen wilayah Palembang terdiri dari rawa.Rawa yang mempunyai fungsi sebagai kolam penampungan air seharusnya tidak ditutup oleh bangunan karena akan mengganggu kestabilan tata air. Pengurukan itu membuat air yang sebelumnya dapat tertampung di rawa, akan beralih ke jalanan atau kawasan lain yang lebih rendah sehingga menyebabkan banjir di lokasi-lokasi tertentu.

Berdasarkan data Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Palembang, dalam tiga tahun terakhir telah dan sedang dilakukan pembangunan tiga mal besar dan puluhan rumah toko.Selain itu, Pemerintah Kota Palembang juga membangun sebuah jalan lingkar barat yang baru, yaitu Jalan Soekarno-Hatta, dengan menguruk lahan bekas sawah dan rawa, baik untuk badan jalan maupun untuk kawasan komersial di sekitar jalan tersebut.

Pengamatan Kompas, pengurukan rawa menjadi bangunan-bangunan dengan tingkat ketertutupan lahan atau dikenal dengan koefisien dasar bangunan (KDB) yang tinggi banyak terpusat di kawasan pusat kota, seperti kawasan Jalan Sudirman, Jalan Angkatan 45, Jalan Basuki Rahmat, dan Jalan Radial. Selain diisi dengan bangunan yang besar dan menutupi lahan, halaman dan tempat parkir pertokoan itu juga diplester dengan paving atau conblock.

Kondisi itu menyebabkan air hujan tidak dapat terserap tanah dan mengalir ke saluran drainase atau ke jalan, jika saluran itu sudah penuh.Menurut staf pengajar Teknik Sipil Universitas Sriwijaya Bakrie Oemar, pengurukan rawa tersebut menambah parah kondisi banjir yang selalu terulang di Palembang.

Sebelumnya, banjir di daerah Palembang selalu disebabkan oleh topografi yang rendah (beberapa lokasi berada di bawah permukaan Sungai Musi), pasang surut Sungai Musi, pendangkalan di beberapa kolam retensi, dan penyumbatan serta kecilnya dimensi saluran drainase.

Pengurukan rawa juga telah menyebabkan penurunan jumlah anak sungai yang berfungsi sebagai saluran drainase sekunder dan sarana transportasi dalam kota, dari 280 menjadi 60 anak sungai. Kondisi tersebut mengakibatkan air hujan di dalam kota tidak dapat mengalir dengan sempurna menuju ke Sungai Musi.(iam/eca)

Post Date : 02 November 2004