Perdagangan Karbon Libatkan Semua Pihak

Sumber:Kompas - 10 Desember 2007
Kategori:Climate
Nusa Dua, Kompas Perdagangan karbon masih menjadi isu panas dalam berbagai pembahasan di dalam maupun di luar persidangan resmi COP-13 UNFCCC di Nusa Dua, Bali. Meski demikian, secara paralel telah muncul inisiatif-inisiatif di luar struktur formal yang mengangkat mekanisme lain melintasi masalah perdagangan karbon dan melibatkan semua pihak, mulai dari masyarakat lokal, NGO, swasta, hingga lembaga-lembaga internasional.

Inisiatif itu terungkap pada seminar Investing in Ecosystems- A New Partnership Between Conservation and Capital yang sekaligus sebagai peluncuran Green Renaissance, Minggu (9/12) di Nusa Dua.

Kami sudah melihat inisiatif Bupati Malinau yang bekerja sama dengan BTRF (The Borneo Tropical Rainforest Foundation) di bawah prakarsa Green Renaissance, lanjut Sarwono Kusumaatmadja, mantan Menteri Negara Lingkungan Hidup, ketika membuka seminar tersebut.

Kami juga melihat prakarsa Gubernur Papua Barnabas Suebu dan Gubernur NAD Irwandi Yusuf dengan moratorium penebangan hutannya. Mereka sudah lebih maju dibanding pemerintah pusat, ujarnya.

Mereka itu bisa saja dipandang menolak kebijakan pusat karena menolak HPH, tetapi ada hal lebih besar dan jangka panjang yang sedang diperjuangkan, yakni kesejahteraan rakyat dan kemanusiaan yang lebih luas.

Terabaikan

Selama ini, masyarakat adat yang hidup di sekitar hutan sering terabaikan. Mereka hanya dilarang merambah hutan, tetapi tidak menikmati manfaat dari pelestarian hutan itu sendiri. Bila dalam perdagangan karbon nantinya semua pihak dilibatkan, maka masyarakat adat seperti dalam foto yang tinggal di tepi Taman Nasional Danau Sentarum di Kecamatan Selimbau, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, juga menjadi sejahtera.

Tanpa inisiatif seperti itu, tak akan ada komitmen dari pihak pemerintah dan swasta. Harus ada pionir-pionir yang punya pendirian sekaligus memiliki data yang lengkap bahwa konsepnya benar. Dengan demikian, alasan- alasan yang mendasarinya kuat dan tak dapat digoyah.

Menurut Sarwono, reposisi ini sangat penting karena seluruh cara lama tak bisa lagi digunakan untuk menghadapi tantangan global yang kompleks terkait perubahan iklim global. Bisnis pun harus mereposisi dirinya mau usahanya berkelanjutan.

Saat ini, ukuran keberhasilan bergeser dari penumpukan modal menjadi kemampuan berkontribusi yang lebih besar pada kesejahteraan rakyat, karena bisnis tak bisa jalan sendiri.

Banyak inisiatif yang akan mengeksploitasi kelemahan masyarakat atas nama lingkungan, lanjut Sarwono. Karena itu, yang terpenting adalah tata pemerintahan yang mampu menciptakan serangkaian regulasi untuk melindungi masyarakat yang paling rentan.

Ubah tata guna hutan

Salah satunya adalah komitmen pemerintah terhadap perubahan tata guna hutan. Hal itu terkait paradigma baru yang memberikan nilai terhadap aset lingkungan dari sebuah hutan.

Mekanismenya mengikuti Protokol Kyoto, untuk mendapatkan pembiayaan jangka panjang dan berkesinambungan bagi upaya konservasi dan pengembangan masyarakat di hutan tropis yang luas.

Di bawah prakarsa Green Renaissance, dana untuk pembiayaan di antaranya dicari melalui pasar karbon sukarela (voluntary carbon market/VCM) oleh BTRF dan PT Global Eco Rescue (GER) yang telah mengikat kontrak dengan Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur untuk konservasi hutan di Malinau.

Menurut ahli kehutanan, Petrus Gunarso, prakarsa melalui VCM tidak boleh dipertentangkan dengan mekanisme wajib dengan bendera negara.

Keduanya bisa saling melengkapi, katanya. Maria Hartiningsih dan Brigita Isworo Laksmi



Post Date : 10 Desember 2007