Perjalanan ke Titik Nol

Sumber:Kompas - 07 Juli 2007
Kategori:Air Minum
Perjalanan ke "titik nol" Bengawan Solo ini cukup mendebarkan. Perasaan ingin tahu sangat tinggi karena berbagai cerita kedahsyatan sungai ini di kawasan lembah dan hilir saat banjir. Bagaimana sesungguhnya hulu Bengawan Solo itu?

Untuk mengecek hulu Bengawan Solo tersebut, pada Selasa (5/6), Tim Ekspedisi Bengawan Solo Kompas 2007 dibagi dalam dua tim kecil, yaitu tim menyusuri Kali Tenggar dan Kali Muning. Berdasarkan hasil survei pertengahan April 2007 dan cerita masyarakat setempat, kedua kali tersebut diduga adalah sumber Bengawan Solo.

Penyusuran dengan berjalan kaki dimulai dari Dusun Ngampih, Desa Jeblogan, Kecamatan Karangtengah, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah. Perjalanan dilakukan dengan berjalan kaki belasan kilometer menempuh perbukitan dan bebatuan, persawahan, bahkan sejumlah air terjun di kawasan hulu.

Dalam tim ke Kali Muning ikut serta ahli biologi tanah dari Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta (UNS), Dr Supriyadi. Dalam tim Kali Tenggar ikut ahli arkeologi dari Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang, Dwi Cahyono MHum.

Penyusuran tim Kali Tenggar dimulai dari kepala kali atau mata air di Dusun Tenggar dan Dusun Ngampih yang dipercaya sebagai salah satu sumber atau tuk Bengawan Solo. Mata air ini tidak lebih hanya berupa rembesan-rembesan air yang sangat kecil. Mata air ini tidak pernah kering dan selalu mengeluarkan air meskipun kemarau panjang.

Demikian berartinya sumber mata air tersebut membuat warga menjadikan sumber- sumber mata air itu sebagai tempat keramat, yang tak boleh dirusak oleh siapa pun. Sumber air inilah yang telah menghidupi rakyat Jeblogan secara turun-temurun.

Mata air di Dusun Tenggar yang terletak di bawah pohon beringin mengalir menuju Kali Tenggar. Airnya kekuning-kuningan. "Kekeruhan itu menunjukkan ada material tersuspensi karena erosi," ujar Supriyadi.

Dari penyusuran di Kali Muning ditemukan bahwa mata airnya berada di parit di areal sawah sekitar 2,5 kilometer ke arah selatan. Mbah Minkarso (70) yang menunggui sawahnya bercerita bahwa mata air Kali Muning itu sudah ada sejak dia masih kecil. "Munculnya biasanya pada musim rendeng (hujan)," katanya.

Dari pengamatan di lapangan yang tampak adalah rembesan yang membasahi tanah dan bebatuan di parit yang lebarnya tak lebih dari 50 sentimeter.

Semakin ke hilir hingga ke tempuran (pertemuan) Kali Muning dan Kali Tenggar, debit air semakin besar dan terdapat empat air terjun. Debit air itu juga disumbang oleh mata air-mata air di sekitarnya yang paling tidak berjumlah enam buah.

Sawah Mbah Minkarso tersebut berada di lembah perbukitan yang minim tanaman keras. Tanaman yang mendominasi perbukitan itu adalah tanaman semusim seperti kacang, kedelai, dan ketela pohon.

Sistem terasering yang dipakai petani juga tidak memenuhi standar. Sistem terasering itu dibuat miring ke arah sungai sehingga ketika hujan langsung longsor ke sungai. Seharusnya teras itu miring ke dalam sehingga kalau hujan air tidak langsung mengalir ke sungai. "Tetapi, itu bukan salah petani karena mereka kurang pembinaan," ujar Supriyadi.

Seorang petani yang menggarap seperempat hektar di perbukitan di Kali Muning, Misni (42), tak tahu bahwa sistem teraseringnya salah. Ia juga tahu bahwa tanah tegalannya longsor ke sungai. "Saya sudah turun-temurun membuat terasering model tersebut," ujarnya.

Menurut Supriyadi, salah satu bukti erosi itu adalah daging tanah (solum) rata-rata hanya sekitar 10 sentimeter sehingga yang tampak adalah tanah berkerikil.

Di sungai, bukti adanya erosi itu selain airnya yang keruh juga adanya sisa pasir kerikil. "Dari hulu ada material tersuspensi. Ada bahan-bahan yang ikut terlarut, yaitu pasir dan lempung. Lain dengan mata air di Gunung Lawu yang masih jernih," katanya.

Erosi itu semakin menggerus lahan pertanian dan mengancam kawasan permukiman warga. Berdasarkan pemantauan, Kamis (7/6), gerusan pada dataran di kedua sisi Bengawan Solo di wilayah Kabupaten Wonogiri mengkhawatirkan. Padahal, daerah di kedua sisi sungai itu didominasi lahan pertanian.

Akibatnya, lahan pertanian warga semakin menyempit. Pada musim hujan lahan ditanami padi. Sementara pada musim kemarau ditanami kacang, ketela pohon, kedelai, dan jagung.

Selain menggerus lahan pertanian, erosi juga menyebabkan puluhan pohon kelapa di kedua sisi tercerabut hingga ke akarnya. Ini menandakan erosi terjadi sedemikian parah.

Kepala Dusun Ngulang, Desa Gedongrejo, Kecamatan Giriwoyo, Wonogiri, Tugiman, menuturkan, pada tahun 1960-an lebar Bengawan Solo sekitar 25 meter dengan kedalaman di atas dua meter saat menjelang musim kemarau. Akan tetapi, saat ini lebarnya menjadi 60 meter dengan kedalaman 10-40 sentimeter.

Hal ini sangat nyata pada jembatan Desa Gedongrejo yang diperpanjang. Dulu panjang jembatan yang melintas di atas Bengawan Solo itu sekitar 40 meter, tetapi pada tahun 2002 diperpanjang menjadi 60 meter.

Erosi ini juga menyebabkan tergerusnya fondasi jembatan Desa Gedongrejo. Salah satu penyebabnya, menurut Tugiman, adalah penambangan pasir yang berjumlah 20 lokasi sekitar 700 meter dari jembatan. Akibatnya, pasir bergerak ke areal penambangan yang jauh lebih dalam.

Erosi juga kini semakin mendekati daerah permukiman warga, seperti terlihat di pinggiran sungai setelah jembatan Desa Gedongrejo. Dari pengamatan Kompas, jarak rumah dengan tempat terjadinya erosi tinggal beberapa meter. Bahkan, lokasi permukiman warga beberapa kali direlokasi karena diterjang banjir bandang beberapa waktu silam.

Menurut catatan warga setempat, kawasan Gedongrejo sebetulnya kawasan yang gundul. Bukit- bukit di sekeliling desa itu terlihat tanpa pohon bertegakan tinggi. Menurut Kepala Desa Gedongrejo, Suyatmo, pada tahun 1971- 1972 di kawasan itu dilakukan penghijauan dengan tanaman akasia.

Upaya penghijauan berikutnya terjadi sepanjang 2004 hingga 2006 dalam program "Gerakan Penanaman Lahan". Di areal seluas 125 hektar di desa itu ditanami pohon jati dan sukun yang dapat menyerap air.

Dosen geologi lingkungan Fakultas Teknik UNS, Sulastoro MSi, yang ikut dalam ekspedisi menyatakan, tergerusnya kedua sisi sungai disebabkan daerah tersebut adalah dataran aluvial. Sesuai dengan karakternya, dataran aluvial belum terkonsolidasi atau belum padat sehingga mudah tergerus.

Ini terjadi terutama saat musim hujan saat sungai banjir. Sejauh ini belum ada upaya dari pemerintah setempat ataupun provinsi untuk memperkuat dinding kedua sisi sungai.

Supriyadi menambahkan, ada dua hal yang bisa dilakukan untuk menanggulangi erosi tersebut, yakni memasang konstruksi bronjong kawat berisi batu atau menghijaukan kedua sisi sungai dengan pohon kayu keras.

Alternatif termurah, menurut Supriyadi, adalah dengan menanam pohon keras, contohnya mahoni, meranti, ataupun bambu.

Erosi ini ternyata juga tidak hanya terjadi di kawasan hulu, tetapi juga hilir Bengawan Solo. Berdasarkan pengamatan tim ekspedisi pada Sabtu (16/6), umumnya tebing sungai dari Desa Cepu Kidul, Kecamatan Cepu, Blora, Jawa Tengah, hingga Dusun Kalirejo, Desa Kalirejo, Kecamatan Bojonegoro, Bojonegoro, Jawa Timur, rusak. Tebing sungai umumnya ditanami warga dengan palawija, seperti jagung, ketela pohon, dan sayur-sayuran.

Di puluhan titik terlihat bekas tanah tebing sungai yang tererosi dan gundul. Setiap tebing gundul ini memanjang satu kilometer hingga tiga kilometer. Bekas sapuan aliran sungai dan longsoran tanah tampak coklat.

Pengurangan bantaran sungai dibenarkan warga Dusun Slembi, Desa Mayangrejo, Kecamatan Kalitidu, Bojonegoro, Damin (40), yang ditemui tim di tempatnya membuat batu bata.

Menurut Damin, tanah tempatnya memproduksi batu bata pada 1970-an masih selebar 100 meter. Saat ini tinggal sekitar 30 meter. "Ini karena ada di tikungan (sungai), tanahnya kalah kena hantaman air," ujarnya.

Staf pengajar Fakultas Pertanian UNS, Robertus Sudaryanto, yang mendampingi tim ekspedisi menjelaskan, erosi disebabkan kerusakan di daerah tangkapan air di hulu sungai. Peran pengolahan tebing sungai menjadi ladang pasang surut juga tidak sedikit dalam mempercepat erosi dan kerusakan Bengawan Solo.

Menggemburkan tebing sungai menjadi ladang membuat tanah semakin mudah tersapu air. Seharusnya tebing tetap ditanami rumput alami, seperti rumput gajah dan alang-alang. Sebagai penahan di bagian dalam setelah rumput, pohon bambu juga efektif menahan erosi. Rumput ini dapat dimanfaatkan masyarakat sebagai pakan ternak.

"Tetapi, rumput malah dihilangkan dan diganti dengan ladang. Jadi, kerusakan tebing sebenarnya dibuat petani sendiri," kata Robby, panggilan akrab Robertus Sudaryanto.

Kendati demikian, lanjut Robby, pemerintah sebagai pengelola sungai, tebing sungai, dan bantaran seharusnya bertanggung jawab. Pemerintah perlu memberi penyuluhan kepada petani agar tidak membiasakan diri berladang di tebing sungai. Kebiasaan membuat sumur ladang, embung atau kolam penampung air saat musim hujan, dan kolam ikan di sekitar sawah juga membantu peresapan air tanah.

Namun, yang tidak kalah pentingnya, semua pihak, baik masyarakat maupun pemerintah, memiliki tanggung jawab yang sama untuk menjaga kelestarian alam di Bengawan Solo. Karena kalau tidak, Bengawan Solo di bagian hulu, yang selama ini jadi sumber kehidupan, akan berubah menjadi sumber petaka. (Subur Tjahjono/SON/LAS/INA/SSD)



Post Date : 07 Juli 2007