Perlu Manajemen Cegah Banjir

Sumber:Kompas - 09 Januari 2012
Kategori:Banjir di Luar Jakarta
Tingginya jumlah penduduk di kawasan hulu sungai menyebabkan degradasi lingkungan daerah aliran sungai. Erosi dan longsor di hulu, diikuti sedimentasi dan banjir di hilir, merupakan dampak buruk manajemen daerah aliran sungai.
 
Kerusakan daerah aliran sungai (DAS) yang berdampak bencana kerap terjadi di beberapa wilayah di Indonesia beberapa tahun terakhir. Pada puncak musim hujan bulan Januari ini, banjir kembali mengancam, terutama bagian selatan Sumatera, bagian barat dan selatan Kalimantan, serta seluruh Jawa.
 
Pada awal Januari saja, ada 10 kabupaten/kota terlanda banjir. Delapan di antaranya di Pulau Jawa, yaitu Solo, Sragen, Sleman, Kota Yogyakarta, Klaten, Brebes, Nganjuk, dan Pasuruan. ”Banjir terjadi Minggu (1/1) malam hampir bersamaan, sebagian bertahan hingga Sabtu,” kata Sutopo Purwo Nugroho, Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana.
 
Solo, Sragen, dan Klaten di Jawa Tengah serta Nganjuk di Jawa Timur, ada di DAS Bengawan Solo. Hujan lebat menyebabkan Bengawan Solo meluap membanjiri Kota Solo. Meluapnya sejumlah sungai di Sragen menyebabkan jalur utama Solo-Sragen-Surabaya terputus karena genangan mencapai satu meter. Di Nganjuk, banjir mengakibatkan empat rumah roboh.
 
Dalam lima tahun terakhir, kabupaten/kota lain bergiliran kena banjir. Sungai terpanjang di Pulau Jawa itu melewati 17 kabupaten dan tiga kota di Jawa Tengah dan Timur.
 
Banjir di DAS Bengawan Solo, kata Sutopo, yang juga pakar hidrometeorologi, disebabkan menurunnya tutupan vegetasi di sepanjang wilayah itu. Akibatnya, terjadi erosi hebat, terutama di hulu Bengawan Solo. Erosivitas tanah 250 ton-1.000 ton per hektar per tahun. Erosi menyebabkan sedimentasi di hilir, mengurangi daya tampung sungai dan waduk/bendungan. Di DAS Bengawan Solo dan anak-anak sungainya yang luas totalnya 19.780 kilometer persegi ditemukan banyak bagian bersedimentasi tinggi, termasuk Waduk Wonogiri.
 
Sedimen (endapan) di waduk ini mencapai 120 juta meter kubik (setara kapasitas angkut 10,4 juta truk) pada tahun 2005. Akibatnya, daya tampung waduk turun hampir 50 persen dari rencana. ”Bila tingkat erosi seperti saat ini dan tidak ada upaya mengatasi, diperkirakan tahun 2130 Waduk Wonogiri tidak berfungsi lagi,” ujar Sutopo.
 
DAS Citarum
 
Selain Bengawan Solo, pada musim hujan tahun ini, banjir juga mengancam DAS Citarum yang berhilir di Bekasi dan Jakarta. Banjir akibat meluapnya sungai terbesar di Jawa Barat itu telah terjadi pada Desember 2011. Limpasan Sungai Citarum menggenangi Bale Endah, Dayeuh Kolot, dan Bojong Soang.
 
Kedua DAS itu tergolong paling banyak mengalami perubahan tata guna lahan dan kerusakan lingkungan karena faktor antropogenik.
 
Degradasi lingkungan di Bengawan Solo serupa dengan Citarum. Pada tahun 1983 tutupan hutan DAS Citarum masih 20 persen dari total luas 6.080 kilometer persegi. Sekarang hutan yang tersisa 13,24 persen. Degradasi sudah terjadi jauh sebelumnya, sedimentasi makin parah, pelimpasan berulang kali terjadi di Jatiluhur sejak tahun 1968. Tahun 2010 volume limpasan tergolong terbesar.
 
Erosi tinggi juga terpantau di Cirata dan Saguling, tiga kali lipat lebih dari yang diperkirakan, yakni 10 ton per hektar per tahun. Sedimentasi mengurangi daya tampung waduk dan menurunkan kinerja Saguling 0,58 persen per tahun.
 
Tiga pendekatan
 
Menghadapi banjir di suatu wilayah, demikian Direktur Sungai, Danau, dan Waduk Kementerian Pekerjaan Umum, Widagdo, beberapa waktu lalu, ada tiga pendekatan bisa dilakukan. Memindahkan manusia dari lokasi banjir atau mengalihkan aliran sungai ke tempat lain. Bila ini tidak memungkinkan, manusia yang harus menyesuaikan diri dengan lingkungan. Hal ini terlihat di kawasan Bale Endah. Penduduk membangun rumah panggung.
 
Sutopo berpendapat, upaya pelurusan sungai dan pembuatan sodetan tidak tepat. Hal ini akan memperparah banjir.
 
Pelurusan sungai menyebabkan debit air makin cepat ke hilir. Normalisasi di Citarum diusulkan dengan dana Rp 24,3 miliar di 9 anak sungai di hulunya untuk mengatasi banjir di Dayeuh Kolot, Majalaya, dan Rancaekek. Normalisasi di kawasan hulu sepanjang 44,3 km merupakan normalisasi tahap ketiga. Tahap sebelumnya telah tertangani sepanjang 68,1 km.
 
Pelurusan dapat mengatasi banjir lokal, tetapi menyebabkan percepatan aliran masuk ke Waduk Saguling, menyebabkan perubahan hidrologi waduk. Pelurusan menyebabkan kawasan tengah dan hilir DAS Citarum terancam banjir.
 
Menurut Sutopo, sebaiknya dilakukan restorasi atau naturalisasi sungai, yaitu mengembalikan ke bentuk awal.
 
Adapun Widagdo menyarankan upaya pengelolaan air hujan sebagai sumber air tawar, yaitu menahan air di darat tidak terbuang ke laut. Untuk itu perlu dibangun embung dan sumur resapan. Bila setiap rumah memiliki sumur resapan bervolume 2 meter kubik, dan ada satu juta rumah, pembangunan waduk tidak diperlukan, demikian Widagdo.
 
Di mata air perlu ada arboretum untuk melindungi sumber/mata air. Sutopo mengharapkan ada moratorium pembabatan hutan di Jawa, termasuk sekitar di DAS Citarum.
 
Pengendalian dan pengurangan risiko dapat dilakukan di Tarum Barat, yaitu dengan membangun sifon atau pembangunan aliran air di bawah badan sungai untuk Sungai Bekasi. YUNI IKAWATI


Post Date : 09 Januari 2012