Persoalan RUU Sumber Daya Air, Privatisasi, Kelangkaan, dan Konflik Air

Sumber:Kompas - 07 Januari 2004
Kategori:Air Minum
FAKTA menunjukkan, resistensi, protes, bahkan penolakan masyarakat yang kuat atas RUU Sumber Daya Air yang kandungan privatisasinya amat kental menunjukkan bahwa penyusunan RUU yang inisiatifnya dari pemerintah belum merepresentasikan kepentingan masyarakat luas dalam hal tujuan yang multiple purposes dan pengguna yang multiple users.

Ketidakterwakilan kepentingan strategis dan kekhawatiran privatisasi yang mendorong terjadinya perubahan: pola eksploitasi, akses, dan harga air di masyarakat menyebabkan penolakan pengesahan RUU Sumber Daya Air tidak dapat dihindari. Apalagi dalam beberapa kasus privatisasi sebelumnya, pemerintah terbukti sering kali kurang berpihak kepada masyarakat banyak. Indonesia perlu belajar dan mengambil pelajaran dari negara maju, seperti Eropa, yang sangat selektif untuk melakukan privatisasi sumber daya airnya.

Perlu ditengok pengalaman negara beriklim kering (arid), seperti Iran, yang pemerintahnya masih memberi subsidi air untuk penggunaan air di bawah lima meter kubik pertama, baru pemakaian selebihnya yang dikenakan tarif komersial. Fakta ini perlu dicermati pemerintah bersama DPR. Karena masalah air dan privatisasinya yang terkandung dalam RUU Sumber Daya Air merupakan komoditas strategis yang tidak ada substitusinya.

Fenomena Malthus

Zed Books (1999) dalam Scarcity and Conflict: A Study of Malthusian Concerns menyatakan, peningkatan jumlah penduduk yang mengikuti hukum Malthus dengan penurunan kuantitas dan kualitas air menurut ruang dan waktu akan menyebabkan kelangkaan dan kompetisi pemanfaatan air yang memicu konflik horizontal maupun vertikal dengan implikasi ekonomi, sosial, dan politik amat luas serta mahal.

Peningkatan intensitas dan durasi kelangkaan air yang sudah terjadi di beberapa tempat di Indonesia dalam jangka panjang akan mendorong peningkatan nilai ekonomi air yang pada aras (level) amat tinggi sehingga tidak accessible untuk masyarakat kelas bawah. Pemerintah akan terjebak dan terjerat perundangan yang dibuatnya sendiri serta tidak akan mampu meminimalkan terjadinya water scarcity dan water conflict. Hal ini disebabkan aspek permintaan meningkat akibat pertambahan penduduk, sementara pasokan sudah dikuasai raksasa air swasta.

Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah (Depkimpraswil) sebagai inisiator akan berargumen tentang materi RUU yang sudah dirancang sedemikian komprehensif dengan mengundang pakar, instansi terkait, maupun elemen masyarakat, termasuk lembaga swadaya masyarakat. Penolakan masyarakat yang kuat mengindikasikan adanya masalah esensial yang dikhawatirkan masyarakat, yaitu kelangkaan dan privatisasi air yang tidak bisa diterima masyarakat karena diperkirakan akan menyebabkan terjadinya bencana bila masalah privatisasi air menjadi tidak terkendali.

Koloni air baru

Harus disadari, sekali RUU Sumber Daya Air disahkan menjadi UU, semua orang harus tunduk, patuh, dan menghormati apa yang sudah ditetapkan. Demikian juga dengan privatisasi sumber daya air dan masuknya raksasa air asing ke Tanah Air tidak dapat dibendung lagi. Bisa dibayangkan apa jadinya bila raksasa air asing yang kapitalis dan berorientasi pada keuntungan dengan segala kemampuan dana, teknologi, dan akses birokrasi berhasil menguasai aset sumber daya air potensial nasional. Dampaknya jauh lebih mengerikan dibandingkan penguasaan mereka atas sumber minyak seperti sudah terjadi selama ini.

Sudah hampir dapat dipastikan, wilayah penghasil air potensial kita akan dikuasai lebih dulu dan dikuras sumber airnya lalu dijadikan koloni baru raksasa air yang tidak mudah dikontrol keberlanjutannya. Terjadinya bencana kekeringan yang menelan ribuan korban jiwa di Gurun Sahel akibat air bumi (ground water) yang dipompa secara over exploited adalah ilustrasi perlunya pengelolaan sumber daya air yang berkelanjutan. Kasus intrusi air laut di pantai kota besar, seperti Jakarta, Semarang, dan Surabaya, harus dijadikan teladan betapa air tidak sekadar barang ekonomis dan kebutuhan primer, tetapi jadi penyangga kehidupan manusia. Kita tahu, air merupakan komponen penyusun jasad makhluk hidup yang terbesar (lebih besar dari 80 persen), baik itu manusia, hewan, maupun tumbuhan.

Manisnya madu privatisasi yang sudah dipetik negara adidaya melalui penyerobotan terselubung kekayaan nasional Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dengan aneka argumen tampaknya terus berkembang di berbagai sektor. Pemerintah, DPR bersama masyarakat harus sadar dan mampu mendeteksi fenomena ini agar bangsa yang sudah jatuh ini jangan sampai tertimpa tangga. Keberhasilan swastanisasi di sektor industri dan jasa tampaknya akan di upscalling dan dijadikan model untuk membentuk koloni baru terselubung sehingga dapat dikuasai dan dikendalikan seperti halnya model imperialisme modern.

Kekhawatiran masyarakat akan terjadinya kelangkaan pasokan air akibat perubahan pola iklim dan kerusakan lingkungan harus direspons secara arif dan bijaksana serta dijadikan acuan dalam pengesahan RUU Sumber Daya Air. Ini perlu dilakukan karena berdasarkan hasil penelitian, ketersediaan air menurut ruang (spatial) dan waktu (temporal) cenderung menurun. Lebih jauh, berdasarkan pemantauan di lapangan, sebenarnya ada dua hal esensial yang menjadi argumen prinsipiil penolakan RUU Sumber Daya Air oleh masyarakat.

Pertama, privatisasi sumber daya air akan menyebabkan akses dan kontrol masyarakat terhadap kebutuhan esensialnya, yaitu air menjadi terbatas. Dalam jangka panjang penguasaan (occupation) sumber daya air swasta, nasional, apalagi internasional, akan mendorong posisi masyarakat terjepit sehingga peningkatan harga per satuan volume air menjadi tidak terkendali.

Perbedaan dalam hal kemampuan finansial, akses teknologi, dan kekuasaan antara masyarakat dan pengusaha di bidang air menjadikan dampak privatisasi akan memarjinalkan masyarakat. Apalagi fakta menunjukkan, pengusaha di bidang air, misalnya air kemasan, sampai saat ini lebih banyak melakukan eksploitasi melalui penyedotan air bumi dibandingkan dengan perlindungan sumber daya air melalui pengisian kembali (recharging). Siapa yang bertanggung jawab bila eksploitasi sumber daya air terjadi secara berlebihan, siapa dan bagaimana mengontrolnya?

Bagaimana menghitung kompensasi masyarakat sesaat (instantaneous) maupun jangka panjang (longterm) bila sumber daya air sebagai benteng perlindungan terakhir dihancurkan pengusaha air? Apakah pemerintah berani bertanggung jawab terhadap kerusakan sumber daya alam pascaeksploitasi sumber daya air? Pasti tidak, karena pemerintah akan berdalih bahwa perusahaan/raksasa air tersebut sudah membayar retribusi dan pajak ini dan itu yang kalau dihitung sangat rendah dibandingkan dengan kebutuhan untuk rehabilitasinya.

Kedua, RUU ini lebih banyak menguntungkan investor yang masuk ke domain air yang notabene merupakan public domain. Indikatornya antara lain, pemakaian kata hak guna air, meski secara harfiah pengusaha hanya memiliki hak menggunakan, namun implementasinya hampir tidak ada bedanya hak milik karena air yang diusahakan kontrol, akses, dan penguasaannya ada pada mereka. Sekali lagi, kita perlu berhati-hati dengan masalah air, sekali salah melangkah, bukan nyawa saja yang tergadaikan, tetapi juga masa depan anak cucu.

Gatot Irianto Dosen Analisis Sistem Hidrologi Program Pascasarjana IPB

Post Date : 07 Januari 2004