Persoalan Sampah DKI

Sumber:Suara Pembaruan - 12 Januari 2004
Kategori:Sampah Jakarta
PEMERINTAH Provinsi DKI Jakarta saat ini benar-benar sedang diuji. Berbagai kebijakan yang dikeluarkan mendapat tantangan dari masyarakat. Kebijakan Pemprov DKI menggusur permukiman liar mendapat perlawanan dari warga setempat. Berbagai upaya dilakukan warga agar bisa bertahan di permukiman yang sudah bertahun-tahun dihuninya.

Perlawanan penggusuran mereda, muncul masalah baru. Rencana Pemprov DKI memberi kenyamanan untuk pengguna angkutan umum yang dioperasikan di busway, banyak menemui hambatan. Beberapa kelompok masyarakat menilai, pelaksanaan program busway hanya akan menambah macet Jakarta. Bagaimana tidak, jalan sepanjang jalur busway yang sudah sempit, akan bertambah sempit karena satu lajur akan dipakai bus khusus. Memang, untuk mendukung kesuksesan program busway, Pemprov DKI memperluas 3 ini 1 menjadi pagi dan sore. Namun itu bukan jaminan jumlah kendaraan yang melintas sepanjang koridor Blok M - Kota akan berkurang. Karena dari pengalaman sebelumnya, 3 in 1 mudah sekali dikelabui dengan beroperasinya joki 3 in 1.

PERSOALAN 3 in 1 belum beres, muncul lagi persoalan baru yang tak kalah pelik, soal sampah. Kali ini, persoalannya lebih luas, melibatkan Pemerintah Kota Bekasi karena Bantar Gebang sebagai lokasi tempat pembuangan akhir (TPA) berada di wilayah Kota Bekasi. Persoalan muncul karena adanya kebijakan Wakil Wali Kota Be-kasi yang tidak serius mengelola TPA Bantar Gebang.

Selain itu, Pemprov DKI keberatan dengan usulan Wakil Wali Kota Bekasi, Mochtar Muhammad, yang mengenakan kompensasi Rp 85.000 per ton untuk sampah yang dibuang di TPA Bantar Gebang. Dengan tarif itu, dari 6.000 ton sampah rata-rata per hari, Pemkot Bekasi akan memperoleh pemasukan Rp 400 - Rp 500 juta per hari. Berarti dalam setahun Pemkot Bekasi mendapatkan sekitar Rp 150 miliar. Angka itu jauh lebih besar dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kota Bekasi 2002 yang jumlahnya hanya Rp 89 miliar. Sungguh angka yang fantastis.

Keberatan dengan ketentuan sepihak Pemkot Bekasi, Pemprov DKI men-statusquo-kan TPA Bantar Gebang. Pintu masuk TPA Bantar Gebang dikunci. Konsekuensinya tentu Pemprov DKI menarik semua peralatan berat yang dimiliki dan untuk sementara memindahkan lokasi pembuangan sampah ke sekitar daerah Tipar Cakung dan Jonggol. Pemkot Bekasi kebakaran jenggot. Pemkot Bekasi tidak bisa membuang sampah karena TPA Sumur Batu miliknya, berada di dalam lokasi TPA Bantar Gebang. Tentu saja masyarakat Bekasi marah. Sampai-sampai mengancam akan membuang sampah di rumah Wakil Wali Kota Bekasi.

SEBENARNYA persoalan rumit itu tak perlu terjadi jika masing-masing pemerintah daerah, baik Pemprov DKI maupun Pemkot Bekasi mau sedikit bekerja keras. Sebagai Ibukota Negara, Jakarta sudah seharusnya mempunyai tempat pengelolaan sampah modern dan ramah lingkungan dan jangan bergantung pada daerah lain.

Dan hal itu sudah tertuang dalam rencana pengelolaan sampah, yaitu dalam konsep "Jakarta Membangun". Namun rencana tinggal rencana. Konsep pengelolaan sampah hanya menjadi tumpukan file yang tersimpan rapi, tanpa disentuh lagi. Padahal, dalam konsep itu, untuk jangka pendek, tahun 2002 Pemprov DKI sudah harus mengamankan lokasi calon TPA di Ciangir, Tangerang. Dan di tahun 2003, Pemprov DKI sudah seharusnya membangun TPA Ciangir. Tapi, jangankan membangun, beritanya saja tidak pernah kedengaran.

Begitu juga Pemkot Bekasi. Seharusnya, semua pejabat Pemkot Bekasi menghargai perjanjian yang telah dibuat dan menyadari bahwa sebagian dari sampah yang ada di Jakarta, adalah sampah warga Kota Bekasi yang bekerja atau bertempat tinggal di Jakarta. Di kota-kota metropolitan di negara lain, saling tergantung seperti itu sudah biasa terjadi.

Yang tak kalah penting, penguasa wilayah (wali kota dan wakil wali kota) seharusnya kreatif mencari pendanaan untuk pembangunan di wilayahnya. Jangan karena melihat Pemprov DKI membutuhkan TPA Bantar Gebang , kemudian memanfaatkannya sebagai sumber utama penghasilan.

Post Date : 12 Januari 2004