Perubahan Iklim, Mitigasi, dan Hak-hak Perempuan

Sumber:Suara Pembaruan - 11 Desember 2007
Kategori:Climate
Perempuan jadi pihak yang paling besar terkena dampak perubahan iklim. Di tengah kerasnya kekeringan dan bencana alam akibat pemanasan global, kaum perempuan kerap dipaksa tetap bertanggung jawab melindungi keluarga agar tidak menderita kelaparan.

Di India, ketersediaan air dan produksi pertanian sangat terancam akibat kekeringan yang berkepanjangan . Kelaparan mendera kehidupan keluarga-keluarga di daerah pedesaan India. "Perempuan terpaksa menafkahi diri sendiri dan anak-anak mereka, ketika para suami mencoba mengadu nasib di kota-kota," ungkap Anastasia Pinto, penasihat teknis Center for Organization Research & Education (CORE) di sela-sela Konferensi PBB untuk Perubahan Iklim 2007, di Nusa Dua, Bali, akhir pekan lalu.

Problemnya, keahlian telanjur tidak dimiliki kaum perempuan. Sementara, beberapa daerah pertanian berhenti berproduksi akibat kekeringan. Hutan dan ekosistem alami yang lain juga sudah berubah. Bencana alam, seperti angin topan, banjir, dan tanah longsor, datang silih-berganti sehingga ikut memperparah penderitaan masyarakat. Akibatnya, prostitusi jadi harapan terakhir kaum perempuan demi menafkahi diri sendiri dan keluarga. "Prostitusi terpaksa dijalani. Mereka sudah putus asa berusaha menyelamatkan keluarga dari kelaparan," ungkap Ana Pinto menjawab SP. Ia berpandangan, upaya-upaya mengatasi perubahan iklim sudah tidak bisa ditunda lagi. Sayang, inisiatif-inisiatif yang digagas dalam Pertemuan Bali untuk mengatasi perubahan iklim cenderung terkesan sekadar berdagang karbon. Langkah-langkah mitigasi, termasuk program reduksi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (REDD) di negara-negara berkembang, tetap sebongkah konsep yang masih mengundang segudang pertanyaan.

"Kita di konferensi ini hanya berbicara soal uang, uang, dan uang. Adaptasi perubahan iklim semestinya bukan melulu bicara soal uang," tandas Ana yang bermukim di Manipur, India.

Pengalaman Brasil

Nasib yang tak kalah mengenaskan dialami pula oleh masyarakat adat serta warga suku Quilombola, Brasil. Perampasan lahan-lahan masyarakat lokal terjadi ketika proyek agro industri Aracruz Celulose SA mulai dibangun pada era 1960-1970an di Espirito Santo. Kedatangan Aracruz Celulose menghancurkan masyarakat. Tak kurang 40 desa adat tergusur, dan kini hanya tinggal tujuh yang tersisa. Mengacu informasi warga Quilombola, dari 100 komunitas yang ada di wilayah utara Espirito Santo dan terdiri dari sekitar 10.000 keluarga, kini hanya tinggal 1.200 saja yang tersisa. Mereka tersebar di sekitar 37 komunitas yang dikelilingi pepohonan eukaliptus dan ladang-ladang tebu yang dipakai sebagai sebagai bahan baku alkohol.

Hubungan antara masyarakat tradisional Espirito Santo dan Aracruz Celulose tak ubahnya mengulang sejarah pahit kolonialisme di Brasil. Penderitaan terbesar dialami kaum perempuan. Mereka kehilangan ruang bercocok tanam, memelihara hewan ternak, serta bertanam tanaman obat-obatan. Pengalihfungsian hutan menjadi lahan eukaliptus menyebabkan hilangnya sumber pangan yang semula berasal dari berburu hewan, menangkap ikan di sungai, serta memetik buah-buahan hutan.

"Satu hal yang penting buat saya, perubahan iklim tidak cukup hanya diatasi dengan mitigasi dan adaptasi. Hal yang paling penting dilakukan adalah bagaimana mengatasi sebab-sebab perubahan iklim, dan mulai melakukan sesuatu," kata Ana Filippini, aktivis World Rainforest Movement yang berpusat di Uruguay.

Ia khawatir, langkah-langkah adaptasi, seperti REDD, akan justru menyengsarakan masyarakat adat, khususnya kaum perempuan, seperti pengalaman yang terjadi di Brasil. Ironisnya, meskipun perempuan jadi korban terbesar perubahan iklim, sejauh ini aspek-aspek gender tidak pernah terintegrasi dalam Pertemuan Bali dan Protokol Kyoto.

Tanpa dilandasi perspektif gender, langkah-langkah reduksi emisi karbon, baik melalui program REDD, pemberian dana adaptasi, maupun transfer teknologi, dinilai sejumlah kalangan tidak bisa efektif mengatasi perubahan iklim.

Presiden COP 13 Rachmat Witoelar sepenuhnya menyadari, keadilan iklim sangat penting diwujudkan demi tercapainya kesetaraan dan keadilan gender. Ia bahkan berkomitmen memperjuangkan isu gender dalam 13th Session Conference of Parties to UN Framework Convention on Climate Change (COP 13) dan 3rd Session Meeting of Parties to Kyoto Protocol (MOP 3), tanggal 3-14 Desember. "Saya akan memperjuangkan masalah keadilan gender di dalam perundingan-perundingan, karena ini isu yang sangat penting," ungkap Rachmat. Semoga komitmen ini terealisasi! [SP/Elly Burhaini Faizal]



Post Date : 11 Desember 2007