Pesan Penting dari Sumur Kering

Sumber:Kompas - 23 Desember 2011
Kategori:Lingkungan
Enam sampai delapan juta tahun silam terjadi letusan Gunung Gede Pangrango. Letusan ini menutup aliran sungai purba yang melintas dari selatan Depok ke wilayah utara Jakarta. Peristiwa ini sekaligus membuat formasi geohidrologi Depok sangat menguntungkan. Orang dapat dengan mudah mendapatkan air tanah.
 
Namun, kelaziman ini mulai berubah. Warga mulai kesulitan mendapatkan air tanah saat kemarau tiba.
 
Persoalan ini paling tidak dialami warga Kampung Kemiri Jaya, Kelurahan Beji, Kecamatan Beji, Kota Depok. Hampir dua bulan lamanya, mulai akhir Agustus sampai akhir Oktober 2011, sumur-sumur mereka mengering.
 
Warga kerepotan menghadapi persoalan ini. Pertengahan September lalu ketika Kompas datang ke lokasi, Ikin (29), warga RT 7 RW 1 Kelurahan Beji, sampai kesulitan memandikan Alif, putra bungsunya yang berumur tiga bulan. Sumur di rumah kontrakannya yang sedalam 15 meter mengering.
 
Untunglah sumur tetangganya, Muriah (60), yang berjarak sekitar 25 meter dari rumah kontrakannya, masih ada airnya walau menyusut. Mereka akhirnya berbagi air bersih yang tersisa di dalam sumur.
 
Ikin dan Muriah tinggal di kawasan terpadat ketiga di Kelurahan Beji. Di RW itu terdapat 2.863 orang dari total penduduk Kelurahan Beji yang berjumlah 35.385 orang. Hampir tidak ada jarak antara satu rumah dan rumah lainnya.
 
Ini adalah potret kecil dampak dari pesatnya perkembangan perumahan di Depok. Hampir semua warga mengambil air dari tanah. Lama-kelamaan, permukaan sumur pun menyusut, kemudian kering.
 
Ikin dan Muriah adalah bagian dari 1,7 juta penduduk Kota Depok yang terdiri atas 440.475 keluarga (Sensus 2010).
 
Catatan Pemerintah Kota Depok, saat ini baru tersedia 143.147 rumah dengan beragam kategori. Galibnya, pesatnya pertumbuhan perumahan ini sejalan dengan penyediaan sarana pendukung, termasuk air bersih. Namun, hal ini tidak terjadi di Depok.
 
Ancaman di depan mata
 
Saat ini, pelayanan air bersih baru menjangkau 17 persen penduduk Depok. Pelayanan ini pun masih menggantungkan suplai dari Kabupaten Bogor melalui Perusahaan Daerah Air Minum Tirta Kahuripan.
 
Walaupun ancaman kerusakan lingkungan sudah di depan mata, belum ada perangkat hukum yang dapat mengantisipasi persoalan tersebut, seperti peraturan daerah mengenai pengendalian pemanfaatan air tanah. Payung hukum ini, kata Kepala Unit Pelaksana Teknis Air Bersih Depok Muhammad Olik, baru diajukan tahun 2012.
 
Sebelum ada aturan pengendalian pemanfaatan air tanah, siapa pun dapat mengeksploitasinya. Apalagi, secara geohidrologi, kualitas air Depok lebih baik dari Bogor dan Jakarta.
 
Pakar lingkungan dari Universitas Indonesia (UI), Tarsoen Waryono, memprediksi eksploitasi air tanah di Depok akan berdampak serius setelah 25 tahun ke depan. Depok akan menghadapi persoalan mirip dengan Jakarta, yaitu krisis air, erosi, dan subsidensi.
 
”Sekarang sudah harus dikendalikan, misalnya, pemohon IMB (izin mendirikan bangunan) wajib membuat sumur resapan,” kata Tarsoen.
 
Warisan Chastelein
 
Pada zaman Cornelis Chastelein hidup di Depok, abad ke-18, wilayah ini sesungguhnya sudah ditata untuk permukiman dan perkebunan. Pemanfaatannya dilakukan dengan menjaga keseimbangan alam.
 
Berdasarkan surat wasiat tuan tanah Belanda tahun 1713 itu, Chastelein menulis, ada wilayah yang tidak boleh ditebang pohonnya. Sampai sekarang, Taman Hutan Rakyat zaman Chastelein itu masih ada di Kecamatan Pancoran Mas.
 
Chastelein mengajarkan bahwa aturan main itu penting, bukan hanya dibuat, melainkan juga dilaksanakan secara konsekuen.
 
”Zaman itu sudah ada permukiman yang tertata, perkebunan, dan hutan yang tidak boleh diganggu,” kata Wenri Wanhar, pemerhati sejarah yang juga penulis buku Gedoran Depok.
 
Akhir tahun 1970-an, pemerintah membangun Perumahan Nasional I sebagai perumahan percontohan nasional. Perumahan kemudian semakin pesat sejalan dengan berdirinya Kampus UI dan Universitas Gunadarma. Kini, pesatnya perkembangan perumahan seperti tidak terbendung lagi.
 
Lalu, apakah pemerintah daerah sudah menyiapkan aturan main hingga dapat menjaga keseimbangan alam Depok sebagaimana Chastelein mengaturnya ketika menjadi tuan tanah?
 
Kepala Dinas Permukiman dan Tata Ruang Kota Depok Nunu Heryana mengatakan, hal itu sudah dilakukan. Pengendalian pertumbuhan perumahan diatur dalam Rencana Tata Ruang dan Tata Wilayah 2011-2030.
 
Ketentuan itu di antaranya mengatur koefisien dasar bangunan 75 persen untuk daerah permukiman padat, 60 persen daerah sedang, dan 45 persen untuk daerah dengan kepadatan rendah. Sayangnya, peraturan daerah mengenai hal ini belum disahkan pemerintah.
 
Sementara itu, pertumbuhan lahan terbangun terus melonjak. Sampai akhir tahun 2009, lahan terbangun mencapai 6.522,38 hektar (ha) atau setara 30 persen dari wilayah Kota Depok yang seluas 20.029 ha. Lahan terbangun ini didominasi perumahan di kampung seluas 4.300,58 ha dan perumahan tertata seluas 1.466,86 ha.
 
Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi) Depok Wing Iskandar menilai aturan main yang ada belum efektif diterapkan. ”Penataan hanya bersifat jangka pendek. Untuk penataan jangka panjang, saya belum melihat cetak birunya,” katanya.
 
Yang pasti, warga seperti Ikin dan Muriah sudah merasakan dampaknya. Keduanya mungkin saja tidak tahu banyak untuk mengatasi krisis air, selain menggali lebih dalam lagi. Yang jelas, Ikin dan Muriah sudah memberi pesan penting: sumur di Depok sudah mulai mengering, padahal sebelumnya tak pernah terjadi.(Andy Riza Hidayat)


Post Date : 23 Desember 2011