Petani Pun Ikut Bingung

Sumber:Kompas - 03 Desember 2007
Kategori:Climate
Cuaca yang berubah-ubah bukan cuma membingungkan para ahli, tetapi juga buruh tani. Ketika di kampung tak kunjung hujan, mereka mencoba mengadu nasib ke Jakarta dengan menjadi kuli serabutan.

"Tetapi ketika sudah di Jakarta, kami diberi tahu di kampung sedang turun hujan," kata Jana (35), buruh serabutan asal Kecamatan Susukan, Kabupaten Cirebon.

Jana dan kawan-kawannya yang biasa tinggal di sekitar Tomang pun buru-buru kembali ke Cirebon. Banyak pula kuli serabutan lainnya yang kembali ke Kabupaten Indramayu, dengan perkiraan musim tanam gadu dimulai dan mereka bisa menjadi kuli di kampung. Cirebon dan Indramayu merupakan sentra pertanian padi di Jawa Barat, selain Kabupaten Karawang dan Subang.

Namun, ketika mereka sudah tiba kembali di Cirebon, ternyata hujan cuma turun sesaat. "Sekarang kemarau lagi. Cuaca sekarang sungguh membingungkan. Tak jelas, kapan harus tanam," kata Sudira (37), kuli serabutan asal Kecamatan Lelea, Kabupaten Indramayu.

Kebingungan serupa dirasakan kuli-kuli serabutan lainnya asal sentra pertanian di sepanjang pantai utara Jawa Barat dan Jawa Tengah. Biasanya mereka menjadi buruh tani di saat tandur atau musim tanam di kampung. Ketika benih sudah ditanam dan memasuki musim ngrambet (membersihkan rumput di sela-sela padi), mereka menjadi kuli serabutan di Jakarta karena pekerjaan ngrambet biasa dilakukan perempuan.

Di Jakarta, mereka mencari penghasilan tambahan dengan menjadi kuli serabutan, mulai dari menjadi penggali gorong-gorong, penggali pipa, hingga buruh pada pembangunan jalan. Namun, cuaca yang tidak menentu menyebabkan mereka kebingungan, kapan harus di kampung dan kapan mencari nafkah di sekitar Jakarta.

Adaptasi

Laporan para ahli antarnegara untuk perubahan iklim (The International Panel on Climate Change/IPCC), seperti dikutip Laporan Pembangunan Manusia 2007/2008 Badan Pembangunan PBB (UNDP), menegaskan, kaum buruh tani, masyarakat adat sekitar hutan, dan penduduk di pesisir pantai adalah golongan yang paling rentan atas dampak perubahan iklim. Kenaikan temperatur Bumi dan perubahan alam lain di antaranya menyebabkan kekeringan yang mengancam produksi pertanian.

Orang-orang seperti Jana dan golongan petani lain di seluruh dunia barangkali belum memahami dampak perubahan iklim. Akan tetapi, mencari penghasilan lain di luar sektor pertanian yang sebelumnya tak pernah digeluti leluhurnya merupakan bentuk adaptasi paling nyata.

Data dalam laporan UNDP berjudul "Melawan Perubahan Iklim: Solidaritas Manusia dalam Dunia yang Terpecah" menyebutkan, kehancuran sistem pertanian akibat banyaknya kemarau, suhu meningkat, dan curah hujan yang tak teratur berpotensi menyebabkan 600 juta manusia menghadapi kekurangan gizi.

Daerah kering, khususnya di Sub-Sahara Afrika dengan pusat kemiskinan tertinggi di dunia, menghadapi kemungkinan penurunan produktivitas lahan hingga 26 persen menjelang tahun 2060. Sekitar 1,8 miliar manusia akan menghadapi kesulitan air bersih menjelang tahun 2080.

Sekitar 20-30 persen spesies flora dan fauna terancam punah jika peningkatan temperatur rata-rata global melebihi 1,5 derajat hingga 2,5 derajat Celsius.

Atas berbagai prediksi itu, Administrator UNDP Kemal Dervis dalam pernyataan tertulisnya menyatakan, perubahan iklim pada akhirnya merupakan ancaman terhadap kemanusiaan secara keseluruhan. Akan tetapi, adalah kaum miskin yang justru tidak bertanggung jawab atas utang lingkungan penyebab segala bencana, yang harus menghadapi ongkos kemanusiaan paling langsung dan terbesar.

Negara-negara maju dengan kemampuan teknologi dan finansialnya relatif mudah beradaptasi, sementara di negara-negara berkembang, "warga diserahkan pada kemampuan masing-masing untuk bertahan atau tenggelam", yang oleh Uskup Agung Emeritus Cape Town, Afrika Selatan, Desmond Tutu, disebut sebagai dunia dengan "apartheid penyesuaian".

Peran negara maju

Tak ada pilihan lain, negara-negara maju harus paling depan mengurangi emisi gas rumah kaca penyebab pemanasan global dengan angka minimal 80 persen dari tahun 1990 sebelum tahun 2050. Pertemuan Para Pihak Ke-13 UNFCCC di Bali, 3-14 Desember 2007, diharapkan mengambil keputusan signifikan untuk masa depan yang lebih nyaman bagi kehidupan.

Di antaranya, skema pembiayaan mitigasi dan adaptasi dari negara-negara kaya dengan menempatkan kemiskinan pada pusat kemitraan internasional. Melalui usulan skema pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi (REDD), Indonesia menawarkan harga jual karbon yang ditangkap hutan sebesar 5-20 dollar AS per ton karbon.

Pada saat bersamaan, Indonesia menggalakkan penanaman jutaan pohon untuk menyerap karbon dioksida, salah satu unsur paling dominan dalam pembentukan gas rumah kaca. Di pihak lain, negara-negara maju pengemisi besar pun harus mengubah gaya hidup boros energi mereka.

Pertemuan Bali adalah awal dari harapan yang lebih baik di tengah perubahan iklim yang memaksa manusia untuk beradaptasi, seperti dilakukan buruh-buruh tani dari Cirebon, Indramayu, dan daerah-daerah lain. Mereka kini sedang kebingungan menghadapi perubahan iklim yang tak menentu. Gesit Ariyanto dan Try Harijono



Post Date : 03 Desember 2007