Pinjaman Bank Dunia untuk Perubahan Iklim

Sumber:Kompas - 27 Mei 2010
Kategori:Climate

Jakarta, Kompas - Bank Dunia, Selasa (25/5), menyetujui pinjaman 200 juta dollar AS untuk penanganan perubahan iklim di Indonesia. Ini menambah pinjaman 900 juta dollar AS untuk agenda perubahan iklim dari Pemerintah Perancis dan Badan Kerja Sama Internasional Jepang, Juli 2009.

Padahal, Selasa malam, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menegaskan, Indonesia sebisa mungkin tidak akan menggunakan dana pinjaman untuk penanganan perubahan iklim. Indonesia lebih menyambut kontribusi negara maju berupa hibah sebagai bentuk tanggung jawab bersama, bukan pinjaman.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat berbicara dari ruang kabin VIP Pesawat Kepresidenan Airbus A-330-300 Garuda Indonesia menjelang mendarat di Bandar Udara Internasional Gardermoen, Oslo, Kerajaan Norwegia, Rabu (26/5), menyatakan, untuk

mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (reducing emmisions from deforestation and forest degradation/REDD-Plus) Indonesia butuh hibah (grant) dan bukan pinjaman pendanaan.

Dibantu atau tidak, untuk skema REDD-Plus, Pemerintah Indonesia akan tetap berkomitmen menjaga dan memelihara hutan sebaik-baiknya serta meningkatkan penyerapan karbon melalui konservasi dan pengelolaan hutan lestari dan peningkatan cadangan-cadangan karbon hutan.

Wartawan Kompas Suhartono yang ikut rombongan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melaporkan, Presiden kemarin menandatangani letter of intent (LoI) dengan Perdana Menteri Norwegia Jens Stoltenberg tentang Kerja Sama Pemerintah Indonesia dan Kerajaan Norwegia mengenai Pengurangan Emisi Gas Karbon Rumah Kaca dari Deforestrasi dan Degradasi Hutan. Presiden akan menghadiri Konferensi Perubahan Iklim dan Kehutanan (Oslo Climate and Forest Conference), 27-28 Mei.

Dikutip dari siaran pers Bank Dunia yang diterima Kompas, Rabu, pinjaman ini merupakan bagian pertama dari rangkaian 4 tahun kucuran pinjaman per tahun yang nilainya sama. Kepala Perwakilan Bank Dunia untuk Indonesia Joachim von Armsberg menyatakan, pinjaman ini adalah dukungan bagi komitmen Indonesia mengurangi emisi gas rumah kaca 26 persen pada 2020.

Soal pinjaman itu, Hendro Sangkoyo dari Sekolah Demokratik Ekonomika (SDE) berpendapat, penggunaannya harus sepenuhnya ditujukan untuk memperbesar iuran Indonesia dalam perubahan iklim dengan rantai pertanggungjawaban publik dan perencanaan.

Namun, Indonesia tak mungkin memberikan iuran itu karena masih terjadi fragmentasi kebijakan publik di berbagai sektor. ”Ini dimulai dari sektor kehutanan yang masih diperlakukan sebagai sumber rente pendapatan negara,” ujar Hendro. Hal itu tecermin dari 50 juta hutan tropis yang berstatus hutan produksi.

Ketua Institut Hijau Indonesia Chalid Muhammad menilai, dengan utang baru atas nama perubahan iklim, Indonesia telah menyerahkan sebagian urusan publik kepada negara-negara dan lembaga pemberi utang. Akibatnya, Indonesia tak punya posisi tawar kuat terhadap skema negara-negara maju pada Annex I Kerangka Kerja PBB mengenai Konvensi Perubahan Iklim (UNFCCC), khususnya sektor kehutanan. (MH/DAY)



Post Date : 27 Mei 2010