Potensi Konflik Hulu-Hilir DAS

Sumber:Kompas - 12 September 2008
Kategori:Air Minum

Masyarakat sudah terbiasa memanfaatkan air dengan berpandangan semuanya diberikan oleh alam. Mereka berpikir air bisa didapat dengan gratis. Hingga kemudian terjadi perubahan lingkungan yang mengakibatkan sejumlah pihak untuk kembali memikirkan ”kegratisan” air itu. Konflik kepentingan mudah terjadi ketika membicarakan masalah ini.

Di Sumatera Utara, setidaknya ada pemikiran agar ada kompensasi bagi daerah hulu (yang memelihara hutan dan menjadi tempat tangkapan air) oleh para pemakai di daerah hilir (yang memanfaatkan air untuk kebutuhan domestik, pertanian, hingga industri). Akankah usulan ini akan mulus?

Kabupaten Karo yang berada di bagian hulu dan memiliki hutan di Bukit Barisan menjadi daerah hulu atau tangkapan air itu. Pasokan air untuk sejumlah daerah di dataran rendah, seperti Langkat, Medan, Deli Serdang, Binjai, dan Serdang Bedagai, berasal dari Kabupaten Karo.

Keterdesakan penduduk dengan kebutuhan sehari-hari memunculkan kekhawatiran penduduk di sekitar hutan akan masuk ke hutan untuk mencari sumber ekonomi. Bila ini terjadi, wilayah tangkapan air akan berkurang. Dampaknya, pasokan air untuk daerah di bawahnya akan berkurang. Bencana alam pun menjadi ancaman yang bisa datang setiap waktu.

Untuk itulah, Karo memelopori dana jasa lingkungan di daerah aliran sungai (DAS) yang memasok air bagi lima kabupaten di bawahnya. Dana jasa lingkungan digunakan untuk menjaga hutan sebagai daerah tangkapan air.

Sekretaris Daerah Kabupaten Karo Makmur Ginting beralasan agar kerusakan lingkungan yang banyak terjadi akhir-akhir ini diharapkan tidak terulang terjadi di Sumatera Utara. Untuk itu, sejumlah DAS di Sumatera Utara harus dijaga. DAS yang berada di Kabupaten Karo, antara lain, adalah DAS Wampu, DAS Deli, DAS Belawan, dan DAS Alas.

”Kita harus menjaga hutan di DAS itu agar tetap bisa memasok air. Caranya, dengan mencegah perusakan lingkungan sehingga daya dukung sumber daya alam tetap optimal,” katanya.

Terkait dengan upaya ini tentu diperlukan dana yang besar. Untuk itu, kata Ginting, pihaknya tengah menyusun sistem dan lembaga yang memungkinkan penggalangan dana dan menggunakannya secara bersama-sama itu untuk kelestarian hutan.

Salah satu penggunaan dana itu adalah mengembangkan ekonomi komunitas pedesaan. Selama ini kerusakan hutan terjadi karena ekonomi di sekitar kawasan hutan tidak memberi penghasilan yang memadai bagi warga sekitar hutan. Bila tidak ada lagi pilihan bertani, mereka merambah ke hutan.

Wakil Bupati Serdang Bedagai Soekirman mengakui, kalau tidak ada sumber air di bagian hulu, lahan perkebunan, pertanian, dan peternakan di wilayahnya tidak akan bisa produktif. Kabupaten Karo merupakan salah satu hulu dari sumber air untuk wilayahnya.

”Saya mengusulkan adanya kaukus yang nantinya berbentuk forum di tingkat provinsi untuk merealisasikan dana jasa lingkungan itu,” kata Soekirman. Ia menambahkan, persoalan transparansi pengawasan dana jasa lingkungan ini perlu mendapat perhatian agar tidak menimbulkan kecurigaan.

Meski demikian, hingga saat ini kesadaran kabupaten lain untuk melihat pentingnya pelestarian daerah tangkapan air masih kurang. Pertemuan-pertemuan dengan para pemangku kepentingan pun masih sulit dilakukan. Keinginan Kabupaten Karo tidak ditanggapi dengan antusias. Maklum, dana ini pasti akan dilihat ujung-ujungnya sebagai pungutan.

Sangat masuk akal bila Karo perlu berteriak. Bila mereka sendirian menjaga hutan, itu akan kesulitan. Alasan paling mudah, mereka yang bekerja keras, tetapi orang lain yang menikmati. Karena itu, dana jasa lingkungan merupakan jalan tengah untuk membagi beban.

Akan tetapi, Ginting melihat bahwa masalah yang menghadang adalah payung hukum untuk pengucuran dana itu dari pemerintah kota dan kabupaten (yang menerima manfaat dari keberadaan daerah tangkapan air) yang bersumber dari APBD. Ketiadaan payung hukum bisa memunculkan masalah di kemudian hari. Pengucuran dana dari suatu kabupaten untuk kabupaten lain yang bersumber dari APBD memang belum memiliki dasar hukum. Bila ada yang melakukannya, hal itu bisa digolongkan melanggar hukum.

Tidak adakah cara penyelesaiannya dari masalah ini? Direktur Eksekutif CSR Indonesia Jalal dalam sebuah seminar di Karo beberapa waktu yang lalu mengatakan, mewujudkan dana jasa lingkungan bukanlah hal yang mustahil. Untuk mewujudkan dana jasa lingkungan dibutuhkan kepercayaan antara janji yang diberikan oleh pihak yang menawarkan jasa lingkungan dan pihak yang memberi dana.

”Semua informasi harus transparan dan benar. Di dalamnya termasuk penggunaan dana, jumlah dana, dan lain-lain,” katanya. Untuk menjaga kepercayaan harus ada pengawas.

Jalal mencontohkan, sistem dan lembaga yang hampir mirip sudah mulai dilakukan di Provinsi Banten dan Nusa Tenggara Barat. Untuk mewujudkan dana jasa lingkungan paling tidak harus dilakukan penyadaran kepada semua pihak tentang perlunya penyelamatan lingkungan.

Selanjutnya, menentukan wilayah yang disepakati sebagai obyek konservasi. Setelah itu dilakukan perancangan kelembagaan, perhitungan dana pengganti konservasi lingkungan, dan perhitungan kesediaan untuk membayar jasa lingkungan. Dari contoh kasus yang ada, dalam waktu satu setengah hingga dua tahun dana jasa lingkungan bisa diwujudkan. Potensi konflik hulu dan hilir DAS bisa teratasi dengan cara ini.

Ulah investor perkebunan

Sedikit berbeda kasus di Sumatera Selatan. Meski memiliki sumber air yang boleh dikatakan melimpah karena memiliki aliran Sungai Musi beserta sembilan anak sungainya, sumber air tersebut kini kualitas dan kuantitasnya terus terdegradasi. Penyebabnya terutama karena kerusakan lingkungan di bagian hulu sungai. Penggundulan dan perambahan hutan untuk perkebunan adalah biang keladinya.

Eksploitasi air sungai yang dilakukan banyak perusahaan dengan berkedok investasi, yang membuka lapangan kerja dan menambah pendapatan asli daerah, sangat menonjol dalam sepuluh tahun terakhir. Pengguna air air yang relatif besar adalah perusahaan yang bergerak di bidang perkebunan kelapa sawit.

Bahkan, perusahaan jenis ini telah banyak mengeksploitasi air sungai tanpa izin dan tanpa memberikan retribusi pajak pengelolaan air kepada pemerintah. Tudingan ini didukung fakta bahwa kelapa sawit merupakan pohon yang sangat rakus air.

”Bayangkan, satu pohon sawit membutuhkan sekitar 8-12 liter air per hari. Padahal, ada lebih dari satu juta pohon kelapa sawit di Sumsel,” ujar Mawardi, pengamat sungai dari Balai Wilayah Sungai Sumatera VIII.

Dampaknya, saat ini terjadi kekeringan atau penyusutan debit air sungai secara drastis di sejumlah wilayah sungai, terutama di DAS yang banyak ditumbuhi perkebunan kelapa sawit. Jika tidak dikontrol laju pertumbuhan dan dibatasi penyebaran areal perkebunan kepala sawit di daerah ini, krisis air yang lebih parah akan dialami Sumatera Selatan.

”Pengamatan Balai Wilayah Sungai Sumatera menunjukkan bahwa persoalan kekeringan akibat lahan sawit ini tidak hanya terjadi di Sumsel saja, tetapi juga di kawasan sentra kelapa sawit, seperti Riau, Sumatera Utara, dan Kalimantan Timur,” kata Mawardi.

Pada masa mendatang, kata Mawardi, perlu ada sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi sebuah perusahaan jika hendak mengeksploitasi air sungai. Selain harus mendapat izin pemerintah, juga tidak boleh mengeksploitasi lebih dari satu titik sungai, menaati aturan tentang alokasi maksimal air, dan melalui mekanisme konsultasi masyarakat pengguna di sekitarnya.

Dalam kaitan yang lebih luas, Balai Wilayah Sungai Sumatera VIII menyarankan agar pemerintah pusat tidak salah menerjemahkan rencana kebijakan privatisasi air. Privatisasi air seharusnya diberlakukan secara ketat bagi korporasi atau perusahaan yang memanfaatkan air dengan disertai pungutan resmi, sedangkan rakyat tetap diperbolehkan memanfaatkan air sebatas bukan untuk kepentingan bisnis atau usaha.

Menurut Mawardi, privatisasi air saat ini memang tengah gencar disosialisasikan sejumlah lembaga di dunia, termasuk World Bank. ”Di Indonesia, konsep privatisasi air harus disesuaikan dengan kondisi di lapangan. Intinya, sebuah perusahaan yang sudah memanfaatkan air ya harus membayar kepada pemerintah. Perusahaan itu, kan, mendapatkan keuntungan dari pemanfaatan air, selayaknya juga harus bayar,” katanya.

Selain ancaman akan adanya krisis air akibat kehadiran perkebunan kelapa sawit dalam skala besar, ancaman paling nyata terkait perilaku masyarakat terhadap lingkungan itu sendiri.

Dalam skala mikro, kasus penimbunan rawa untuk permukiman dan pertokoan di Kota Palembang bisa jadi pelajaran berharga. Pesatnya pembangunan perumahan dan rumah toko di kota yang semula sebagian besar berupa rawa telah menimbulkan bencana. Warga kesulitan air saat musim kemarau dan kebanjiran saat musim hujan.

Persoalan yang menyebabkan rawa terus ditimbun karena belum ada peraturan mengenai larangan menimbun rawa. Penimbunan rawa seharusnya hanya bisa dilakukan dengan izin wali kota atau dinas terkait. Izin bagi developer untuk menimbun rawa harus diperketat, developer harus menyisakan lahan rawa dengan luas tertentu sebagai resapan air.

Dari semua persoalan eksploitasi yang dilakukan investor dan kerusakan sumber air, seharusnya pemerintah memikirkan kelangsungan ketersediaan air pada masa depan. Jangan sampai air menjadi barang langka sehingga rakyat menjadi korban dan tidak punya akses mendapat air bersih karena nilainya menjadi sangat mahal. (Mar/Oni/Wad)



Post Date : 12 September 2008