Privatisasi Air dan Peran Negara

Sumber:Suara Pembaruan - 13 November 2008
Kategori:Air Minum

Gerard, Ketua dan CEO dari SUEZ, memberikan argumentasi ini dalam sepucuk surat terbuka untuk pemerintah-pemerintah, anggota-anggota parlemen, dan lembaga-lembaga internasional di seluruh dunia pada 2000. Forum Air Kedua, yang diselenggarakan Maret 2000, di Den Haag, Belanda, juga mengambil tema "Air adalah Urusan Setiap Orang". Komisi PBB yang menangani hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya secara jelas mengatakan bahwa kebutuhan akan air adalah suatu "hak", dan hak itu disebut "hak atas air".

Sebuah harian nasional menulis "merebut air, merampas hidup". Dalam berita itu, dijelaskan bahwa warga Cicurug dan Cidahu, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, diberkahi kelimpahan air, tetapi kini rakyat kesulitan air untuk konsumsi dan irigasi. Penduduk setempat mengatakan bahwa sawah mereka 10 tahun terakhir kekeringan. Mereka terganggu menanam padi dan beternak ikan, bahkan untuk kebutuhan konsumsi, mereka membeli air. Hal ini ditengarai akibat kehadiran 17 perusahaan air minum dalam kemasan (AMDK). Dan, jalan raya rusak parah akibat truk yang membawa AMDK, tanpa jelas siapa yang bertanggung jawab.

Undang-Undang (UU) Sumber Daya Air (SDA) Nomor 7 Tahun 2004 Pasal 5 menyebutkan, Negara menjamin hak setiap orang untuk mendapatkan air bagi kebutuhan pokok minimal sehari-hari guna memenuhi kehidupannya yang sehat, bersih, dan produktif. Dalam Pasal 9 dikatakan bahwa hak guna usaha air dapat diberikan kepada perseorangan atau badan usaha dengan izin dari pemerintah atau pemerintah daerah, sesuai dengan kewenangannya. Pemegang hak guna usaha air dapat mengalirkan air di atas tanah orang lain berdasarkan persetujuan dari pemegang hak atas tanah yang bersangkutan.

Peran Pemerintah

Ketika fakta di Cicurug, Cidahu, dan di berbagai daerah menunjukkan bahwa air dalam kemasan langka dan kalaupun ditemukan di pasar eceran harganya meroket, seperti, di Jakarta, Kota Tangerang, dan Bekasi, di mana peran pemerintah?. Instrumen hukum apa yang digunakan pemerintah ketika harga air mineral per galon Rp.17.000?

UU Nomor 7 Tahun 2004 yang mengizinkan privatisasi air yang ditengarai digagas oleh kaum neoliberal yang kini terbukti mengguncang perekonomian dunia sejatinya harus ditinjau kembali. Sebab, telah terbukti setelah 4 tahun UU SDA menunjukkan bahwa rakyat semakin kesulitan air.

Argumentasi bahwa UU SDA bertujuan untuk menghadapi ketidakseimbangan antara ketersediaan air menurun dan kebutuhan air yang semakin meningkat tidak terbukti. Sebaliknya, UU SDA menjadikan rakyat tidak mampu menjangkau harga air yang acap kali mencekik leher.

Ketika privatisasi air terbukti hanya mengeruk keuntungan dan merusak ekologi, yang akibatnya merugikan rakyat dan bumi, di manakah peran negara? Bukankah negara menjamin kebutuhan air bagi setiap warga negara? UUD 1945 Pasal 33 secara jelas mengatakan bahwa bumi dan air dan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

Mengingat air adalah sumber kehidupan dan mutlak dibutuhkan setiap warga negara, maka pengelolaan air harus dikembalikan kepada negara. Lagi pula, konstitusi kita secara jelas mengamanatkan bahwa air dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Kepada swasta dapat diberikan hak untuk mengoperasikan pelayanan penyediaan air dengan catatan, pengawasan kuat dari negara.

Jika negara gagal menyediakan air untuk kebutuhan warga negara, maka negara itu disebut gagal. Sebab tidak mungkin ada pertumbuhan ekonomi, kestabilan politik, dan kualitas hidup rakyat tanpa terpenuhinya kebutuhan air.

Air persis sama fungsinya dengan oksigen yang kita hirup. Bahkan, kekurangan air lebih berbahaya dari kekurangan oksigen.

Perlu disadari, tidak ada manusia yang mampu bertahan hidup di bumi tanpa air. Oleh sebab itu, sangat ironis ketika pengelolaan air di negeri ini diserahkan pada neoliberal, yang acap kali hanya mengeruk keuntungan.

Ketergantungan rakyat akan air pada pihak swasta memiliki risiko yang amat tinggi. Risiko itu adalah rakyat pemilik hak atas air tidak memiliki daya tawar terhadap harga. Dan, seandainya perusahaan swasta itu bangkrut atau pindah keluar negeri maka rakyat akan merana.

GURGUR MANURUNG mahasiswa doktor manajemen lingkungan, analis di Indonesia Democracy Watch



Post Date : 13 November 2008