Privatisasi Berkedok Air Bantuan Dunia

Sumber:Kompas - 13 Februari 2004
Kategori:Air Minum
HAWA privatisasi air semakin kuat menerpa Indonesia awal tahun ini. Dengan ditandatanganinya draf Rancangan Undang-Undang Sumber Daya Air oleh Komisi IV DPR, Rabu (11/2), untuk disahkan menjadi UU, semakin muluslah jalan masuk swasta dalam pendanaan dan pengelolaan sumber daya air.

ATURAN di dalam RUU SDA memang longgar tentang pelibatan swasta dalam pengusahaan air yang menjadi hajat hidup orang banyak.

Terbukanya peluang bagi masuknya modal nonpemerintah, termasuk juga dari pihak asing, dilihat banyak pihak sebagai ancaman bagi keamanan dan kedaulatan bangsa.

Sebagai obyek yang strategis, HM Rosyid Hidayat, Wakil Ketua Komisi IV Fraksi Reformasi melihat, sumber air mempunyai nilai yang sama pentingnya dengan pelabuhan laut dan udara, serta telekomunikasi.

Menurut Raja Siregar dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Konstitusi di Indonesia-Pasal 33 UUD 1945 Ayat 3-sebenarnya menjamin hak rakyat atas air. Namun, hak itu akan terampas dengan hadirnya lembaga perbankan dan keuangan internasional seperti Bank Dunia, ADB, dan IMF.

Analisis Siregar-yang juga anggota Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air-tentang sepak terjang lembaga itu dalam menyebarkan wabah privatisasi di Asia sempat dilontarkan dalam "Asia Pacific Conference on Privatization of Water and Power Service" di Bangkok, 2003.

PRIVATISASI air mulai muncul dengan dikembangkannya prinsip air sebagai komoditas ekonomis, karena jumlahnya kian terbatas dan diperebutkan penduduk yang kian padat. Dengan prinsip hak atas air akan mengalir kepada "pemberi nilai ekonomis terbesar", keuntungan atas sumber daya air dan pengelolaannya terbatas kepada pihak yang mendapatkan hak penguasaan air. "Di sinilah air dimutilasi menjadi nilai ekonomis semata," ulas Siregar.

Dalam 10 tahun terakhir sudah terlihat keinginan Bank Dunia dan ADB untuk mendorong agenda privatisasi dan komersialisasi air di sejumlah negara berkembang. Hal ini dapat dilihat dari meningkatnya pinjaman yang mengikat dengan prasyarat diterapkannya privatisasi oleh negara pengutang.

Analisis dari Koalisi Jurnalis Investigatif Internasional (Internasional Coalition of Investigative Journalist/ICIJ) menyebutkan Bank Dunia telah memberikan pinjaman 20 miliar dollar AS ke sejumlah negara dalam 12 tahun terakhir. Dari 276 pinjaman berlabel "penyediaan air", dalam kurun tahun 1990 hingga 2002, 30 persen di antaranya dibarengi dengan syarat adanya privatisasi. Syarat privatisasi meningkat dalam lima tahun terakhir.

Pinjaman ADB yang mensyaratkan adanya "perubahan kebijakan" menjadi jalan bagi privatisasi "jasa air" dan "sumber daya air" di Asia Tenggara, Asia Timur, Asia Selatan, dan beberapa negara bekas Uni Soviet (Kazakhstan, dan Kyrgistan). Sekarang ini Sri Lanka, Thailand, Nepal, Vietnam, Laos, Banglades, Pakistan, dan Cina telah terikat dengan pinjaman ADB dengan persyaratan privatisasi air. Sebaliknya, di Indonesia dan Filipina, perubahan kebijakan sektor air didorong oleh Bank Dunia. Pinjaman untuk proyek investasi mengharuskan adanya partisipasi swasta-dalam hal ini korporasi multinasional-yang lebih luas.

Privatisasi tidak hanya menyangkut pengalihan BUMN penyedia jasa air bersih kepada swasta semata, namun juga menyangkut pengalihan hak atas sumber daya air (air permukaan, dan bawah tanah) kepada swasta (korporasi multinasional).

Wilayah perdebatan privatisasi sumber daya air tidak semata menyangkut pengelola air, namun juga prinsip yang digunakan untuk mengelola air.

Panitia Kerja Komisi IV DPR berulang kali menyangkal bahwa RUU Sumber Daya Air yang sedang dibahas mendukung privatisasi air oleh karena tidak terdapat kalimat "privatisasi atau komersialisasi air" di naskah RUU.

"Namun, Pasal 40 Ayat 4 menyebutkan bahwa swasta dan masyarakat boleh berperan serta dalam penyelenggaraan pengembangan sistem penyediaan air minum. Ini mendudukkan mereka pada posisi yang sama dengan BUMN dan BUMD," urai Nila Ardhianie, Koordinator Advokasi Koalisi Rakyat untuk Hak atas Air.

ARGUMEN yang selalu dilontarkan lembaga-lembaga perbankan dunia adalah BUMN penyedia air memboroskan, air, dan juga seringkali kehilangan pasokan air karena kebocoran dan pencurian air oleh konsumen. Kebocoran itu membuat pemerintah tidak dapat memperluas pelayanan dan infrastruktur hingga menjangkau masyarakat miskin.

World Bank juga menyatakan peningkatan tarif air dan privatisasi akan memperluas akses air bersih, khususnya bagi kelompok miskin. Namun, dalam mendorong privatisasi penyediaan air bersih di sejumlah negara termasuk Pakistan dan Filipina, World Bank meminta Pemerintah bersangkutan menjamin adanya keuntungan jangka panjang bagi investor. Keuntungan jangka panjang masuk komponen Full Cost Recovery.

Dengan demikian harga yang dibayar oleh pemakai air pasca privatisasi tentu lebih tinggi. Ini merupakan cerita seragam di sejumlah negara paska privatisasi. Kelompok miskin yang menjadi argumentasi World Bank dan ADB justru semakin jauh dari akses atas air bersih.

Pada kelompok miskin, alokasi terbesar pendapatan hingga 30 persen, dapat tersedot untuk pembayaran air. Jika kelompok masyarakat miskin tidak lagi mampu membayar, maka kelompok akan beralih pada sumber air lain yang biasanya rawan pencemaran. Padahal, kebijakan berdasar mekanisme pasar mengharamkan adanya subsidi, termasuk bagi kelompok miskin.

Karena masyarakat di negara-negara berkembang banyak yang tidak sepakat dengan agenda privatisasi, lembaga keuangan ADB dan World Bank tidak secara tegas menyatakan mensyaratkan agenda privatisasi dalam pinjaman. Namun instrumen-instrumen kunci yang menciptakan atau mengarah kepada terciptanya privatisasi dan komersialisasi air tetap didorong.

Diungkapkan Siregar, pada pembahasan RUU Sumberdaya Air, salah satu perdebatan adalah soal desentralisasi irigasi. Depkimpraswil menginginkan irigasi menjadi urusan pemerintah karena petani dinilai belum mampu mengelola irigasi. Soalnya, pengelolaan irigasi oleh kelompok petani sebagaimana didesak World Bank, akan berdampak pada pembiayaan keseluruhan proses irigasi oleh petani itu sendiri. Tak ada lagi subsidi.

Inilah yang memungkinkan swasta masuk membiayai pembangunan proyek dan kemudian masyarakat membayar atas setiap pemakaian jasa dari proyek tersebut. Karena itu, privatisasi takkan pernah menguntungkan rakyat kecil. (yun)

Post Date : 13 Februari 2004