Produk Ramah Lingkungan Diperdebatkan

Sumber:Kompas - 11 Desember 2007
Kategori:Climate
Nusa Dua, Kompas - Akan tetapi, masih terdapat masalah besar dalam hal definisi dan ukuran yang jelas mengenai produk-produk dan jasa-jasa ramah lingkungan tersebut.

Hal itu disampaikan Menteri Perdagangan RI Mari Elka Pangestu seusai berakhirnya dialog informal menteri-menteri perdagangan terkait masalah perubahan iklim, Minggu (9/12), dan diskusi dengan wartawan, Senin (10/12) di Nusa Dua, Bali. Hadir dalam diskusi tersebut, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Muhammad Lutfie.

Sebanyak 10 pejabat setingkat menteri dan sejumlah pejabat tinggi lainnya dari 32 negara hadir dalam pertemuan dengan para menteri perdagangan tersebut. Dalam pertemuan para menteri perdagangan tersebut, dijelaskan Mendag, dibahas tiga isu utama. Tiga isu tersebut adalah isu-isu yang dihadapi di bidang perdagangan dan perubahan iklim, mekanisme dan instrumen-instrumen kebijakan terkait perubahan iklim dan pembangunan berkelanjutan, serta tujuan-tujuan bersama di bidang perdagangan dan penanganan perubahan iklim.

Dalam pertemuan itu juga ditekankan perlunya upaya multilateral yang lebih padu untuk menangani masalah perubahan iklim demi masa depan pembangunan berkelanjutan. Hal itu sudah dimandatkan dalam Agenda Pembangunan Doha, yang menegaskan bahwa pembangunan dan perubahan iklim saling memengaruhi.

Diungkapkan Mari, ada sejumlah permasalahan yang harus segera diselesaikan, yaitu adanya definisi yang jelas dan diterima bersama mengenai produk dan jasa ramah lingkungan. "Kita harus mempunyai ukuran empiris yang bisa diterima oleh semua bila kita ingin, misalnya, memberi insentif atas suatu teknologi bersih. Ukurannya bisa dengan emisi CO2 yang dikeluarkan atau pengurangan CO2 nya. Bagaimana mengukurnya masih dalam satu proses, belum diterima semua pihak. Ini salah satu isu utama di instrumen pendanaannya," paparnya.

Masalah lainnya adalah standar yang berkaitan dengan ramah lingkungan. "Itu harus disusun multilateral, jangan regional dan beda-beda. Kemudian alih teknologi dan adaptasi juga sangat penting dalam perdebatan; serta rezim HAKI (hak atas kekayaan intelektual) seperti apa yang akan mendukung kepentingan negara sedang berkembang maupun peningkatan kapasitas di negara- negara sedang berkembang," tutur Mendag.

Satu paket

Sebagai negara sedang berkembang, ditegaskan Mari, Indonesia selalu bilang harus satu paket, tidak bisa hanya melihat satu instrumen, misalnya menurunkan hambatan tarif dan nontarif saja supaya bisa membeli produk ramah lingkungan dengan lebih murah.

"Kalau kita tak punya uang dan tak punya kapasitas untuk menggunakan teknologi itu, kita juga tidak bisa menggunakannya. Jadi, harus satu paket dengan aspek lain, bukan hanya aspek pasar," katanya.

Mengenai bagaimana memastikan suatu produk ramah lingkungan, menurut Mendag, harus ada kesepakatan antara UNFCCC dengan aspek-aspek lain dari keseluruhan pihak multilateral. "Karena itu, kita sangat berkepentingan untuk menunggu UNFCCC, proses ini akan keluar dengan target apa? Kita harap dari situ kita bisa melihat apakah akan ada yang tabrakan dengan kepentingan perdagangan internasional dan pembangunannya," paparnya.

Salah satu yang paling penting bagi rezim perdagangan kita, tambah Mendag, adalah nondiskriminasi. "Jangan sampai atas nama melindungi lingkungan kemudian dilarang dan merugikan kita sebagai negara sedang berkembang. Kita sangat berharap proses di UNFCCC akan meluruskan banyak hal karena sudah banyak yang berkembang atas nama lingkungan, misalnya standar untuk kayu, yang sebenarnya tidak ditentukan oleh pemerintah dari negara tujuan ekspor kita, tetapi dari masyarakat pembelinya langsung. Itu standarnya bisa beda-beda, berdasarkan aspek ramah lingkungan yang berbeda. Dan, itu akan sangat merugikan kita karena kita harus memenuhi beberapa standar," ungkap Mari.

Mendag menyebutkan, Indonesia sendiri sudah punya daftar produk-produk yang digolongkan ramah lingkungan. (OKI)



Post Date : 11 Desember 2007