Program 100 Hari Bidang Lingkungan, Upaya Selamatkan Lingkungan

Sumber:Kompas - 10 Desember 2004
Kategori:Umum
Konsep pembangunan berkelanjutan dalam perumusan kebijakan pembangunan suatu negara, sebenarnya sudah bergema dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi yang berlangsung di Rio de Janeiro, 1992. Namun, konsep yang berupaya menyejahterakan bangsa tanpa merusak lingkungan itu, praktiknya amat sulit di lapangan. Indonesia adalah salah satunya, yang begitu krisis ekonomi melanda seolah menghalalkan segala cara untuk mendapatkan devisa.

Kini, Kementerian Lingkungan Hidup di bawah Rachmat Witoelar, mencoba untuk kembali ke pembangunan berkelanjutan. Maka konsep itu pun masuk dalam agenda kerja 100 hari kementeriannya, selain penyelesaian kasus-kasus lingkungan menonjol seperti pencemaran Teluk Buyat dan pembangunan jalan Ladia Galaska.

Untuk sektor kebijakan lingkungan, diprogramkan lahirnya dua keputusan menteri (kepmen) pada Desember 2004 dan Januari 2005, masing-masing kepmen peringkat emisi kendaraan tipe baru dan kepmen komisi nasional mekanisme pembangunan bersih.

Sasaran kepmen pertama, industri kendaraan bermotor mengikuti ketentuan penggunaan bahan bakar standar Euro II yang ramah lingkungan.

Negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura telah menerapkan sistem Euro II. Tak heran bila Jakarta merupakan salah satu kota yang terparah polusi udaranya.

Kepmen kedua untuk kejelasan prosedur/mekanisme pembangunan bersih (clean development program/CDM).

Program ketiga mengupayakan agar Indonesia ditetapkan sebagai pusat transfer teknologi pengelolaan limbah B3 antarnegara di Asia Pasifik.

Program keempat agenda kerja 100 hari adalah pelaksanaan program strategis. Selain mengumumkan peringkat kinerja perusahaan (proper), Desember ini KLH akan mengumumkan ketaatan perusahaan terhadap Peraturan Pemerintah (PP) No 82 Tahun 2000 tentang Pengendalian Pencemaran Air. Selain itu, 300 perusahaan di delapan provinsi yang akan dievaluasi sesuai program Surat Pernyataan Kali Bersih (Superkasih).

Terakhir, KLH meluncurkan buku status lingkungan hidup Indonesia 2003, Oktober lalu di Jakarta.

Rentetan program di atas, seperti diungkapkan Rachmat, tidak terlepas dari harapan besar terwujudnya daya dukung lingkungan yang berkesinambungan. Untuk itu, tahap awal yang tepat harus sudah ditancapkan sejak awal kerja kabinet.

"Lingkungan hidup yang lestari harus menjadi pola pikir atau fondasi, sebelum lahir kebijakan," kata dia.

Tanpa itu, semua cita-cita sistem pemerintahan yang memprioritaskan daya dukung lingkungan hidup hanyalah mimpi. Posisinya akan selalu dikalahkan oleh kepentingan eksploitasi sumber daya alam, seperti yang terjadi selama ini.

Karena itu, meskipun tidak mungkin terwujud dalam kurun waktu 100 hari pemerintahan, pembangunan kapasitas kelembagaan tetap dicantumkan dalam agenda kerja 100 hari. Tujuannya, mendorong prinsip pembangunan berkelanjutan yang tetap melestarikan lingkungan hidup dalam pembangunan sosial ekonomi.

Penanganan RUTR

Sebagai target, KLH menginginkan agar perencanaan tata ruang atau rencana umum tata ruang (RUTR), konservasi SDA, pengawasan hingga pengendalian dampak lingkungan ada di bawah kewenangannya.

Kalaupun tidak, setidaknya orang-orang KLH dilibatkan dalam pengelolaan RUTR. Menurut informasi, RUTR akan menjadi salah satu institusi di bawah Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas).

Semangat harus dilibatkan dalam RUTR didasari kenyataan bahwa selama ini KLH lebih sering dilibatkan setelah terjadi masalah, bukan sejak pembahasan awal atau di hulu kebijakan. Akibatnya, terjadilah kerusakan lingkungan yang sebenarnya bisa dihindari.

"Kami bukan antieksplorasi, tetapi bagaimana eksplorasi dilakukan dengan lebih ramah lingkungan," kata Rachmat.

Salah satu dari kasus-kasus penanganan setelah terjadi masalah yang kemudian diterima KLH, adalah pencemaran Teluk Buyat. Egosektoral dan pemahaman yang berbeda antarsektor dalam memaknai dan memperlakukan lingkungan adalah titik pangkal persoalan.

Akibatnya, dalam kasus Buyat, perdebatan teknis antarlembaga pemerintah terus mengemuka, sementara masyarakat Buyat yang menjadi korban kurang tertangani.

Dalam laporannya, KLH juga bertekad akan menjadi koordinator dalam penegakkan hukum kasus Teluk Buyat. Hal ini didukung pernyataan resmi pemerintah yang mengakui terjadinya pencemaran di Teluk Buyat dan berpotensi menimbulkan bahaya bila terus dihuni, tanpa diikuti upaya pemulihan lingkungan.

Sayangnya, tindak lanjut di lapangan belum juga maksimal. Pemerintah daerah justru memiliki sikap berbeda dengan sikap pemerintah pusat. Kebutuhan air bersih hingga kini terus dikeluhkan warga yang juga meminta relokasi.

Kasus lain yang kemudian diadopsi sebagai agenda 100 hari KLH adalah penyelesaian kasus penolakan pembangunan Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST) Bojong. Tim kecil pun dibentuk untuk mengumpulkan fakta-fakta.

Diagendakan pula untuk menemui pemerintah daerah setempat. KLH pun mendorong agar pemerintah daerah tetap konsisten dengan rencana tata ruang wilayah (RTRW), sesuai Peraturan Daerah (Perda) Nomor 27 Tahun 1998 yang tidak merencanakan kawasan itu sebagai TPST.

Rachmat menyebut kasus-kasus itu sebenarnya tidak perlu terjadi, terutama bila RUTR dipatuhi.

Ladia Galaska

Kasus serupa yang kini sedang diperjuangkan untuk disesuaikan dengan perundang-undangan adalah pembangunan jalan Ladia Galaska.

Penyelesaian yang sedang ditempuh adalah menemui Menteri Pekerjaan Umum. Di hadapan anggota Komisi VII DPR, KLH menjelaskan sikapnya yang akan mempertahankan kondisi dan meningkatkan kualitas hutan tanpa konversi.

Pembangunan jalan Ladia Galaska yang akan memotong Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) dan membelah hutan lindung, bertentangan dengan semangat mempertahankan kondisi lingkungan.

Megaproyek senilai triliunan rupiah itu, dinilai berdampak negatif terhadap daya dukung lingkungan, termasuk kemungkinan maraknya penebangan kayu liar dan banjir bila tetap dipaksakan. Rencana itu pun menabrak ketentuan perundangan yang berlaku.

Kasus lain yang menjadi perhatian berikutnya adalah rencana reklamasi pantai utara Jakarta yang disahkan keputusan presiden. Setelah gugatan enam penggugat yang mendukung reklamasi dimenangkan PTUN Jakarta, KLH memutuskan naik banding mengingat dampak lingkungan yang akan ditimbulkannya.

Tekad pengarusutamaan

Meskipun jalan terjal harus ditempuh, Rachmat mengatakan sudah memulai upaya pengarusutamaan konsep pembangunan berkelanjutan dalam rapat-rapat kabinet. Ia meminta agar di setiap pembahasan Menteri Koordinasi Perekonomian dan Menko Politik, Hukum, dan Keamanan, khususnya yang menyangkut lingkungan hidup, KLH diundang dan didengar pendapatnya.

Kini, usulan tersebut sedang diproses untuk dimintakan persetujuan. "Kalau KLH ingin dilibatkan di depan, bukan karena jagoan, tetapi memang perlu untuk menyelesaikan permasalahan di awal, bukan lagi after the fact," kata dia.

Menurut dia, upaya tersebut merupakan itikad baik KLH untuk mengurangi potensi masalah di belakang hari yang menyita energi, seperti yang terjadi selama ini. Keterlibatan KLH sejak hulu kebijakan, sekaligus upaya mengubah budaya KLH sebagai lembaga yang bersifat damage control menjadi damage prevention; dan penghindaran dari masalah yang mungkin muncul kemudian.

"Lebih baik ramai di awal daripada nanti saling menyalahkan," kata Rachmat.(LAM/GSA)

Post Date : 10 Desember 2004