Protokol Bagi-bagi Untung

Sumber:Majalah Gatra - 22 Desember 2010
Kategori:Lingkungan

Konferensi Biodiversitas melahirkan Protokol Nagoya. Salah satu poin penting adalah access benefit sharing. Indonesia dapat meraup untung dari kekayaan hayati. Tetapi harus bekerja keras lebih dulu.

Jarum jam menunjukkan pukul setengah dua pagi waktu Jepang. Menteri Lingkungan Hidup Jepang, Ryu Matsumoto, mengetukkan palu sidang, menutup Konferensi Para Pihak (COP) Konvensi Keanekaragamam Hayati ke-10. Ia lega, meski di wajahnya terlihat kelelahan. Begitu juga dengan wajah ratusan delegasi dari berbagai negara. Mereka berdiri dan bertepuk tangan bak menyaksikan suatu klimaks pertunjukan opera.

Begitulah suasana berakhirnya konferensi yang berlangsung di Nagoya, Jepang, Oktober lalu. Mereka puas lantaran COP-10 berhasil melahirkan ''Protokol Nagoya'', yang berisi sejumlah keputusan penting dalam sejarah konservasi biodiversitas.

Bahkan beberapa media Barat menggambarkan COP-10 mampu menjadi penawar ''kutukan Copenhagen''. Maklumlah, banyak yang menilai Konferensi Tingkat Tinggi Bumi yang diselenggarakan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Copenhagen, Denmark, beberapa waktu lalu itu bak jalan di tempat. Tak menghasilkan apa-apa yang berarti.

Protokol Nagoya pada intinya mengandung tiga prinsip untuk menyelamatkan biodiversitas. Pertama, menciptakan strategi untuk mengurangi dampak kepunahan hayati. Kedua, membuat mekanisme keuangan untuk membiayai strategi tersebut. Yang terakhir dan yang lebih praktis, adanya suatu paket kebijakan untuk mengatasi ketidakadilan penanganan gen melalui apa yang disebut ''akses pembagian keuntungan'' (ABS).

Agar semuanya berjalan lancar, para delegasi juga sepakat mendirikan suatu badan internasional, yakni Intergovernmental Platform on Biodiversity and Ecosystem Services. Badan itu kini masih menunggu restu PBB untuk diresmikan. ''Selama ini, upaya konservasi hayati belum maksimal karena pedomannya belum ada. Deklarasi Protokol Nagoya ini membuat hal itu menjadi mungkin,'' kata Tejo Pramono, salah satu staf La Via Campesina, LSM pertanian yang ikut hadir dalam COP-10.

Selain itu, melalui ABS, ''keadilan alam'' yang selama ini diimpikan para aktivis lingkungan dapat terwujud. Soalnya, ABS memberi kesempatan kepada rakyat lokal ataupun negara yang memiliki sumber kekayaan hayati untuk ikut menikmati hasil pengembangan hayati tersebut.

Tejo mencontohkan buah merah (Pandanus conoideus lamk) asal Papua yang diklaim berkhasiat menyembuhkan kanker. ''Kini gennya telah dikembangkan dan dijual beberapa perusahaan di pasar bebas internasional. Tetapi, apakah keuntungan yang diraih juga dapat dinikmati masyarakat Papua tempat asal buah itu?'' kata Tejo kepada Andya Dhyaksa dari Gatra.

Begitu pula berbagai jenis virus, benih, tanaman, hewan, dan sebagainya yang sangat potensial dikembangkan guna mengatasi berbagai problem manusia (lihat: Manfaat Biodiversitas).

Selama ini, akses yang mengatur kerja sama masyarakat lokal dengan perusahaan atau negara yang ingin memanfaatkan biodiversitas itu lemah sekali. Banyak perusahaan asing dengan mudah mengakses kekayaan hayati yang menjadi milik masyarakat adat. Namun ini tidak terjadi ketika kekayaan hayati itu dikembangkan perusahaan lokal. ''Nah, di sinilah letak ketidakadilannya,'' ujar Tejo.

Menteri Lingkungan Hidup (LH), I Gusti Muhammad Hatta, yang juga bertindak sebagai ketua delegasi RI dalam COP-10 mengakui masalah itu. ''Selama ini, kita memiliki 'barang' yang kemudian dimanfaatkan orang lain. Tetapi, untuk apa dan dikembangkan seperti apa, kita tidak tahu,'' katanya kepada Gatra.

Padahal, kekayaan biodiversitas Indonesia sangat tinggi. Dengan potensi seperti itu, Indonesia boleh berharap adanya pembagian manfaat yang adil. Itulah yang sedang diperjuangkan Indonesia dalam pertemuan COP.

Kalau begitu, kira-kira berapa persen keuntungan yang dapat diraih warga lokal? Menurut Deputi Kementerian LH Bidang Pengelolaan Limbah, Masnellyarti Hilman, aturan dan metodologinya masih akan dibahas lagi dalam pertemuan lanjutan. Nelly, panggilan Masnellyarti Hilman, adalah salah satu pejabat di Kementerian LH yang banyak terlibat dalam perundingan internasional.

Awalnya, menurut Nelly, perundingan tentang ABS berjalan alot. Terutama pada saat berbicara tentang pembagian persentase manfaat. Sejumlah negara industri masih enggan jika harus membagi keuntungan dari apa yang mereka kembangkan selama ini. Soalnya, kejelasan tentang definisi ABS dan kekayaan hayati memang masih harus dirundingkan. Namun, ke depan, kata Nelly, mereka setuju membagi keuntungan tentang pengembangan hayati beserta turunannya (lihat: Mari Bermain ABS).

Walau begitu, sebelum berangan-angan mendapat keuntungan, masih banyak pekerjaan rumah yang harus dibereskan. ''Awalnya kita harus punya bank data tentang apa saja keanekaragaman hayati yang kita miliki,'' ujar Nelly. Data itu kini sedang dikumpulkan Balai Kliring untuk Biodiversitas dari setiap kabupaten dan provinsi.

Pihaknya juga akan melaksanakan program Indoensia Hijau untuk menjaga tutupan lahan hijau. Dalam program ini, masyarakat dituntut aktif untuk menjaga dan melaporkan kekayaan hayati yang mereka temukan. Jadi, nanti pemerintah mudah menemukan dan mengklaim benefit sharing-nya.

Perangkat hukum dan data yang belum jelas itu juga banyak mendapat sorotan dari LSM lingkungan. Bahkan selama ini, menurut Tejo, banyak perundangan dan peraturan tentang lingkungan yang masih berpihak pada si kaya dan penguasa. ''Jadi, jangan sampai peraturan tentang biodiversitas ini malah melindungi perusahaan besar, bukan untuk pengembangan warga lokal,'' katanya. Tentu tidak ada yang berharap ABS kemudian berubah arti menjadi ''asal bapak senang''.

Inilah Kesempatan Indonesia

Sebesar apakah kekayaan Indonesia? Tentu kita tidak akan pernah tahu jika tidak mulai menghitungnya. Padahal, untuk menghitung kekayaan itu, diperlukan sumber daya yang memadai dan perangkat hukum yang mendukung.

Setidaknya, itulah yang menjadi perhatian dan tugas Kementerian Lingkungan Hidup yang dipimpin I Gusti Muhammad Hatta dalam mengolah fasilitas pembagian keuntungan hayati alias access benefit sharing yang baru diputuskan dalam Konvensi Keanekaragaman Hayati ke-10 di Nagoya, Jepang. Berikut petikan wawancara wartawan Gatra Sandika Prihatnala dengan Menteri I Gusti Muhammad Hatta di kantornya, Jalan D.I. Panjaitan, Jakarta, Rabu dua pekan lalu:

Apa saja hal penting yang dihasilkan COP-10?

Konvensi Keanekaragaman Hayati itu memiliki tiga tujuan penting. Yaitu konservasi, pemanfaatan berkelanjutan, dan pembagian keuntungan yang adil (access benefit sharing --ABS). Akses sumber daya genetik wajib dipelihara, baik dalam rangka konservasi maupun untuk pemantauan berkelanjutan. Namun pembagian keuntungan yang adil pun harus dilaksanakan. Dari konvensi ini, lahir Protokol Nagoya yang akan melaksanakan tiga tujuan tersebut.

Apa yang bisa kita lakukan dengan ABS?

ABS ini dapat kita gunakan sebagai instrumen untuk pengaturan pemanfaatan berkelanjutan sumber daya genetik dan pembagian keuntungannya. Karena itu, kita harus menuangkan Protokol Nagoya ini ke dalam kebijakan nasional agar ABS itu dapat efektif dilaksanakan.

Kira-kira berapa persen negara sumber plasma nutfah mendapatkan keuntungan?

Pembagian keuntungan itu akan diatur berdasarkan kesepakatan bersama antara penyedia hayati dan yang mengembangkan. Keuntungan yang didapat bisa berupa finansial dan nonfinansial. Jadi, semua bergantung pada kesepakatan kedua pihak. Prinsipnya, harus ada jaminan pembagian keuntungan.

Bagaimana menentukan plasma ini benar-benar berasal dari suatu daerah? Apa jaminan bahwa warga benar-benar menerima manfaatnya?

Untuk memastikan ini, identifikasi dan dokumentasi sumber daya genetik menjadi sangat penting. Sebab database sumber daya genetik inilah yang dapat menjadi dasar penentuan siapa pemilik atau asal kekayaan hayati itu.

Bagaimana dengan perangkat hukum lingkungan kita yang masih lemah? Apakah dapat mengantisipasi perkembangan ini?

Inilah saat yang tepat bagi Indonesia sebagai negara yang kaya akan keanekaragaman hayati untuk memanfaatkan situasi yang ada. Dengan ABS, kita dapat memperoleh bagian keuntungan dari kekayaan kita sendiri. Kita juga harus memperkuat sistem hukum lingkungan dan daya diplomasi dalam berbagai kesepakatan kerja sama nanti.

Lalu, bagaimana dengan sejumlah peraturan lingkungan hayati yang belum juga rampung?

Sebenarnya di masing-masing sektor telah banyak dikembangkan beberapa peraturan terkait pengelolaan sumber daya genetik, walaupun masih sebatas peraturan yang bersifat sektoral. Kementerian Lingkungan Hidup bersama Kementerian Pertanian, Kehutanan, Kelautan dan Perikanan, serta beberapa universitas dan LSM pemerhati lungkungan telah merintis penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengelolaan Sumber Daya Genetik sejak 2003.

Diharapkan RUU itu segera disetujui DPR karena sudah masuk dalam Program Legislasi Nasional 2011-2014. Jika sudah disahkan, akan mampu mengatasi kesenjangan pengaturan bidang pengelolaan sumber daya genetik di Indonesia.

Mari Bermain ABS

Konsep pemanfaatan keuntungan hayati atau access benefit sharing (ABS) menjadi buah bibir para aktivis dan penggiat lingkungan, baik di negara maju maupun berkembang. Suatu perusahaan atau kelompok tertentu kini tak bisa seenaknya mengembangkan dan memanfaatkan plasma nutfah suatu masyarakat tanpa melibatkan masyarakat lokal. Bagaimana aturan main yang detail tentang ABS?

Menurut Kementerian Lingkungan Hidup, secara umum, prinsip-prinsip yang harus dilaksanakan dalam proses ABS itu adalah:

- Akses mendapatkan keuntungan dilakukan setelah terjadi prior informed concern atau persetujuandan harus melibatkan komunitas setempat.

- Adanya pembagian keuntungan dari setiap pemanfaatan kekayaan hayati melalui kelompok kepentingan strategis yang ada.

- Pembagian keuntungan dapat diberikan berdasarkan kesepakatan bersama (mutually agreed terms) serta harus berupa manfaat moneter dan non-moneter.

- ABS yang ditujukan pada penelitian non-komersial akan mendapat fasilitas penyederhanaan birokrasi.

- Akan ada pertimbangan khusus pada situasi darurat kesehatan, lingkungan, dan pangan.

- Adanya mekanisme global multilateral benefit sharing untuk sumber daya genetik dan warga lokal yang bersifat lintas negara.

- Akan dibangun lembaga kewenangan (Competent National Authority sebagai institusi yang berwenang memberi izin akses secara tertulis dan National Focal Point yang berfungsi sebagai penghubung dengan Sekretariat Keanekaragaman Hayati Nasional).

- Mekanisme pertukaran informasi dan database dilakukan melalui Balai Kliring ABS.

- Sistem monitoring dilakukan melalui penunjukan checkpoint pada semua level penelitian, pengembangan, inovasi, tahap pra-komersialisasi, atau komersialisasi.

- Sistem sertifikasi yang diakui secara internasional.
Nur Hidayat dan Sandika Prihatnala



Post Date : 22 Desember 2010